Memiliki anak lelaki punya kesan tersendiri. Walaupun belum pernah melahirkan anak perempuan, tetapi karena sempat berprofesi sebagai guru TK, SD, SMP dan terbiasa mengasuh keponakan perempuan, membuat saya cukup paham bahwa anak perempuan dan laki-laki itu begitu banyak perbedaan dan keunikan tersendiri.
Menjadi orangtua baik yang memiliki anak lelaki maupun anak perempuan dititipi amanah yang sama besarnya oleh Allah SWT. Anak perempuan diperintahkan untuk menutup auratnya, sedangkan anak lelaki harus dilatih untuk menjadi lelaki sejati yang bukan saja mampu memimpin dirinya sendiri, melainkan menjadi imam bagi keluarganya nanti.
Anak saya, Athar usia 11 tahun. Sejak kecil ia sangat cuek soal pendapat orang lain. Anaknya independen. Pindah sekolah pun tidak pernah kesulitan mendapatkan teman baru. Pun tidak pernah merasa sedih ketika temannya berganti teman akrab dengan yang lain, dia tetap percaya diri. Jadi saya cukup lega walaupun kami baru pindah tempat tinggal dan Athar baru saja pindah sekolah, dia begitu cepat beradaftasi.
Sejauh ini dia bisa menangani ketakutan dirinya sendiri. Termasuk pandai juga dalam mencari kesempatan untuk membuka permbicaraan dengan teman baru. Ini yang membuatnya cukup disuka banyak teman. Saya juga ikut senang tiap pulang sekolah Athar selalu bercerita dengan antusias soal aktivitasnya di sekolah. Saya bangga ketika anak ini menyebutkan banyak nama teman yang diam-diam saya hafalkan dan pelajari satu per satu karaktnya.
Walaupun keseringan Athar kesal karena Bundanya salah nama teman.
“Riko itu yang anak baru, Zihan si anak pintar, Haidar yang rumahnya sekomplek sana nenek, Aji yang rumahnya deket pasar, Mika yang suka rajin ngajakin main bareng, Bagja yang wajahnya mirip Ripal teman aku yang di sekolah lama,” kata Athar memaparkan satu per satu, serta banyak lagi yang dia jelaskan.
Saya hanya tersenyum, meyimaknya sambil angguk-angguk kepala berlagak paham padahal lama sekali kepala ini mencerna dan menghafal teman anak yang sama seklai belum pernah bertemu. Hanya karena emi agar selalu nyambung saat dia bercerita, saya harus paham satu per satu.
Namun kemudian cerita Athar berubah sendu. Suatu sore Athar nego soal pergi ke masjid. Saat itu kami sedang masak bersama. Athar sudah biasa membantu saya masak sore untuk kami makan malam sambil menunggu ayahnya pulang sekalian masak buat buka puasa sunnah.
“Bun, boleh gak, hari ini aku solatnya di rumah aja?” kata Athar tiba-tiba.
Pisau dan bawang yang sedang diiris saya tanggalkan. Lalu mematikan api kompor.
“Ada apa? Cerita sama Bunda!”
“Aku digangguin lagi sama anak-anak yang suka rusuh pas Terawih kemarin,” katanya.
Athar memang belum memiliki banyak teman di sini. Kebetulan sekolahnya jauh dari lokasi tempat tinggal, jadi teman-teman sekitar rumah belum ada yang sedekat teman sekolah. Sibuk sekolah di tempat yang jauh, membuat Athar kekurangan waktu untuk bermain di luar. Pulang sekolah langsung diam di rumah istirahat sampai adzan magrib, baru ia pergi ke masjid.
“Mungkin mereka hanya ingin berkenalan saja. Seperti yang Bunda bilang dulu kan?” saya mencoba menarik lagi ingatannya bahwa beberapa kali saya sudah bilang kalau teman-teman di sini ingin kenal lebih dekat.
“Mereka beda, Bunda. Aku gak suka cara mereka becanda,” jawabnya dengan mimik muka yang lebih serius.
“Ada cerita lain yang mungkin belum kamu ceritakan kepada Bunda selain yang sudah diceritakan?” saya bertanya dengan maksud menggali informasi lebih dalam.
Laki-laki dikenai kewajiban untuk senantiasa melaksanakan solat lima waktu secara berjamaah di masjid dengan banyak perintah dan ancaman jika tidak melakukannya. Salah satu di antaranya adalah Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan, lalu ia tidak menghadirinya maka tidak ada sholat baginya melainkan karena uzur.” (HR Ibnu Majah).
Melihat fenomena banyak sekali laki-laki yang semakin sibuk bekerja dengan dalih tuntutan untuk menjadi pencari nafkah menjadi abaik solat di masjid. Maka satu-satunya cara adalah membiasakan mereka sejak kecil.
Pikiran saya langsung tertuju pada cerita anak itu setiap pulang dari masjid membawa cerita. Sekali waktu memang bercerita bahwa teman-teman sebayanya dihukum imam masjid karena ribut saat ibadah. Suami saya pun membenarkan, “untung Athar solatnya di samping Ayah. Kepisah-pisah sama anak-anak,” katanya.
“Iya, jadi aku gak dihukum,” Athar bangga.
Semula cerita-cerita Athar saat digangguin selalu dianggap biasa dan masih saya semangatin.
“Cuekin aja, nanti juga mereka bosen. Atau kan Athar udah berani berantem. Bilang aja, jangan ganggu!” kata saya berusaha menghibur.
Biasanya dengan kalimat itu Athar masih bisa. Kini mimik wajahnya berubah, sendu.
“Digangguin gimana lagi?” tanya saya penasaran.
“Kalau lagi solat, kakinya dikitik-kitik (dikelitikin),” katanya dengan wajah kesal. Bibirnya monyong-monyong saat bercerita.
“Kamu mau gak kenalan lagi lebih dekat agar lebih akrab sama teman-teman di sini?” tanya saya penuh harap. Maklum, ini baru lima bulan tinggal di sini, semoga ke depannya bisa lebih akrab.
Athar menggeleng, “sudah aku coba, Bunda. Kan sudah pernah bilang, dulu pernah kanalan dan deket sama yang sudah mau SMP sejak kali pertama aku ke masjid di sini. Namanya Jibran. Sekarang Jibrannya jarang ke masjid. Mungkin sudah sibuk sekolah SMP.” jawabnya sedih.
“Lalu apa lagi?”
“Penah ditowel-towel telinga padahal masih solat. Aku kan jadi gak khsuyuk. Aku kalau sudah gak suka sama sikap teman, makin males aja Bunda buat berteman,” jawabnya.
Kalimat itu membuat saya paham. Walaupun terlihat begitu mudah mendapatkan teman, ternyata Athar cukup selektif. Teman yang dianggap tidak sefrekuensi tidak berlanjut pada keakraban.
“Pas pulang, aku dihalangi banyak orang gak dikasih jalan (sambil memperagakan cara temannya menghalangi jalan). Untung ada bapak-bapak yang berteriak. Jadinya aku bisa pulang,” ucapnya lagi.
Saya mengehela napas panjang. Lalu mengajak Athar duduk di kursi untuk bicara lebih dalam.
Masalah ini cukup serius. Khawatir menjurus kepada tindakan perundungan.
Sambil terisak Athar menceritakan semua yang memang belum pernah saya dengar. Lalu, “jadi gimana, Bunda. Boleh gak magrib ini aku gak ke masjid dulu?” pintanya dengan memelas.
“Nak, dengarakan Bunda. Ada banyak perintah yang mewajibkan seorang laki-laki untuk pergi ke masjid. Waktu itu sudah pernah kita bicarakan bukan?” tanya saya dengan sanat hati-hati.
“Iya, dan yang membolehkan laki-laki tidak ke masjid hanya kalau hujan lebat dan ada udzur yang dibenarkan, seperti sakit dan tidak kuat pergi. Gitu kan, Bunda?” tanya Athar.
“Betul sekali. Dan satu lagi yang harus Athar tahu, Bunda nyuruh kamu ke masjid sebenarnya bukan karena keinginan Bunda sendiri. Orangtua bertanggung jawab atas anak-anaknya yang harus dididik di jalan agama yang benar. Jadi…, kalau Athar lagi malas ke masjid rasa bersalahnya bukan bersalah kepada Bunda. Karena bukan Bunda yang nyuruh.”
“Iya, ini Allah dan Nabi yang nyuruh,” jawabnya. Wajahnya tertunduk begitu dalam. Perasaan iba muncul dalam hati saya. saya sangat paham apa yang dirasakannya.
“Athar mau di sini malam ini? Bunda bolehkan. Asal, besok lusa pergi lagi dengan lebih semangat. Bunda tahu, Athar paham apa yang harus dilakukan kan? Kita datang ke masjid bukan buat main-main seperti mereka. Teman-teman di sana mungkin memang belum paham. Tapi Athar jangan, karena sudah tahu alasan kenapa laki-laki harus solat berjamaah di masjid.”
Wajah Athar berubah menjadi sumringah. “Terima kasih, Bunda,” katanya sambil memeluk tubuh saya begitu erat.
Adzan magrib berkumandang. Kami baru sadar kalau belum ada satu pun makanan yang selesai dimasak. Athar pergi mengambil air wudhu dan solat magrib di kamarnya. Saya pun demikian. Memperpanjang doa setelah solat agar Allah meringankan hati anak saya untuk kembali bersemangat pergi ke masjid walaupun apapun rintangannya.
Dan untuk pembaca, mohon bantu doa juga agar anak lelaki saya Athar dan teman-temannya bisa berkawan dengan baik.
Barakallahu fikum.
+ There are no comments
Add yours