Tangisan Dede makin kencang. Dia membungkus dirinya sendiri dengan selimut tebal. Namun meskipun begitu bahunya yang berguncang masih terlihat jelas. Suara tangisnya pun tidak bisa disembunyikannya.
Bunda mendekat, mengelus kepalanya. Perlahan membuka selimut yang menutupi kepala Dede. Dikecupnya kening Dede dengan penuh kasih sayang. Dede hanya bergeming, diam. Masih sesenggukan.
“Kenapa sih?” tanya ayah sambil berbisik.
Bunda hanya tersenyum sambil mengangkat bahu.
“Udah, kasian!” bisik ayah lagi, “nanti energinya habis. Lagi puasa.”
Bunda lalu memberikan kode, bahwa dia membutuhkan ruang untuk berdua sama dede. Ayah mengangguk.
“Dede maafkan Bunda bikin kamu sedih. Tapi kalau boleh tahu yang bikin Dede nangis itu apa? Kalau ada yang mau dibicarakan sama Bunda, bilang ya! Kalau kesel sama Bunda juga boleh,” ujar Bunda lembut.
Dede menggeleng. Dia beringsut membelakangi bundanya.
“Dede…,” panggil bunda lagi.
“Dede sedih, dimarahin sama Bunda…,” kata Dede sambil terisak. Hidungnya mampet, penuh dengan ingus.
“Lho, kapan Bunda marah? Tadi kan kita cuma bicara soal kegiatan Ramadan. Lalu Bunda bahas kegiatan di pesantren…,” ungkap bunda apa adanya.
“Buat Dede mah itu Bunda lagi marahin Dede,” jawab Dede dengan bibir yang manyun.
Dede sudah kelas 5. Sebentar lagi usianya pun sudah mau 12. Namun Dede masih suka nangis kalau misal berurusan sama bunda.
Bunda dan Dede pernah hidup prjungan. Berdua saling menjaga. Suka duka dihadapi bersama. Dede adalah penjaga bunda. Begitu pun sebaik-baiknya, bunda lah satu-satunya orang yang Dede andalkan. Namun kalau keduanya ada masalah, mereka akan sangat betsedih. Terlebih Dede, anak lelaki yang satu ini begitu mudah menangis jika sudah berurusan dengan bunda.
“Dede sedih, kalau Bunda marah. Dede gak mau menyakiti perasaan Bunda. Jadi kalau Dede nangis, itu bukan karena Dede sakit hati sama Bunda. Tapi Dede kesel sama diri sendiri kenapa gak bisa bikin Bunda seneng,” ucap Dede dulu saat terakhir dinasihatin Bunda karena main hape terus dan lupa sama pesan bunda; matiin air di bak mandi, sementara bunda pergi.
Kini Dede sedih lagi karena habis sahur tadi bunda membahas Dede yang tidak mau solat di masjid. Lalu Bunda bahas tentang pesantren yang mendidik anak-anak agar menjadi orang yang taat pada agama.
“Bunda…,” ucap Dede. Badannya berbalik ke arah bunda yang sejak tadi memeluk tubuh Dede dari belakang. Cara yang selalu dilakukan bunda agar Dede lebih tenang ketika Dede marah, kesal, takut dan emosi lainnya. Dede selalu tenang kalau sudah dipeluk bunda.
“Iya….,” jawab bunda lembut.
“Dede nangis bukan karena dimarahin Bunda. Tapi Dede gak mau pesantren, Dede gak mau jauh dari Bunda,” katanya.
Mata Dede kembali berkaca-kaca. Sebentar lagi bulir air mata jatuh di pipinya.
Bunda tersenyum, “tadi, Bunda sudah bilang. Kalau saja Dede bisa berlatih hal yang Bunda katakan, soal pesantren pasti Bunda pertimbangkan lagi. Iya kan?” kata Bunda.
Dede mengangguk.
“Masih ingat apa aja tugas Dede?” tanya bunda lagi.
“Solat wajib gak boleh ketinggalan kalau bisa selalu tepat waktu, mengaji selepas magrib, bangun subuh kalau bisa solat di masjid,” jawab Dede.
“Tepat. Mudah bukan?” tanya bunda.
Dede mengangguk tanda setuju.
Masjidnya dekat dengan rumah. Dede tinggal jalan 2 menit sudah sampai. Teman-teman sebaya pun banyak. Namun memang ada satu kendala yang selama ini membuat bunda dan Dede harus menahan pembiasaan itu sejak awal pindah ke rumah ayah. Yaitu tentang pemahaman dan cara ibadah yang berbeda dari yang biasa dede dan bunda lakukan. Itu cukup membuat Dede kebingungan.
“Dede cukup ikut solat berjamaahnya saja kok. Habis itu, Dede boleh pulang lagi. Yang wajib bagi laki-laki adalah pergi ke masjid untuk solat berjamaah. Karena lelaki terkuat adalah bukan dia yang punya otot kayak atlet dan bisa mukulin orang. Lelaki terkuat adalah dia yang sanggup pergi ke masjid subuh hari. Melawan kantuk dan dinginnya udara pagi.
“Jadi, besok mau mulai ikut ayah ke masjid?” tanya ayah yang entah kapan sudah berdiri di dekat Dede dan bunda.
Dede tersenyum, mengangguk setuju.
“Alhamdulillah, anak hebat!” kata bunda sambil mengelus rambut Dede. “Semangat ya para jagoan Bunda.”
Bunda memeluk dua jagoannya. Ayah adalah ayah yang baik untuk Dede. Dede pun sangat menyayangi ayah sambungnya seperti sayangnya Dede sama ayah kandunnya.
“Bunda gak mau lihat tangisan Dede lagi. Maafkan Bunda ya…,” kata bunda.
+ There are no comments
Add yours