Semakin hari Rani semakin rajin menekuni ibadah. Tidak disangka, pengaruh umi dan lelaki penyelamat itu sudah mengubah dirinya sejauh ini.
Kini ia lebih bisa menerima apa yang terjadi.sebagai takdir dan mungkin hukuman karena dia telah melainkan perintah Allah untuk menjaga jarak dengan lawan jenis. Begitu saja percaya kepada lelaki biadab yang membuatnya buta. Mulut manisnya telah berhasil membius Rini untuk datang ke pertemuan itu. Sebuah acara kumpul teman yang akhirnya merenggut kesuciannya.
Setiap batin menangis, Rini mengobatinya dengan solat seperti yang dikatakan Guntur lelaki penyelamatnya. Entah kenapa, Rini kini lebih bersemangat untuk melanjutkan hidup. Demi ampunan Allah dan demi jabangbayi dalam kandungannya. Guntur dan umi pun sudah menawarkan diri untuk mengantar Rini pulang ke rumah orangtuanya. Namun ditolak Rini dengan alasan, ingin memperkuat mental dulu. Umi Fillah dan Guntur pun tidak keberatan asalkan Rini tidak melakukan tindakan yang sama. Bagi mereka berdua adalah hal yang paling menakutkan ketika seseorang mengakhiri hidupnya dengan cara tragis. Guntur tidak mau semua terjadi lagi seperti kepergian Ningrum.
“Umi lihat Rani banyak berubah ya. Semakin hari semakin salihah. Rajin ibadah, solat, ngaji. Rini juga semakin rajin bantuin Umi. Alhamdulillah umi merasa ada teman sekarang,” ujar umi Fillah di suatu pagi.
Saat itu Guntur baru saja kembali dari pasar yang ada di desa. Membeli beberapa keperluan pangan pokok untuk sehari-hari.
“Ini apa?” tanya Umi ketika melihat sebuah bungkusan plastik yang bukan pesanannya.
“Itu, itu jilbab baru buat Rani, Umi. Kasian dia masa pakai punya Ningrum terus,” jawabnya Guntur gugup.
Umi Fillah tersenyum. Menyadari bahwa anaknya itu ternyarta sudah mulai jatuh cinta kepada Rini.
“Rini anak yang baik. Ia mau berubah. Semoga kamu bisa membuatnya lebih baik lagi ya, Nak.”
**
Guntur memang tidak bisa menghalau rasa iba yang kemudian berubah menjadi rasa sayang kepada perempuan itu. Walaupun nyatanya ia sedang mengandung bayi orang lain, tetapi Rini adalah korban. Ia berjanji akan menjaga anak itu kelak setelah lahir ke dunia.
“Sepertinya kamu harus pulang, Rin. Kasian orangtuamu,” bisik Guntur lirih. Wajanya menunduk demi agar tidak terlalu lama menatap perempuan yang berhasil membuatnya jatuh cinta setiap hari.
Dalam hatinya ia sangat ingin agar Rini berlama-lama di rumahnya. Namun apa daya, ia harus membuatnya pergi.
Rini menunduk, matanya berembun. Genangan air mata siap meluncur di pipinya yang sudah kembali merona tidak pucat pasi seperti sebelumnya.
“Apa kau benar-benar ingin aku pergi dari sini?” tanya Rini.
Kesedihan mendalam sedang meliputi perasaannya. Ada bersama umi dan Guntur adalah tempat teramam baginya. Dua orang yang menerima keadaan Rini. Jika pulang, apa yang akan dia dapatkan? Cibiran tetangga? Tangisan ibu dan bapaknya karena malu anaknya pulang dalam keadaan mengandung? Belum lagi, perutnya kini semakin membuncit.
“Tidak baik perempuan yang belum menikah tinggal berlama-lama di rumah seorang lelaki, Rani. Aku ingin kamu pergi dari sini secepatnya. Besok aku akan mengantarmu,” ucap Guntur dengan tegas.
Dalam ada hati yang perih ketika ucapan itu terlontar. Namun gejolak dalam dadanya yang semakin membuncah tidak bisa dibiarkan. Jika Rani masih di sini, maka dosanya kepada Allah akan semakin bertambah besar.
Mendengar perkataan Guntur, Rani terisak. Rasa sedihnya tidak dapat terbendung. Lelaki yang selama ini diharapkannya ternyarta malah ingin ia menjauh dari kehidupannya.
“Baik, kalau memang kau tidak lagi ingin melihatku. Aku memang hanya perempuan hina yang tidak layak dikasihi,” ucap Rani sambil pergi meningalkan Guntur sendirian.
**
Pagi buta, Rini sudah berkemas. Beberapa baju gamis dimasukan ke sebuah tas milik Ningrum.
“Jangan biarkan lagi auratmu terbuka. Pakailah!” ucap umi.
“Ini kan baju Ningrum, Umi. Bukankah kang Guntur tidak akan pernah rela jika baju-baju milik Ningrum hilang?”
“Kamu layak memakainya. Kembalilah lain waktu, dan kau bisa memasukannya lagi sendiri nanti ke lemari Ningrum!” ucap Guntur yang tiba-tiba muncul mengagetkan Rani.
“Maksudnya? Aku boleh ke sini lagi?” tanya Rani ragu.
“Bukan datang. Aku dan umi yang akan menjemputmu setelah anak dalam kandunganmu terlahir ke dunia,” jawab Guntur ketus.
Sebisa mungkin ia harus menyembunyikan rasa; tidak mau kehilangan Rani.
“Iya, Rani. Insyaalah Guntur akan menikahimu kalau bayinya sudah lahir nanti,” ucap umi.
Pipi Guntur teras memerah, pandangannya semakin menunduk tidak berani menatap siapapun. Hanya hatinya yang ramai, kenapa sih umi pakai bilang-bilang segala. Kan malu.
Rani tersenyum tipis mendengar pernyataan umi. Sesungguhnya ia ingin bertanya, “benarkah? Sungguh? Apakah aku tidak sedang bermimpi?”
Namun kalimat itu urung keluar dari mulutnya. Rani sudah sangat percaya, kalau Guntur dan umi tidak sedang main-main dengan janji.
“Kalau begitu, Rani tunggu,” katanya. Hanya kalimat itu yang berhasil keluar dari mulutnya. Sebagai ungkapan bahwa bahagianya dia.
Beruntungnya aku ya Tuhan. Terima kasih sudah menghadirkan lelaki penyelamat ini dalam hidup hamba.
Batin Rani semakin bergemuruh. Secercah semangat telah tertanam. Sejak saat itu ia berjanji, apapun yang terjadi ia tidak akan pernah menyerah, walaupun nanti ia aka mendapatkan cercaan dari tetangga bahkan mungkin dari keluarga ibu dan bapaknya.
**
Hari berganti. Bulan berlalu. Menjalani waktu tanpa keberadaan Rani betul-betul sangat melelahkan. Hari-hari terasa begitu panjang. Tidak ada lagi yang membantu umi di dapur. Makan pun kembali berdua saja sama umi.
Guntur senang saat mengintip dua perempuan itu masak di dapur sambil asik ngobrol. Masih terdengar suara riang tawa Rani di telinganya. Masih terbanyang jelas ekspresi Rani saat pertama kali ia lulus praktik dan bacaan solat yang diajarkan Guntur. Dengan seyum yang teramat manis, Rani berjingkrak lucu menggunakan mukena milik Ningrum.
“Ning, sudah waktunya Abang punya teman berbagi kebahagiaan sekarang. Abang tidak akan kesepian lagi. Ning jangan marah ya… Mukena kamu, dan beberapa gamis dipakai sama Rani,” bisik Guntur seolah sedang bercakap dengan mendiang adiknya.
Senyumnya terkembang. Membayangkan bahwa beberapa bulan lagi ia akan memiliki teman hidup. Dunia ini tidak akan sepi lagi. Dirinya pun tidak akan lagi takut masuk kamar Ningrum. Tidak akan lagi melihat umi sedih dan murung. Karena nyatanya umi sudah bisa terbuka dan bercanda dengan Rani. Artinya luka umi pun perlahan sudah sembuh. Sosok Rani sudah benar-benar mengisi hari-hari keduanya.
**
“Guntur pergi dulu ke pasar, Mi!” ucap Guntur dengan menenteng tas besar berpamitan.
“Umi bangga, Nak. Semangat ya,” ujar umi Fillah tersenyum lega. Kini Guntur bukan hanya jauh lebih semangat ibadah dan berdoa. Anak lelakinya pun semakin giat bekerja.
“Hati-hati, kalau sudah selesai urusan lekas pulang. Tidak baik berlama-lama di luar tanpa urusan yang pasti,” kata umi.
Guntur mengangguk patuh, “sejak kapan anak lelakimu ini kelayapan tanpa tujuan? Lagi pula ketika di luar sana, Guntur selalu ingat sama Umi,” jawabnya sembari tersenyum menggoda ibunya.
Guntur menghidupkan motornya, mengucap kalimat basmalah.
Motor melaju dengan kecepetan sedang menuju tempat mengais rejeki. Guntur telah berjanji akan bekerja lebih giat lagi. Bukan hanya untuk umi, melainkan untuk mengumpul uang bekal membeli mahar.
Pagi ini sangat indah. Semilir angin dingin yang berembus membuat segar. Mentari bersinar terang benderang. Hijaunya hutan dan ladang membentang menemani perjalanan Guntur. Cicit burung masih terdengar riuh di dedunan.
“Insyaalah hari ini menyenangkan,” gumam Guntur.
Lantas ia pun terkenang kejadian saat dirinya menyelamatkan perempuan bodoh yang tidak mau diselamatkan di sisi jembatan yang akan dilewatinya satu dua menit lagi. Lelaki itu tersenyum miris saat ingat kejadian itu. Namun seketika kemirisan itu berganti dengan senyum kebahagiaan, bahwa ternyarta perempuan yang diselamatkannya itu adalah tambatan hatinya hari ini.
Motor dipacu perlahan saat Guntur sampai di ujung jembatan. Seorang lelaki tua tengah merintih kelelahan. Wajahnya pucat pasi penuh dengan keringat di kening dan seluruh tubunya. Posisinya tengkurap dengan tangan menjulur ke tepi jebatan seperti sedang menahan beban yang teramat jelas. Lantas berubah ekspresi saat melihat kedatangan Guntur di sana.
“Tolong saya, Nak!” teriaknya dengan tenaga sisa.
Guntur bergegas memarkir motornya. Lalu berlari membantu bapak tua; menarik tangan kecil perempuan muda yang sudah menggantung nyaris jatuh ke dasar sungai.
***
Bersambung …
+ There are no comments
Add yours