Dalam “sengketa pilpres” diduga banyak kecurangan yang terjadi. Kalau memang benar itu terjadi, sebenarnya seberapa lama sih seseorang bisa bertahan untuk merasa tenang setelah ia melakukan kecurangan dan kebohongan?
Kini marak kembali isu tentang kecurangan pilpres, setelah sejenak perhatian kita teralihkan dengan berita seputar arus balik dan mudik lebaran 1445 H baru-baru ini.
Putusan MK tentang gugatan pasangan capres yang merasa keberatan dengan hasil pemungutan suara dengan segala prosesnya yang dianggap melanggar dan cacat hukum telah dibacakan. Fiks, semua permohonan gugatan tertolak langsung dengan sekali tebas. Alasan yang paling tegas dari putusan tersebut adalah, karena tidak berdasar hukum dan bukti yang kuat.
Sementara itu, sebelumnya digadang-gadang bahwa betapa banyak bukti kejanggalan tentang seluruh proses “pesta demokrasi” di negara ini yang ditemukan oleh beberapa ahli. Sebagian besar masyarakat Indonesia pun sepakat, bahwa “ya, proses pemilihan presiden ini memang terasa janggal dan kurang sehat.”
Namun sebagian lagi, ngotot bahkan nyinyir kepada orang-orang yang menganggap ada kecurangan. Katanya, “tidak siap kalah ya?”
Padahal, jika ditelaah lebih jauh, masyarakat (yang berilmu dan masih waras) tentu akan menerima dengan lapang dada siapapun yang akan menjadi pemimpin mereka asalkan melalui jalan yang benar, transparan, dan dengan proses yang memang sesuai dengan hukum dan tata aturan yang berlaku.
Jika ada kejanggalan, bongkar dan selesaikan secara terbuka. Jika memang ada kekeliruan, yuk, selidiki dan ajak masyarakat untuk melihat proses perbaikannya secara terbuka. Biar seluruh rakyat tahu dan merasakan benar, bahwa proses ini berjalan secara jujur dan adil.
Orang-orang yang kemarin (bahkan sampai kini) menyuarakan kecurangan dan menyepakati adanya gugatan ke MK bukanlah orang-orang yang tidak menerima kekalahan. Mereka justru merupakan barisan orang-orang yang peduli pada negaranya. Tidak ingin negara yang dicintainya ini ternodai dengan tindakan-tindakan yang tidak terpuji yang bisa dipastikan akan ditiru oleh generasi selanjutnya bahkan mungkin bisa jadi malah menjadi budaya yang lebih mendarah daging.
Orang-orang yang berada di barisan “sepakat gugat MK” adalah mereka yang tidak ingin negaranya hancur. Demokrasi lenyap, kebebasan berpendapat hilang, dan rakyat Indonesia akhirnya tidak memiliki peran sama sekali untuk menjaga bangsanya. Semua telah diseting oleh orang-orang yang memang memiliki kuasa.
Putusan MK sudah dibacakan. Semuanya tentu mau tidak mau harus menerima. Meskipun dengan berat hati dan sesak di dada, semuanya bakalan bilang, “ya sudah lah… Mau diapain lagi?”
Sekarang tinggal nonton saja. Kalaupun memang benar kecurangan itu terjadi dan tetap ditutup-tutupi, kita lihat, akan bertahan seberapa lama “pembohong-pembohong” itu menutupi rasa bersalahnya?
Akan mampu bertahan berapa lama mereka tidur nyenyak untuk kemudian gelisah dihantui rasa bersalah?
Karena sejatinya, orang-orang yang berilmu tentu berpikir. Seburuk-buruknya tabiat, akan selalu ada hati nurani yang tidak akan pernah bisa dibohongi. Yang berbohong akan merasa bersalah atas kebohongannya. Yang curang akan merasa menyesal telah ambil bagian dan ikut andil dalam kecurangannya.
Yang masih memiliki iman, akan terus ketakutan atas siksa dan balasan yang akan didapatkan dari tuhannya. Seberapa kuat mereka ingkar pada pernyataan bahwa pemimpin yang zolim maka balasannya adalah neraka?
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Pemimpin mana saja yang dipercaya memimpin rakyat, lalu ia menipu mereka (rakyat), maka ia akan masuk neraka” (HR Imam Ahmad).
Kita lihat saja. Akan bertahan seberapa lama mereka (yang memang telah melakukan kecurangan) dapat hidup dalam (pura-pura merasakan) ketenangannya.
Adapun untuk mereka (para pemimpin dan pejabat) yang memang masih berpegang teguh pada sumpah jabatan dan amanah negara dengan baik, kita doakan semoga Allah senantiasa melindungi beliau semua dan memberikan kekuatan untuk tetap berada di jalan yang benar. Diimpahkan keberkahan rejeki dan kesehatan serta keluarga yang bahagia.
Sambil sama-sama berdoa, semoga Indonesia akan selalu mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Cukup pemilu ini yang teramat gaduh. Pemilu berikutnya harusnya lebih baik lagi dan lebih terjaga dengan semestinya.
Semoga Allah menghadirkan manusia-manisia yang lebih jujur dan pandai menjaga amanah. Manusia-manisia yang takut berbuat salah. Manusia-manisia yang memang benar-benar mencintai Indonesia. Bukan hanya mencintai jabatan, kekayaan, anak, keluarga dan sanak saudara.
Wallahu ‘alam bishowwab.
+ There are no comments
Add yours