Sebab Lenyapnya Kesejatian Seorang Lelaki

Estimated read time 3 min read
Share This:
See also  Sabar yang Membangkitkan

Lelaki sejati

Di teras rumah yang tenang, duduk sepasang suami istri, Rahman dan Rahmi. Keduanya menikmati secangkir kopi Arabika yang bersumber dari Manglayang. Sepiring singkong goreng yang beli dari warung pojok menemani santap sore mereka.

Rahmi dengan khusyu menikmati goreng singkongnya sambil menggenggam buku bacaan. Sementara Rahman sesekali meneguk kopi hangatnya seolah tidak ingin melewatkan setiap sensasi pada minuman kesukaannya itu.

Tampak di halaman rumahnya dan pohon duren yang beberapa tahun dibelinya sudah terlihat rindang. Cahaya senja memeluk keduanya, menciptakan suasana yang damai.

Rahmi memandang Rahman dengan lembut, “Sayang,  aku barusan menemukan lima hal yang dapat mengurangi kesejatian seorang lelaki,  kata Syaikh Mutawali As Sya’rawi.”

Rahman mengangguk, memperhatikan dengan serius, “coba sebutkan apa aja katanya. Aku jadi penasaran.”

“Pertama, meninggalkan sholat. Dengan meninggalkan sholat maka akan kehilangan ikatan spiritual dengan Yang Maha Kuasa. Ini seperti membiarkan hati kita terpisah dari sumber kebaikan,” jawab Rahmi sambil menatap mata Rahman.

Rahman menggigit bibirnya, tersadar akan pentingnya mendirikan sholat dalam keadaan apapun. “Terus, yang kedua apa?”

“Berbohong,” kata Rahmi dengan nada sedih. “Kejujuran adalah menjadi jembatan antara hati kita. Ketika kita merajut jaring kebohongan, kita memotong hubungan dengan kebenaran dan cinta yang tulus.”

Rahman menarik napas dalam-dalam, merenungkan kata-kata itu. “Benar sekali, Yank. Lalu, yang ketiga?”

“Kikir, alias pelit” ucap Rahmi dengan nada rendah. “Ketika kita menahan diri untuk memberi, kita mengekang kebaikan dalam diri kita sendiri. Kekayaan yang berlimpah hanya berarti bila kita mau berbagi dengan mereka yang membutuhkan.”

See also  Perempuan Setengah Gila

Rahman menatap air kolam, mengerti akan kebenaran kata-kata itu. “Kita sama-sama niatkan bahwa memberi adalah merupakan kebutuhan kita. Bahwa memberi adalah jauh lebih baik daripada diberi. Dan setelah itu?”

“Durhaka kepada kedua orang tua,” sahut Rahmi dengan suara bergetar. “Orang tua adalah akar kita, yang memberi kita kehidupan dan cinta tak terbatas. Melanggar dan menyakiti mereka adalah merusak hubungan suci yang kita bangun sejak lahir.”

Rahman menggenggam tangan Rahmi erat-erat, “Kita tingkatkan bakti kita kepada orang tua. Mumpung orang tua kita masih utuh. Aku juga teringat sebuah hadis yang mengatakan, “terhina seseorang manakala ada orang tua yang sudah renta tapi tidak menyebabkan kamu masuk sorga”. Lalu, yang terakhir apa?”

“Menyakiti wanita,” jawab Rahmi dengan suara serak dan bergetar. “Wanita adalah mahkota kehidupan yang harus  dilindungi dan dijaga kehormatannya. Menghancurkan hati wanita adalah melukai kesucian kita sendiri.”

Rahman menatap Rahmi dengan penuh gejolak rasa. “Terima kasih, sayang. Aku berjanji akan berusaha untuk tidak terjerumus dalam hal-hal tersebut. Kau adalah sinar yang membimbingku menuju kesucian. Terus ingatkan aku supaya Kesejatian laki-laki itu tidak hilang dalam diriku.”

Rahmi tersenyum, memeluk Rahman erat-erat. “Kita akan mengarungi hidup ini bersama, saling mengingatkan, saling menguatkan dan menyucikan hati kita. Sehingga kita terus bersama dalam kebaikan dan bersama pula dalam jannah-Nya”

_”Aamiin yaa rabbal ‘aalamiin..”_, ucap Rahman sambil meneguk kopi nya yang gak terasa hampir habis.

Share This:
Nurdin Qusyaeri

Dosen IAI Persis Bandung, Penulis Buku Natsir Dari Persis Untuk Indonesia

Kamu Mungkin Suka

Tulisan Lainnya

+ There are no comments

Add yours