Lelaki Penyelamat (Part 3)

Lelaki Penyelamat

Kala itu Rani baru saja bangun dari tidurnya. Rasa lelah yang menguasai membuat tubuh Rani terasa remuk redam. Rani mengerjapkan mata, semalam ia tertidur pulas di kamar gadis dari perempuan yang telah mengobati luka-luka kecilnya juga menggantikan pakaiannya yang sudah kotor dan koyak.

Sayup-sayup terdengar suara seorang pemuda yang sedang membaca Alquran; suaranya begitu menentramkan hati.

Itu pasti lelaki penyelamat yang telah memn,buatnya gagal mati kemarin batin Rani.

Lalu Rani bangun dan duduk di sisian ranjang. Sejenak ia mencoba mencerna kejadian yang dialaminya untuk kesekian kali.

Aku telah diselamatkan oleh seorang lelaki penyelamat. Haruskah aku melanjutkan hidup dengan beban yang menggunung seperti ini? Orangtuaku bagaimana? apa yang harus aku lakukan kini?

Pintu diketuk dari luar. Suara umi Fillah memanggil namanya untuk menunaikan solat subuh.

**

“Aku tidak bisa solat, Umi,” keluh Rani.

Lelaki yang sejak tadi duduk di hadapannya menghela napas panjang lalu diembuskannya dengan kasar.

“Sudah dewasa gitu belum bisa solat? Pantas saja imanmu setipis tisu!” maki lelaki bernama Guntur itu. “Tahunya mati saja. Kau pikir dengan mati akan bebas dari siksa kubur? Punya bekal apa kamu buat mati? Solat saja gak bisa,” kata lelaki itu smbil beranjak meninggalkan tempat duduknya.

“Gak boleh begitu, Guntur…,” ucap umi lirih. “Dia masih punya kesempatan untuk memperbaiki dirinya bukan? Baiknya nanti siang kamu mengajarkannya solat. Pagi ini, biar ibu yang membimbing,” ujar umi kepada anak semata wayangnya.

Guntur terperangah mendengar ucapan ibunya itu. Bagaimana bisa ia mengajarkan solat kepada seorang wanita yang  baru saja dikenalinya itu.

“Kenapa harus saya? Umi?” tanya Guntur dengan dahi yang mengernyit. “Umi saja lah…,” keluh Guntur.

Mengajarkan perempuan ceroboh untuk bisa solat menurutnya akan menjadi perkara yang mempersulit kehidupannya. “saya tidak bersedia, Umi. Saya kan laki-laki!” bantah Guntur.

“Niatkan untuk menolong orang lain, Nak! Insyaallah akan menjadi amal jariyah buat kamu. Selama kamu tidak melanggar batasan, maka itu tidak akan jadi masalah,” ujar umi Fillah.

Guntur lagi-lagi mengagguk patuh, “tidak ada pilihan lain,” gumamnya.

**

Hari-hari selanjutknya adalah kegiatan mengajarkan Rani mengaji dan bacaan solat. Rani adalah pembelajar yang baik, semua yang diajarkan Guntur begitu mudah dikuasainya. Hari ini Rani sudah bisa solat menggunakan mukena milik Ningrum adik semata wayangnya.

Mata Guntur tak bisa berkedip ketika melihat Rani begitu mirip dengan mendiang adiknya. Kenangan-kenangan menyakitkan saat Ningrum pergi pun datang kembali; menyakitkan.

Ningrum adalah adik yang sangat dicintainya. Sejak kecil mereka selalu hidup bersama, berbagi makanan, berbagi mainan sampai berbagi pangkuan ibu saat sama-sama ingin tidur di pangkuan ibunya. Tanggung jawab Guntur menjadi lebih besar saat sang ayah pergi meinggalkan mereka.

Sebagai kakak laki-laki Guntur tidak hanya dituntut untuk menjadi penjaga, ia pun memiliki peran ayah setelah peran ibunya untuk Ningrum. Membimbing adik perempuan dalam usia yang masih belia menjadi tantangan tersendiri untuk Guntur.

Seperti saat itu. Ketika Ningrum meminta izin untuk pergi mengikuti lomba ke kota. Habis-habisan Guntur melarang karena merasa tidak rela. Entah itu adalah feeling seorang kakak tentang keselamatan adiknya. Namun karena Ningrum merengek untuk pergi maka apa mau dikata, akhrinya ia pun mengizinkan dengan berat hati.

Sampai akhirnya kabar itu datang begitu menyakitkan. Bagai sambaran petir di siang hari. Ningrum hilang beberapa hari sebelum akhirnya dipulangkan dengan dikawal polisi. Gadis belia yang sangat salihah dan penurut itu menjadi korban rudapaksa tiga orang seniornya yang biadab.

Sampai rumah, berhari-hari Ningrum tidak mau bicara apalagi makan. Berjuta kali dibujuk, anak gadis itu hanya diam dengan tatapan kosong dan air mata yang selalu mengalir dari sudut matanya yang semakin sembab.

Suatu hari, Ningrum akhirnya mau makan dengan sangat lahap. Ia pun sudah mau berbicara bahkan ia bilang sudah merasa baik-baik saja. Sesekali di bibirnya sudah terlukis senyum bahkan tawa kecil lagi. Umi dan Guntur sangat bahagia walau pada akhirnya mereka kembali harus menerima kenyataan bahwa Nungrum tengah mengandung.

Umi dan Guntur sudah sangat pasrah untuk menerima papaun keadaan yang menimpa keluarga mereka asalkan Ningrum sudah bisa kembali mau makan dan tidak murung lagi di kamarnya tanpa bicara. Mereka menganggap bahwa itu adalah takdir malang yang harus diterima dan direnungkan.

Guntur menangis meratapi apa yang dialami oleh adiknya. Belum juga belajar untuk menajdi kepala keluarga dan ayah pengganti untuk adiknya, kini ia harus bersiap untuk menjadi sosok ayah bagi keponakannya yang ada di dalam kandungan Ningrum.

“Guntur, Umi tahu apa yang kini kamu rasakan, Nak. Tapi ibu mohon, kamu tegar ya. Kita harus  sama-sama menjaga emosi Ningrum agar tetap stabil. Bisa kan, Nak?” pinta Umi Fillah kepada anak lelakinya.

Guntur mengangguk setuju sembari menguatkan hati. Dalam hatinya telah tertanam tekad bahwa dirinya akan menjaga adik perempuannya apapun yang terjadi. Mendampingi hari-harinya sampai ia bisa melewati semuanya dengan penerimaan yang bulat dan sembuh dari trauma.

“Ini pasti berat untu Ningrum, Mi. Tapi betul kata Umi, kita harus terus mendampingin Ningrum apapaun yang terjadi. Kita adalah satu-satunya orang yang bisa menerima keadaan Ningrum,” ujar Guntur.

Umi mengangguk dengan senyuman lega, “terima kasih, Nak. Sekarang Umi mau antar makanan dulu ke kamar adikmu ya,” ucap umi Fillah sambil melenggang ke dapur lalu masuk ke kamar Ningrum dengan membawa sepiring makanan.

“Guntur…!” teriak umi histeris.

Ningrum menghilang tidak ada di kamarnya. Dia melarikan diri.

**

Ningrum ditemukan tewas di dasar sungai oleh seorang pencari ikan dalam keadaan mengenaskan. Sepekan dari itu Guntur menemukan secarik kertas berisi pesan terakhir dari Ningrum.

Umi dan Abang, Maafkan Ningrum. Sejuta usaha telah Ning lakukan untuk mengusir rasa sakit dan takut yang Ning rasakan. Ning juga ingat sekali pada pesan Abah, bahwa menjadi Hamba Allah kita tidak boleh berputus asa pada rahmat-Nya. Seberat apapun cobaan yang kita alami pasti akan ada jalan keluar. Juga sebanyak apapun dosa yang kita lakukan Allah akan mengampuni kita jika kita meminta ampunan kepada-Nya. 

Umi, Abang. Ning sudah berkali-kali minta dikuatkan. Berkali-kali juga Ning meminta ampunan atas dosa dan salah yang Ning lakukan hingga Allah menimpakan ujian seberat ini kepada Ning, dan tentunya cobaan berat juga untuk Abnag dan Umi. 

Tapi sepertinya Ning gak akan kuat menjadi seorang ibu dalam usia yang masih belasan tahun. Saat yang lain masih bisa tertawa lepas bersama kawan-kawannya, Ning harus diam dengan bayi kecil yang tidak bisa Ning urusi dengan baik. 

Umi dan Abang harus tahu. Bahwa mimpi Ning sebenarnya masih sangat banyak. Salah satunya ingin mempersembahkan mahkota di kepala Umi dan mengajak Abah dan Abang ke Surga lewat hafalan Ning. Namun apa daya, sekali lagi Ning gak akan kuat. 

Biarlah ini menjadi dosa untuk Ning. Ning gak akan menuntut Abnag dan Umi atas dosa yang Ning buat kali ini. Ning mau pergi saja. Agar Umi sama Abang hanya menangis sekali karena kepergian Ning. Bukan nangis setiap hari, karena melihat kepayahan Ning mengurus anak dalam keadaan gila. 

Ning sayang sekali sama Umi dan Abang juga sama Abah. Tapi sekali lagi, Ning gak kuat hidup. Relakan Ning dansesuatu yang bikin Ning selalu pusing dan mual di perut Ning ini pergi jauh. Ning gak akan pernah bisa kembali… 

Bersambung…

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *