Pulih

Pulih

Hujan deras mengguyur kota. Sepekan sudah aku berdiam tanpa pergi kemanapun. Badanku yang lemah mulai berenergi lagi. Sakit terasa memar di sekujur tubuh mulai berkurang. Daya tahan tubuhku mulai pulih.

Luka batin yang menghantam bertubi-tubi kini mulai bisa diajak berdamai. Penerimaan dan berserah diri seperti yang kau sarankan sudah kulakukan. Solat malam, baca Qur’an, memperbanyak istighfar juga kulakukan. Semata demi agar aku tidak menjadi gila karenaya.

Ingatanku berputar pada kejadian suatu pagi, udara dingin menelusup hingga ke pori. Kau biarkan aku bersandar di bahumu. Kita duduk di ruang tengah selepas subuh waktu itu.

“Kamu siap dengan segala konsekuensinya, Dek?” kau bertanya seolah meragukan apa yang sudah menjadi keputusanku.

Read More

Sejenak aku termenung. Mencoba berpikir. Jujur, hatiku sempat gentar dan terpengaruh dengan secuil pertanyaan itu. Isi kepalaku berkecamuk. Namun apa yang kurasakan selama ini cukup memberiku pelajaran bahwa diriku jauh lebih berharga, kesehatan mentalku pun harus tetap terjaga.

“Aku siap,” dengan mantap jawaban itu terlontar dari mulutku. Sejak dulu aku adalah seorang pengambil risiko. Dalam prinsip hidupku tidak ada istilah setengah-setengah. Satu atau nol. Aku hadapi, jalani, urus semua dengan totalitas habis-habisan, atau tidak sama sekali.

“Kau tidak takut kehilangan sesuatu yang selama ini telah kau bangun susah payah?” tanyamu lagi. Aku tahu, kau sedang mencoba untuk meyakinkanku bahwa aku tidak mengambil keputusan yang salah dan mungkin berakhir dengan penyesalan.

“Sesungguhnya aku lebih takut kehilangan diriku sendiri, Bang!” jawabku mantap.

“Kalau begitu, keputusanmu sudah benar, lanjutkan, jangan pernah lagi menengok ke belakang. Kau berhak bahagia dan memilih hidup yang kau sanggupi,” katamu.

Air mataku meluncur membasahi pipi.

“Lho kok menangis? Apa lagi yang kau tangisi?” tanyamu.

Kau tampak gusar dan sibuk menyeka air mataku.

“Ini tangisan kebebasan. Mari kita merayakannya!” ucapku dengan tawa.

Kau tersenyum dan menghela napas panjang, lalu memelukku erat.

“Kau pasti kuat menghadapinya. Aku percaya itu!”

Kini aku sudah rela. Aku sudah pulih.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *