Secara logika, seharusnya Roy menjadi lelaki penyelamat yang mampu menjadi sayap pelindung untuk Rani seperti yang dijanjikannya selama ini. Namun ternyarta mulut manisnya hanya semacam janji busuk yang menjijikan. Kini kebencian Rani membuncah dan memusat kepada lelaki yang dulu sangat dicintainya itu.
***
Senja menyapa. Semburat layung tergambar di ujung barat; redup. Angin sepoi menyapu dedaunan. Gemerisik terdengar ranting dan daun beradu.
Rani bergeming di sisian beton jembatan. Tak ada seseorang yang tahu. Rambutnya yang panjang berantakan tersapu tiupan angin. Tangannya yang mungil sibuk meyapu air mata yang menyerupai sungai kecil di pipinya yang semakin tirus.
Adegan menyakitkan kembali terbayang di pelupuk mata. Nista itu sangat mengerikan. Bagaimana bisa seorang yang sangat dicintainya berani merenggut sesuatu yang selama ini sangat dijaganya.
Benar kata Mamak. Rani adalah perempuan bodoh yang mau begitu saja dibawa pergi karena terlampau percaya dengan cinta. Lihatlah betapa ketulusan dan kepolosan Rani telah dimanfaatkan oleh lelaki yang katanya sangat mencintainya.
“Mamak malu punya anak seperti kamu! Apa kata orang-orang jika mereka tahu kalau anak seorang ustadz dan ustadzah di kampungnya telah berzina dan melahirkan anak tanpa ayah. Mamak gak sanggup, Rani. Gak sanggup!” teriak Mamak dengan suara terpekik. Mata dan wajahnya sama merahnya dipenuhi amarah.
Pak Toha terus berusaha menenangkan istrinya dengan perasaan yang campur aduk tidak menentu. Antara dendam, sakit dan kecewa. Ingin rasanya ia mencekik lelaki muda bernama Roy itu hingga ia lenyap dari muka bumi. Karena bukan hanya anaknya yang telah ia nodai dengan paksa. Kini akibat kejadian itu putri semata wayangnya pun mengalami trauma berat. Isrinya pun ikut-ikutan depresi tidak sanggup menanggung beban rasa malu. Beruntung masih ada iman yang mampu menguatkan dan membuatnya tetap waras hari ini.
Aku tidak boleh ikut hilang akal. Aku harus tetap sadar dan eling demi keluarga yang sudah lama kubangun ini. Bisi hati pak Toha di tengah tangisannya.
Melihat kedua orangtuanya ikut menderita karena kejadian yang menimpa dirinya, Rani gelap mata. Langkah kakinya bergegas meninggalkan rumah. Menelusuri jalan yang tak tentu arah. Kini ia sudah berjarak berkilo meter dari rumahnya. Sebuah tempat yang sebenarnya tidak dikenalinya.
Kakinya mulai lemah karena telah berjalan dan berlari terlalu jauh. Himpitan perasaan yang membuatnya sesak semakin menyakitkan. Bayangan Roy dan kedua kawannya memuakkan.
Rani telah bertekad untuk mengakhiri hidup. Tidak ada gunanya ia hidup. Kalaupun harus bertahan, ia tidak akan kuat menanggung malu.
Kakinya yang lemah menaiki pagar jembatan yang terbuat dari beton. Angin dingin berembus kencang. Daun bambu yang rindang berhasil menyembunyikan tubuh Rani yang sedang berdiri di tangga yang dipenuhi lumut.
Tampak sudah di bawah tempat Rani berdiri air mengalir dengan tenang. Menunjukkan betapa dalamnya sungai itu.
Rani melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada satupun orang yang melihat dan mungkin akan menggagalkan aksinya; sunyi. Hanya suara binatang-binatang khas sore hari seperti tenggerek dan desau angin yang terdengar memenuhi telinga.
Rani merenung sekali lagi. Memejamkan mata menguatkan azam. Tanganya meremas perut yang di sana telah tumbuh janin entah milik siapa di antara tiga pria bejad yang telah menggagahinya.
Seringai Rio terbayang lagi. Ketika Rani meringis kesakitan. Jangankan bertangung jawab, pria bangs*t itu malah memberikan tubuh Rani kepada dua hiding belang lainnya. Alih-alih meminta pertanggungjawaban, dirinya sendiri jijik jika harus bersuamikan pria berhati iblis itu.
“Nak, maafin Mama. Kita tak harus hidup. Kini temani Mama pergi ya. Kita mati sama-sama. Maafkan Mama,” ucap Rani.
Bahunya berguncang keras. Rambutnya yang terurai semakin berantakan tidak karuan. Tangannya yang sudah lemah meraih pagar sebagai pegangan agar ia bisa naik ke tempat yang lebih tinggi. Sekuat tenaga akhirnya ia berhasil berdiri di tepi jurang yang dalam. Berharap dengan melonpat nyawa akan segera melayang dari badan dan dirinya tidak lagi merasakan pilu yang teramat pilu.
Mata Rani memejam dan melompat tanpa beban, bersiap menembus udara sebelum tubuhya bedebam ke dasar sungai.
Namun tiba-tiba, tangannya merasakan sakit di pergelangan. Tubuhnya gagal terjun. Sesuatu menghambat di sana.
Rani membuka mata ketika tersadar jika tubuhya hanya bergantung di tepi jurang.
“Jangan nekat!”
Terdengar suara berat seseorang dengan penuh penegasan.
“Lepaskan!” teriak Rani dengan suara memekik.
“Jagan bodoh! Perbaiki dulu hidup kamu sebelum mati! Sini naik lagi. Pegang tangaku kuat-kuat!” ucap lelaki itu dengan suara yang tertekan karena mengeluarkan tenaga menarik tubuh Rani yang melawan diselamatkan .
Rani semakin berontak. Namun tenaga lelaki itu lebih kuat untuk menariknya kembali ke sisian jalan.
Rani meringis menahan sakit ketika tubuhnya menghantan trotoar akibat tarikan kuat.
“Sakit? Bagaimana jika kamu terjun ke sana dan Allah tidak menghendaki kamu mati? Mau cacat seumur hidup?” teriak lelaki itu.
Rani beringsut memperbaiki posisi duduknya.
“Siapa kamu? Apa hakmu mencampuri hidupku?” tanya Rani dengan suara yang bergetar.
“Aku tidak mencampuri. Aku hanya ingin menolongmu!”
“Kenapa? Kau bahkan tidak tahu seberapa sulit hidupku jika aku masih hidup!” teriak Rani.
“Terserah! Terserah kamu gadis bodoh! Tapi apa di akhirat sana kehidupanmu akan jauh lebih baik dengan cara mati sebodoh ini?”
“Aku mau mati saja! teriak Rani dengan ganas. Lalu berdiri dan berlari mendekat kembali ke sisi jembatan.
“Lakukan! Lakukan saja jika itu memang maumu. Maaf, jika aku telah berniat menyelamatkanmu dari siksa akhirat nanti. Asal kau tahu, andai kau masih mau hidup, maka kesempatan untuk memperbaiki hidupmu di akhirat nanti jauh lebih banyak.”
“Berisik! Biarkan aku sendiri!” marah Rani sudah tidak bisa terbendung lagi.
“Silakan! Silakan melompat sekarang juga, gadis bodoh! Atau perlu aku bantu mendorong tubuhmu dan membiarkanmu dimakan buaya di dasar sungai sana hah?” ujar lelaki itu dengan nada yang datar dan dingin.
“Aku menyesal telah mencoba menyelamatkan perempuan bodoh seperti kamu. Pergilah! Nanti jangan salahkan siapapun jika kau gagal mati dan tubuhmu koyak, cacat dan hidupmu lebih kacau! Selamat tinggal!” ucapnya lagi. Lalu berlalu meninggalkan Rani sendirian.
Pikiran Rani semakin kalut. Napasnya yang penuh amarah tidak lagi bisa dikontrol. Tangan semakin lemah untuk menjangkau pegangan besi. Kakinya tidak lagi mami berpijak. Seketika tubuh Rani ambruk bedebam di aspal jalan.
Lelaki itu berbalik arah. Memungut tubuh gadis bodoh itu dan membawanya pulang ke sebuah gubuk kecil di tengah hutan.
***
“Siapa ini Guntur?” tanya perempuan setengah baya yang masih menggunakan mukena sehabis solat.
“Maafkan saya, Umi. Saya menemukannya di tepi jurang jembatan sana. Ia adalah gadis bodoh yang hendak melakukan hal yang sama dengan Ningrum dulu,” jawab Guntur dengan nada tercekat.
Tenggorokannya terasa sakit mengenang kejadian yang menima adik kandungan beberapa tahun lalu.
Umi Fillah menghela napas panjang. Memandangi wajah Rani dengan penuh iba. Lantas kembali memandangi Guntur anak lelakinya.
Hari ini sungguh kamu telah kembali menjadi lelaki penyelamat. Batin Umi Fillah.
“Ambilkan kain dan pakaian Ningrum di lemar. Umi akan menggantikan baju gadis ini,” perintah perempuan itu disusul dengan langkah Guntur penuh kepatuhan.
“Baik, Umi.”
***
Bersambung….
Pastikan Anda melanjutkan ke part selanjutnya di website ini.
[…] Cerbung ini sudah pernah diterbitkan secara berseri di blog RUANG PENA milik Diantika IE dengan judul yang sama dan atas seizin penulisnya ditayangkan kembali di media online BERITA JABAR NEWS (BJN). Link asli cerbung berjudul “Lelaki Penyelamat – Part 1” ini bisa Anda kunjungi di sini: Link Ruangpena.id. […]