“Kasihan ya, padahal kurang apa lho. Dia kan sabar, cantik, solehah, penurut sama suami kok diselingkuhin,” ucap seorang ibu.
“Iya, ya …, kok tega banget,” timpal yang lainnya.
Percakapan itu terdengar sayup-sayup dari kejauhan ketika Aisha hendak membeli sayur di tukang sayur keliling.
“Permisi, Ibu-ibu, selamat pagi. Asik banget ngerumpinya nih,” ucap Aisha berbasa basi. Lalu memilih beberapa sayuran dan meminta penjual sayur memotongkan ayam untuk dijadikan sayur sop.
“Potong kecil-kecil ya, Bang!” pinta Aisha.
“Kan…, terlalu anteng. Jadi aja orangnya dateng,” ucap salah satu ibu.
“Kenapa, Bu…?” tanya Aisha dengan ramah. Ibu-ibu rumpi itu saling tatap, bahkan yang satu menyikut lengan temannya.
“Ini, Bu Aisha. Suami saya kemarin melihat suami Ibu jalan sama perempuan, dia kira itu bu Aisha. Ternyarta bukan. Masa iya sih punya istri baik dan solehah seperti bu Aisha masih aja main perempuan di belakang,” ucap seorang ibu yang tangannya sibuk memilih tomat, memasukannya ke plastik untuk ditimbang.
Mas Ahmad selingkuh? batin Aisha.
“Ah mungkin itu rekan kerjanya, Bu” jawab Aisha berusaha tenang. Padahal dalam hatinya berkecamuk berbagai pertanyaan. Selama ini Ahmad suaminya selalu pulang dan pergi ke kantor di jam yang sama. Perlakuannya pun tidak ada yang ganjil. Ahmad memperlakukan dirinya dengan sangat baik.
“Hati-hati aja, Bu… diawasi suaminya. Jangan terlalu percaya,” ucap ibu tadi lagi.
Aisha kembali tersenyum berusaha untuk tetap terlihat tenang. Lagi pula ia tidak boleh terlalu mudah percaya. Siapa tahu itu hanya salah lihat atau ada seseorang yang sengaja mau memfitnah.
“Terima kasih atas perhatiannya ya, Bu… saya pamit duluan,” ucap Aisha setelah membayar belanjaannya. Lalu ia pergi meninggalkan kerumunan ibu-ibu tukang rumpi tersebut.
“Dasar ibu-ibu tukang rumpi,” gerutu Aisha sambil mempercepat langkahnya.
**
Aisha adalah sosok yang lembut dan sabar, selalu tersenyum meskipun dalam kesulitan. Aisha telah dinikahi oleh Ahmad, seorang lelaki yang tampan dan kaya raya. Mereka memiliki dua anak yang lucu dan ceria.
Selama ini kehidupan rumah tangganya selalu baik-baik saja. Aisha juga tidak pernah berpikir hal negatif apapun pada suaminya. Selama ini Ahmad selalu berlaku baik.
Nafkah lebih dari cukup. Aisha mendapatkan semua fasilitas yang dibutuhkan. Pakaian, kendaraan, keperluan untuk perawatan diri. Meskipun begitu, Aisha dan suaminya tetap berusaha untuk memberlakukan pola hidup sederhana. Demi pendidikan dan karakter buah hatinya.
Dalam rumahnya yang cukup besar, ia dibantu seorang asisten Rumah Tangga. Namun bi Sumi hanya bertugas untuk membantu membersihkan rumah, taman, mencuci dan setrika pakaian. Adapun memasak, Aisha berjanji, anak dan suaminya harus makan dari racikan tangannya sendiri. Mengurus anak-anak pun harus dengan tenaganya sendiri. Apalagi melayani suami. Ayah ibunya telah mengajarkan bahwa berbakti kepada suami adalah pintu surga untuk perempuan.
Bicara soal berbakti kepada suami, Aisha teringat kembali ucapan ibu-ibu tadi. Lantas mulai berpikir, apakah ada yang salah dengan caranya memperlakukan dan melayani Ahmad. Selama ini ia selalu berusaha patuh. Tidak ada perkataan dan keinginan Ahmad yang dibantahnya. Anak-anak pun ia rawat dengan telaten sampai mereka tumbuh dengan sehat, penurut dan rajin ibadah.
Urusan kamar, Aisha juga berusaha untuk melakukan yang terbaik. Aisha selalu berpenampilan rapi. Ia pun tidak pernah absen melakukan perawatan diri.
“Apakah aku harus berdandan menor dan seksi saat ada Mas Ahmad di rumah seperti perempuan lain? Ah, tapi kan aku gak biasa, lagian seperti apa sih sosok perempuan yang telah menganggu mas Ahmad. Lebih baik aku selidiki dulu. Siapa tahu ibu tadi hanya fitnah. Tenang Aisha…,” gumam Alisha pada dirinya sendiri.
Sekuat tenaga ia berusaha menepis pikiran buruk tentang suaminya itu. Namun rasa sayang dan cintanya tidak berhasil menghalau rasa cemburu.
Bagaimana pun ia adalah seorang istri. Istri mana yang bisa tahan mendengar kabar buruk tentang suaminya? Akhirnya Aisha memutuskan untuk bertanya langsung nanti malam sambil makan malam.
Aisha lantas merencanakan makan malam yang mewah. Dengan semangat ia pergi ke dapur, meracik makanan kesukaan suaminya untuk makan malam nanti. Setelah makan, ia akan memulai percakapan itu.
**
Malam itu Ahmad datang dengan tak biasa. Wajahnya tampak sangat lelah. Seperti biasa Aisha menyodorkan air minum da memberikan ruang untuk Ahmad beristirahat sejenak sebelum pergi mandi.
“Mas mandilah dulu, nanti kita makan malam. Aku sudah memasak makanan kesukaanmu,” ucap Aisha dengan mata berbinar. Setelah makan nanti dirinya akan bicara.
Ahmad mengangguk. Lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aisha pun larut dalam kesibukan di meja makan menyiapkan hidangan.
Tiba-tiba ponsel Ahmad bedering beberapa kali. Karena Ahmad masih mandi, Aisha menghampiri ponsel itu, barangkali telepon penting.
Panggilan itu dari nama perempuan. Otak Aisha langsung berputar teringat pembicaraan ibu-ibu siang tadi. Aisha memutuskan mengangkat telepon itu.
“Hallo, Mas. Sudah sampai rumah? Kok gak ngasih kabar? Aku khawatir nih…,” ucap perempuan di seberang sana.
Seketika hati Aisha hancur lebur. Ternyarta benar apa yang dikatakan para tetangga, bahwa Ahmad telah berselingkuh.
“Siapa Aisha? Kok ada telepon gak manggl Mas?” Ahmad yang baru selesai mandi tiba-tiba menghampiri.
Aisha memberikan ponsel itu dengan tangan gemetar.
Dengan santai Ahmad menerimanya dan melanjutkan bicara.
“Iya, nanti Mas bicara. Sudah dulu ya… Mas baru mau makan malam sama Aisha,” ucapnya dengan tenang. Tutur kata yang lembut seperti yang sering dilakukan saat bicara dengan Aisha.
“Mas? Siapa itu tadi? Jalaskan, Mas!” desak Aisha. Air matanya siap meluncur tapi Aisha menahannya sekuat tenaga.
“Habis makan malam Mas akan jelaskan. Aisha sudah capek masak, masa gak Mas makan. Makan aja dulu yuk!” bujuk Ahmad. Tangannya menyentuh pipi Aisha dengan gemas. Lalu meraih tubuh Aisha ke dalam pelukannya. Di sana lah Aisha selalu mendapatkan ketenangan.
Ahmad melahap makanan dengan bersemangat. Memuji masakan sang istri seperti yang sering dilakukannya.
Namun kali ini tidak lagi terdengar indah di telinga Aisha. Makan pun menjadi tidak berselera. Padahal Aisha menahan lapar demi agar bisa makan nikmat bersama suaminya.
“Anak-anak sudah tidur?” tanya Ahmad.
Aisha menjawab dengan singkat. Berharap Ahmad lekas menyelesaikan makannya dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
**
Makan malam selesai. Ahmad memeluk Aisha di sofa. Meminta istrinya tenang mendengarkan apa yang akan disampaikan. Meminta Aisha berjanji agar tidak memotong pembicaraannya.
Demi rasa hormat kepada sang suami, Aisha pun menuruti permintaannya itu.
Malam itu Ahmad jujur bahwa dirinya telah menikah dengan seorang perempuan yang ditemuinya di tempat kerja.
“Sebab Mas sering kerja bareng, jadi Mas takut dosa. Makanya mas melakukan itu,” jelasnya.
Aisha menggigit bibirnya sendiri menahan sakit yang teramat sakit. Namun dia tidak mau gegabah. Ia harus menyelesaikan rasa sakit ini dengan cara yang elegan.
Kamu tidak minta izin, tiba-tiba nikah saja, Mas. Kita lihat apa yang akan terjadi suatu saat nanti akibat ulahmu! Batin Aisha bergejolak.
Berhari-hari Aisha menangis di kamarnya. Tentu saja tanpa sepengetahuan anak dan suaminya itu. Bi Sumi pun tidak boleh tahu tentang masalah rumah tangganya.
Ahmad pun merasa bahagia ketika Aisha menyatakan tidak keberatan dan menerima keputusannya untuk menikah lagi meskipun diputuskan secara sepihak.
Semakin hari Ahmad semakin baik dan perhatian. Tugas mengurus rumah pun banyak ditangani bi Sumi, dan menyarankan Aisha mencari kesibukan lain agar tidak jenuh di rumah.
Akhirnya Aisha meminta izin untuk bekerja. Ahmad cukup terkejut dengan permintaannya itu.
“Kamu yakin akan bekerja?” tanya Ahmad seolah ragu kepada istrinya.
Dengan tenang Aisha menjawab, “kenapa, Mas lupa kalau istrimu ini sarjana ilmu komunikasi?” ucapnya dengan senyuman yang penuh kemenangan.
Ahmad tidak bisa berkutik. Istrinya memang benar. Sebelum dinikahinya dia adalah seorang sarjana komunikasi yang hebat. Aisha juga pernah bekerja, hanya saja cuma berlangsung satu tahun karena keburu dipersuntingnya. Waktu itu, Ahmad meminta agar Aisha di rumah saja, tidak perlu capek-capek kerja. Ahmad merasa sanggup memberikan segalanya.
Akhirnya Ahmad mengizinkan istrinya bekerja. Anak-anak sekolah. Urusan rumah ada bi Sumi yang justru senang karena katanya selama ini banyak nganggurnya.
Waktu berlalu, Aisha akhirnya berhasil menyembunyikan kesedihan dalam kesibukannya bekerja di sebuah perusahaan jasa. Untuk melupakan lukanya, di kantor ia kerja sefokus mungkin. Sementara di rumah ia kembali lagi berpura-pura tidak tersakiti.
Apalagi Ahmad semakin berani menelepon madunya bahkan meminta izin Aisha untuk pergi menemuinya secara terang-terangan. Berkali-kali Aisha harus menelan pil pahit. Omongan tetangga yang makin menyakitkan. Bahkan melihat dengan kedua matanya sendiri Ahmad bermesraan dengan madunya itu.
Ahmad juga tidak semanis dulu. Setelah mendapatkan lampu hijau, dia lebih bahyak menghabiskan waktunya di tempat perempuan yang lebih muda dan mungkin memang pandai menggoda.
Memilih untuk mengisi masa liburan bersama istri baru, daripada dengan Aisha dan kedua anaknya. Bahkan sampai lupa berhari-hari tidak pulang.
Demi anak-anak, Aisha telah berjanji, meskipun hatinya hancur, Aisha akan tetap berusaha tabah. Ia tak ingin membuat suasana rumah menjadi tidak harmonis, terutama untuk kedua anaknya. Walaupun belakangan anak-anak banyak protes dan bertanya kemanakah ayahnya, hari libur masih saja sibuk kerja.
Setiap hari, Aisha berusaha menjaga kebahagiaan keluarganya meski dirinya sendiri terluka. Sesekali ia tetap memasak makanan kesukaan Ahmad di hari libur kerja. Mengurus rumah tangga dengan penuh cinta, dan selalu tersenyum meski hatinya remuk.
Namun, satu hal yang selama ini tidak Aisha lupakan; tentang harga dirinya sebagai perempuan.
Ia tahu bahwa meskipun sabar, itu bukan berarti ia harus menerima segala perlakuan tidak adil.
Suatu hari, Aisha mengumpulkan keberaniannya. Dengan penuh elegan, ia menghadap Ahmad. Tanpa marah atau menghina, ia menyampaikan keputusannya dengan tegas. Aisha menyatakan bahwa ia layak mendapat perlakuan yang setara, dan bahwa ia tidak akan lagi tinggal bersama seseorang yang tidak menghargainya sepenuhnya.
Ahmad terkejut dengan sikap Aisha yang begitu tenang dan bijaksana. Namun, ia juga merasakan penyesalan karena telah merugikan perempuan yang begitu baik padanya.
Dengan penuh penyesalan, Ahmad meminta maaf kepada Aisha, namun Aisha sudah mantap dengan keputusannya.
Meskipun poligami tidak menyalahkan aturan Tuhan, tetapi ia menginginkan keadilan. Selama ini ia sudah berusaha sabar, tetapi nyatanya tidak bisa melanjutkan bahtera rumah tangga yang sudah puluhan tahun dibangun bersama.
Meski pahit, keputusan itu membawa kedamaian bagi Aisha. Ia belajar bahwa kesabaran bukanlah tanda kelemahan, tetapi kekuatan.
Dengan kepala tegak, Aisha melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik, tanpa beban yang membelenggunya.
“Selamat tinggal, Mas. Mungkin setelah aku pergi, Mas bisa menjadi suami yang utuh untuk dia,” pungkasnya.
Aisha pun pergi dari istana milik Ahmad membawa dua orang buah hati mereka yang pasti akan selalu jadi obat pelipur lara.
Your style iss unique in comparison to other
people I’ve read stufdf from. Manyy thanks
for posting when you’ve got the opportunity, Gueds I’ll
just book mark this blog. https://waste-Ndc.pro/community/profile/tressa79906983/