“Bangkit, Amara!”
Berulangkali kalimat itu dibisikannya kepada diri sendiri dengan berlinang air mata.
“Sudah lama sekali dia hilang!” ucapnya dengan suara parau. Berhari-hari perempuan itu tidak mau makan. Kerjanya hanya diam di dalam kamar. Bukan tidur, dia hanya menyengaja bersembunyi. Terlalu murah hati jika harus bertemu dengan para bajingan di luar sana. Orang-orang yang telah menjerumuskannya dalam lembah terburuk masih berkeliaran di sekitarnya.
Kepalanya terasa begitu sakit. Matanya sering memejam memaksakan diri untuk beristirahat. Namun bayangan kejadian yang membuatnya sungguh hancur selalu tergambar jelas dan nyata setiap ia memejamkan mata. Akibatnya, wajahnya yang cantik semakin pucat. Pipinya bertambah tirus dengan kantung mata yang semakin menghitam. Setiap hari kondisi kesehatan Amara kian memburuk.
Kepalanya tidak pernah berhenti memikirkan Daniel sang suami yang seharusnya mendampingi dalam keadaannya yang kini sedang ditimpa masalah. Bukankah memang begitu? Seorang suami seharusnya menemani istrinya dalam menghadapi masalah bukan malah pergi menghilang mencari nyaman sendiri.
Antara rindu dan benci, kini Amara sangat ingin bertemu dengan Daniel yang telah bersumpah akan membahagiakan dan menjadi pendamping hidupnya di depan penghulu dulu.
“Sebaiknya Non makan dulu. Kesehatan Non jauh lebih penting,” bujuk bi Minah. Tangannya begitu hati-hati menata mangkuk dan gelas jus di meja sebelah ranjang Amara. “Kalau Non sehat, Non punya banyak tenaga untuk mencari keberadaan Tuan Daniel bukan?” ujar bi Minah sambil menatap dalam-dalam kedua mata Nona-nya.
Amara mengangguk. Kali ini ia mau menuruti perkataan bi Minah. Sesaat kemudian ia menyantap bubur yang dibuatkan bi Minah. Orang paling setia yang masih bisa ia percaya di rumahnya itu. Perempuan yang sudah mau mempertaruhkan keselamatannya demi menyelamatkan diri Amara dan kesehatannya yang kian hari kian memburuk.
Rumah yang besar bak istana tetapi bagaikan hidup dalam neraka berada di dalamnya. Kamar adalah Satu-satunya yang bisa dibilang tempat ternyaman dan aman meski setiap hari mata-mata jahat ibu tiri dan adik sambungnya mengintai gerak-geriknya setiap hari.
“Bi, Nancy dan Luci tidak mengancam bibi lagi kan?” tanya Amara dengan penuh kekhawatiran.
“Non tenang saja, Bibi bisa jaga diri. Makanlah!” jawab Minah dengan suara berbisik.
“Apa tidak sebaiknya kita pergi saja dari rumah ini? Aku ikut bibi ke kampung,” ucap Amara menghentikan kunyahannya.
“Bibi tahu Non sangat sakit mengahdapi ini semua. Tapi kalau boleh bibi saran, Non jangan mau kalah. Non sangat berhak atas rumah ini dan semua yang ditinggalkan Almarhum Tuan Jalal Ayah yang jelas-jelas ayah Non sendiri.”
Ucapan bi Minah ternyata memberikan kekutan tersendiri untuk Amara. Ia melahap bubur dengan rakusnya.
“Bi, nanti siang bawakan aku makanan yang lebih banyak! Aku harus segera sembuh,” katanya.
Minah mengangguk patuh dengan senyum yang terkembang, senang nonanya sudah mulai bersemangat. Menyadari bahwa ia sudah terlalu lama berada di kamar Amara, ia segera pamit bergegas meninggalkan kamar untuk kembali menjadi pengabdi dua perempuan lain di rumah besar itu.
***
Amara Kusuma, seorang direktur perusahaan milik ayahnya harus terpuruk karena fitnah keji dari adik sambungnya sendiri. Ia dituduh menggelapkan uang perusahaan yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya. Dia sendiri tidak habis pikir, semua selalu ada di bawah pengawasannya dan dipastikan bahwa perusahaan dalam keadaan stabil. Namun ketika audit, tiba-tiba dinyatakan ada kebocoran besar. Entah bagaimana caranya dan kapan orang yang mencelakainya itu memiliki kesempatan untuk memanipulasi data. Kini ia harus menanggung semuanya sendirian.
Amara pun hampir saja jadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh dua orang lelaki yang menggunakan topeng. Berandal itu memberhentikan mobilnya sepulang kerja di jalanan sepi. Beruntung nyawa Amara masih selamat saat itu ada orang yang mengetahui kejadian sehingga para pelaku lari tunggang langgang takut diamuk massa. Amara berhasil dilarikan ke rumah sakit sebelum sekarat.
Mirisnya, di masa-masa pemulihan Amara di rumah sakit, sang ayah malah bersikeras memintanya mengganti semua kerugian perusahaan. Caranya meminta pun berbaur dengan tuduhan bahwa Amara lah yang memang telah menyalahgunakan dana perusaaan. Sampai ujung hayatnya, sang ayah tetap tidak percaya bahwa Amara tidak melakukan perbuatan kotor itu. Karena Amara memang tidak pernah bisa menyajikan fakta yang bisa dijadikan bukti.
Aset pribadi Amara telah habis, dan masih harus mencicil tunggakan. Rumah mewah miliknya dan dua mobil miliknya pun belum bisa menutupi utang pada perusahaan. Demi terus hidup dan memiliki tempat tinggal, ia rela mengemis kepada ibu sambung untuk tinggal kembali di rumah ayahnya. Bagaikan gelandangan yang harus memohon-mohon untuk menumpang hidup di rumah orangtuanya sendiri.
“Usia Ayah sudah tidak lama lagi, Amara. Ayah hanya ingin anak Ayah satu-satunya ini bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Perusahaan ini hasil jerih payah Ayah semasa muda dulu, tolong jangan sampai perusahaan ini hancur. Kamu harus mengembalikan apa yang sudah kamu gunakan untuk kepentingan pribadimu yang gak jelas itu,” pesan terakhir ayahnya selagi dirawat di rumah sakit. Menjadikan hati Amara teramat perih, karena orang terdekat yang seharusnya menjadi satu-satunya yang bisa membelanya pun tidak mempercayainya.
“Kau dengar Amara, jika ingin tetap menjadi ahli waris ayahmu, kau harus mengembalikan semuanya sebelum aku mengubah isi pernyataan wasiat tua bangka itu oleh pengacara yang kubayar mahal,” ujar Nancy sesaat setelah ayahnya meninggal dunia. Seolah tidak ada habisnya setelah menguras uang perusahaan perempuan itu masih ingin menghabiskan apa yang Amara miliki sampai sehabis-habisnya.
Sejak menikah dengan ayahnya, Amara memang tidak pernah benar-benar bisa menerima perempuan ini. Nuraninya selalu berkata bahwa Nancy tidak benar-benar tulus mencintai ayahnya. Dua tahun terakhir saat ayahnya mulai sakit-sakitan, semakin terbukalah semua kebusukan yang ditunjukkan Nancy juga Lusiana yang menjadi adik sambung Amara.
***
Berkat perawatan Minah, kesehatan Amara mulai berangsur pulih. Mental nya pun sudah jauh lebih siap untuk menghadapi dunia luar. Bahkan bisa jadi jauh lebih kuat dari sebelumnya. Kesakitan yang diterimanya secara bertubi-tubi telah menjadikannya jauh lebih kuat hari ini.
Amara sedang menonton televisi di ruang keluarga saat Luciana dan Nancy datang dengan menenteng beberapa tas belanja. Hampir setiap hari Nancy dan Lusi menghabiskan waktu di luar dengan orang-orang yang mereka sebut sebagai teman sosialita.
“Baru pulang rupanya, Nyonya dan Nona muda,” ucap Amara tanpa melirik wajah mereka. Matanya masih asik dengan tayangan TV.
Kedua perempuan itu saling tatap. Sedikit terkejut dengan kondisi Amara yang semakin segar bugar.
“Kenapa? Kaget melihatku semakin sehat?” ucap Amara. Bibirnya tersenyum sinis mengingat pengakuan bi Minah bahwa dia selalu diminta untuk mencampurkan racun ke dalam makanan yang dimakannya.
“Kalian kira aku akan seperti ayah, mau dibodohi? Ketika aku sakit dan hampir gila, kalian kira kewarasan dan kewaspadaanku akan hilang begitu saja? Aku tahu, kalian telah membubuhkan racun untuk membunuhku perlahan, seperti yang kalian lakukan pada ayahku.”
Amara lantas berdiri menghampiri keduanya yang msih mematung. Dua perempuan yang biasanya ganas, kini kikuk karena melihat Amara lain dari biasanya.
“Bi Minah!” teriak Nancy dengan mata dan wajah yang geram.
“Iya, Nyonya,” jawab Minah dari dapur. Lalu bergegas datang memenuhi panggilan majikannya itu.
“Aku pikir kau masih setia,” dengus Nancy. Matanya yang sinis menatap Minah dengan sangat kejam.
“Bibi dari dulu masih setia, Nyonya. Namun Bibi setia pada kebenaran,” jawab Minah dengan suara yang tenang tanpa gentar.
“Berani ya kamu sekarang!” bentak Luciana dengan tangan siap menampar perempuan paruh baya tersebut, tetapi digagalkan oleh sebuah tangan yang kekar yang tiba-tiba datang menghampiri.
“Daniel?” ucap Amara.
Kali pertama ia bertemu lagi dengan suaminya yang telah menghilang sejak fitnah itu menjalar. Alasan bahwa ia tidak mau ada sangkut pautnya dengan urusan sang istri membuah Amara merasa bahwa Daniel memang suami yang tidak bertanggung jawab. Membiarkan istrinya dalam kesulitan tanpa pendampingan.
“Aku tidak sudi memiliki istri seorang koruptor!” Kalimat yang diucapkan Daniel di malam terkhir ketika lelaki itu meninggalkan rumah, bertepatan dengan ketika aset Amara disita seluruhnya. Sebuah kehilangan yang luar biasa. Aset dan suami yang selama ini ia anggap mampu menjadi pelipur lara dan mau menemaninya dalam segala suasana.
“Tuan, kenapa Tuan menghalangi non Lusi untuk menampar saya?” tanya Minah dengan sangat berani. Entah kekuatan apa yang telah membuat perempuan desa ini memiliki keberanian lebih untuk bicara dengan orang-orang yang bisa dibilang selama ini telah memperbudaknya.
“Kebusukan apa lagi yang akan Tuan tutupi dari non Amara? Mau berlagak membela bibi yang kalian anggap lemah?” tanya Minah lagi. Wajahnya sangat tenang, tidak tergambar rasa takut sedikit pun. Minah yang selama ini selalu tunduk patuh, telah berubah menjadi Minah yang sangat pemberani.
“Ngomong apa sih, Bibi?” tanya Daniel berusaha lembut dan tenang.
Nancy dan Lusiana saling pandang. Tampak kebencian dan amarah yang memuncak di wajah mereka.
“Dasar pembantu tidak tahu diuntung!” gerutu Nancy.
Keberanian Minah bertambah banyak ketika bayangan-bayangan tentang kebaikan keluarga Amara yang ia terima sejak ia pertama kali masuk ke dalam kelaurga itu.
“Tuannya bibi adalah Ibu Halimah, tuan Jalal dan Non Amara. Ibu Nancy dan Non Luci hanya pendatang di rumah ini. Bibi sekarang tidak takut!” ujar Minah dengan suara lantang dan penuh keberanian. “Non Amara, kali ini Non jangan lagi diam, Non. Semua dalang yang telah membuat Non Amara terpuruk sekarang sedang berkumpul. Ayo Non, bangkit!” ujar Minah.
“Maksud Bibi apa?” tanya Amara masih belum memahami arah pembicaraan Minah. Orang yang selama ini selalu memihaknya.
“Non, suami Non telah diam-diam menikah dengan nona Lusiana tanpa sepengetahuan Non Amara. Bahkan mereka berdualah yang telah memfitnah Non atas kerugian perusahaan ayah Non itu.”
“Apa-apaan ini?” bentak Daniel. “Jangan percaya perempuan tua ini, Amara! Apa yang dikatakannya salah besar. Aku selama ini masih setia padamu. Kini aku pulang untuk menjemputmu, Sayang,” bujuk Daniel kepada Amara.
”Bi, katakan sekarang juga, apapun yang bibi ketahui,” pinta Amara.
Tanpa ragu Minah lalu membuka seluruh fakta kebusukan mereka bertiga. Namun Amara yang baru pulih, malah menemukan sakit yang teramat sakit. Suaminya sendiri bukan hanya lari dari tanggung jwab, melainkan malah selingkuh dengan adik sambungnya sendiri.
“Amara, dengar dulu penjelasanku!” bujuk Daniel.
“Aku sudah tidak percaya lagi kepada kalian bertiga. Silakan pergi dari sini! Ini rumahku kalian tidak layak tinggal di sini,” ucap Amara dengan penuh kemarahan.
Tangannya meraih tangan bi Minah dan memeluk perempuan tua itu dengan lembut. “Terima kasih banyak, Bibi masih sangat setia pada aku, mama dan papa,” bisiknya.
Minah mengangguk pelan dan membalas pelukan nonanya itu. Ia menghela napas panjang berkali-kali seolah memenangkan dirinya sendiri yang kini telah merdeka dari ancaman yang telah membuatnya merasa terpenjara sekian lama. Ia juga bahagia karena nona Amara sudah kembali bangkit.
***
+ There are no comments
Add yours