Pagi masih dingin saat Guntur menuruni jalanan berbukit. Angin berdesir membelai pepohonan di sepanjang tepi jembatan yang tinggi. Di sana, seorang lelaki paruh baya tengah berusaha menarik anaknya sendiri yang baru saja mencoba melompat ke dasar jembatan.
“Saya bantu, Pak” teriak Guntur kepada lelaki itu.
Dia berlari mendekati jembatan, menghentikan langkahnya hanya beberapa meter dari perempuan dan lelaki tua itu. Akhirnya tubuh perempuan itu pun terakgkat kembali ke sisian jembatan. Lantas keduanya menyeret tubuh lemah itu menjauh dari tempat curam dan mengerikan.
Perempuan itu, Maya, menatap Guntur dengan mata kosong. “tidak ada gunanya,” gumamnya pelan. “Saya sudah muak dengan hidup ini.”
Ayahnya menangis, mencoba terus menenangkan anak perempuannya. “jangan begitu, nduk, kamu masuh punya ayah di sini.”
Guntur menghampiri Maya perlahan, berusaha menenangkan dirinya sendiri sekaligus perempuan yang hampir saja melompat ke kehampaan. “tidak, Nona. Jangan katakan begitu. Hidup masih memberikan harapan, kesempatan untuk memperbaiki segalanya.”
“Tidak ada gunanya,” ulangnya lagi. Tangannya yang lemah berusaha menepis dekapan ayahnya itu. Sementara Guntur hanya bisa berdiir memaku di hadapan keduanya.
“Terima kasih, anak muda. Jika tidak ada kamu, maka mungkin saya tidak bisa menyelamatkan Maya putri saya,” ujar lelaki tua itu.
Ayah Maya, Pak Agung, telah mencari putrinya sepanjang malam. Mendapati putrinya kabur dari rumah dalam keadaan sedang terbelenggu maslah membuatnya kalangkabut. Akhirnya ia mendapati putrinya di sisi jembatan itu sejak dini hari. Mencoba berdialog tetapi tidak betul-betul berhasil dan nyaris saja Maya nekat melompat.
Guntur menoleh ke arah ayah Maya dengan pandangan yang penuh harap. “Tolong, Bapak. Tolong bawa Maya menjauh dari sini.”
Pak Agung mengangguk, sambil menangis, “Iya, saya akan menjaganya. Saya tidak bisa… saya tidak bisa kehilangannya…” Perlahan pak Agung berdiri hendak mengangkat tubuh Maya yang semakin lemas karena lelah berjalan sepanjang malam.
Tiba-tiba, sebuah kecelakaan tragis hampir terjadi. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tubuh pak Agung terpental jauh, sementara Maya jatuh ke arah tepi jembatan. Saat dia jatuh, Guntur bereaksi secara refleks menariknya dan menyelamatkannya dari kematian.
“Ayah….!” teriak Maya Histeris. Guntur berlari menghampiri tubuh pak Agung. Namun nyawanya tidak bisa tertolong lagi. Mobil tabrak lari itu telah benar-benar membunuh lelaki tua.
Menerima kenyataan bahwa ayahnya sudah tiada, tubuh Maya semakin melemah dan jatuh pingsan. Guntur lalu mencari bantuan warga terdekat dan mengurus jasar pak Agung untuk dikuburkan.
**
“Kenapa lagi-lagi terjadi? Semakin banyak anak mudah yang imannya hilang,” ujar umi Fillah tidak habis oikir.
Guntur terduduk diam di kursi yang diletakkan di sisian ranjang. Maya terbaring belum sadrkan diri.
“Saya juga tidak mengerti, Umi, dan entah kenapa, Tuhan selalu membiarkan Guntur menemukan mereka? Kanapa kenangan tentang Ningrum selalu datang? Apa Tuhan sengaja mau menyiksa batin Guntur, dengan kembali mengingatkan Guntur pada kehilangan yang teramat menyakitkan itu Umi?”
“Jangan bicara seperti itu, Nak. Mungkin Allah memang memberikan tugas kepadamu untuk menjadi penyelamat. Kau hebat, Guntur. Umi bangga padamu,” puji umi fillah seraya melangkah ke luar dari kamar. “kau pastikan gadis ini sadar dari pingsangnnya, umi akan buatkan dia minuman di dapur.”
**
Tangan Maya bergerak perlahan. Badannya terasa remuk redam. Matanya mengerjap, perlahan membuka mata. Padangannya meneliti setiap sudut ruang yang mengelilinginya itu. Seorang pemuda tampan duduk tertidur di sebelahnya.
“Kang….”
Tangannya yang lembut mengelus tangan Guntur perlahan. Guntur yang tertidur terkejut meliat gadis itu sudah sadarkan diri.
“Maya sudah sadar? Syukurlah…” ucapnya riang.
“Akang yang membawa saya ke sini? Ini di mana?” tanya Maya ragu.
“Rumah umi, umi saya,” jawab Guntur gugup.
“Terimak kasih ya, Kang,” ucap Maya tulus.
Keduanya menatap satu sama lain, ada getaran aneh yang melintasi antara mereka. Peristiwa itu telah mempersatukan mereka dalam cara yang tak terduga.
**
Mereka semakin sering bersama setelah itu. Maya yang tidak memiliki siapapun memutuskan untuk tinggal sementara sampai kondisi kesehatannya membaik. Setelah itu, Guntur akan mengantarkan Maya ke rumah pamannya di luar kota seperti permintaan Maya.
“Maya masih ada paman, adiknya Ayah. Maya akan tinggal di sana saja karena Maya sudah tidak memiliki siapapun,” ucapnya di suatu pagi.
Semakin hari Guntur dan Maya semakin dekat. Guntur banyak belajar tentang perjuangan Maya, tentang kesedihan dan keputusasaan yang membawanya hampir ke ujung kehancuran. Dan Maya, dalam kehadiran Guntur, menemukan titik terang yang baru dalam hidupnya.
Ada perasaan berat, ketika membayangkan bahwa Maya akan pergi meninggalkannya suatu hari nanti. Sungguh di hati Guntur telah tumbuh subur benih cinta kepada Maya gadis manis yang ternyata memiliki kahidupan yang jauh lebih terjal daripadanya. Perasaan ingin melindungi dan menjaga Maya semakin kuat dalam hati Guntur.
Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Ketika Guntur mendapatkan kabar tentang Rani saat Guntur dan umi berbincang selepas solat isya.
“Nak, Rani kabarnya sudah melahirkan anaknya. Besok pagi dia akan datang ke sini,” ucap umi.
Guntur tertegun, meratapi nasib perasaannya.
Apa yang harus aku katakan kepadanya?
“Umi harap, kamu dapat menentukan sikap yang lebih jantan, sebagaimana harus dilakukan laki-laki, tanpa menyakiti keduanya,” ucap umi yang merasa ikut terbebani dengan situasi yang menimpa anaknya itu.
**
Rani kembali datang. Dengan rasa cemburu yang membara dan mempertanyakan tentang janji Guntur untuk menikahinya. Tanpa bisa mengambil keputusan dengan segera, Guntur terjebak dalam dilema yang menyakitkan, dihadapkan pada pilihan antara cinta lamanya dan cinta yang baru ditemukannya.
Rani dan Maya sempat bersitegang. Suasana pun semakin rumit dan melelahkan.
Akhirnya dalam keputusan yang penuh penderitaan, Guntur akhirnya memilih untuk pergi. Dia meninggalkan Maya yang dicintainya dengan tulus dan Rani yang terluka. Dia pergi menjauh, mencoba untuk memulai kembali hidupnya dari awal, tanpa beban cinta yang membelenggunya.
“Guntur harus pergi, Umi,” pamitnya pada sang ibunda. “Saya tidak akan sanggup menjadi suami yang adil dan tidak siap juga jika menyakiti satu di antaranya,”
Dengan tangis sedih, umi menyetujui keputusan anak semata wayangnya itu.
“Pergilah, dan kembali untuk menjadi lelaki penyelamat umi. Kian hari umi akan semakin renta, dan tidak ada lagi yang menjadi teman umimu ini,” ucap umi Fillah dengan berat hati.
Maya dan Rani, masing-masing, dibiarkan merenungi keputusannya sendiri. Mereka menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, dan kadang-kadang, pilihan terbaik adalah membiarkan orang yang kita cintai pergi, meskipun itu menyakitkan.
+ There are no comments
Add yours