
“Ambilkan kain dan pakaian Ningrum di lemar. Umi akan menggantikan baju gadis ini,” perintah perempuan itu disusul dengan langkah Guntur penuh kepatuhan.
“Baik, Umi.”
Guntur bergegas pergi kamar Ningrum. Kamar yang tidak pernah berubah tata letaknya sejak lima tahun terakhir.
Semenjak kepergian Ningrum kamar itu dibiarkan tetap seperti ketika penguninya ada. Kamar itu tetap disapu dan dibersihkan oleh Umi.
Lemari kayu berwarna coklat berdampingan dengan meja rias dengan ukiran khas Jepara pemberian abah untuk umi saat menikah dulu, yang diwariskan umi untuk anak gadisnya. Di atas meja itu foto Ningrum dengan senyum yang manis menggunakan jilbab panjang. Sederet alat rias, bedak, pelembab bibir dan sisir dan lainnya tetap tertata rapi di sana.
Ningrum memang tidak suka bersolek, tetapi ia sangat suka kerapihan.
“Muslimah itu walaupun gak boleh dandan berlebihan, harus tetap rapi dan tampil menarik. Biar orang tidak beranggapan buruk pada muslimah,” katanya.
Di sisian tempat tidur, ada rak buku kecil yang dipenuhi dengan buku dan kitab. Jika suntuk, Ningrum akan asik di kamar menghabiskan waktu dengan buku-bukunya. Walaupun berulang kali dibaca, kata Ningrum buku tidak pernah membuatnya bosan. Ia selalu berhasil mengajaknya berdialog.
Dengan perlahan Guntur membuka pintu lemari kayu itu dengan kunci yang dibiarkannya tetap menggantung. Sebuah tasbih kecil menenpel di sana.
“Ini akan Ningrum simpan baik-baik sebagai kenangan dari abang tersayang,” celotehnya di pagi buta. Hari itu Guntur dan Ningrum baru saja selesai menunaikan subuh berjamaah.
“Kenangan, kayak yang mau pergi jauh saja,” jawab Guntur sambil mencubit hidung adiknya itu.
“Emang mau pergi jauh. Hari ini Ningrum kan mau ke kota sama teman-teman ikut lomba,” jawab gadis itu sambil menjulurkan lidah, meledek kakaknya.
“Lho, kenapa Abang gak dikasih tahu? Hari ini Abang ada acara juga di padepokan. Coba bilang dari awal, pasti Abang kawal,” ucap Guntur kesal.
“Sudah dapat izin dari umi kok. Ning perginya banyakan. Gak apa-apa kan, Mi?” teriak Ningrum kepada umi yang kali itu sudah lebih dulu pergi ke dapur.
“Ya udah, tapi ingat, hati-hati ya! Kalau sampai ada yang macam-macam, bilang Abang. Biar Abang hajar sampai dia lenyap!” ucap Guntur sungguh-sungguh.
“Kok Abang main hajar-hajar aja? Mentang-mentang jago silat!” gerutu Ningrum sambil melipat mukena.
Pagi itu ternyarta menjadi perbincangan menyenangkan terakhir kali bersama Ningrum. Sebelum semua keadaan berubah menjadi sangat memilukan.
Ning… Abang rindu… Yang tenang ya di sana…
Tidak terasa air mata Guntur mengalir. Menahan rindu yang teramat sangat.
“Jada adikmu baik, Guntur. Abah sudah tidak kuat lagi,” pesan terakhir abah sebelum meninggal selalu berhasil membuat Guntur mengutuk dirinya bertubi-tubi.
Aku bukan kakak yang baik!
“Guntur! Cepat mana bajunya?” teriakan umi mengejutkan lamunan Guntur.
“Iya, Mi. Lagi dicari,” jawab Guntur sekenanya.
Aroma wangi bunga tercium dari balik tumpukan baju Ningrum. Memang hanya tersisa beberapa potong. Karena umi telah mensedekahkan baju-baju Ning kepada yang membutuhkan. Hanya beberapa gamis yang masih menggantung lengkap dengan set kerudungnya. Baju-baju kesayangan Ning tidak dibuang semua oleh umi.
“Sebagai pengobat rindu,” katanya.
Umi memang sering membuka lemari itu. Berdiam diri di kamar anak gadisnya dan memeluk gamis kesukaan Ningrum adalah cara Umi melepaskan dahaga atas kehadiran anak perempuannya.
Sedangkan Guntur, jika tidak ada titah dari umi, mana mau datang ke sana? Bukan, bukan karena tidak rindu. Guntur hanya tidak mau menangis lagi.
Mengenang semua tentang Ningrum, selalu berhasil membuatnya membenci diri sendiri habis-habisan; seperti hari ini.
Guntur menganbil baju dengan sembarang lalu mengunci kembali lemari itu dengan rapat.
“Ning, abang tidak akan bisa membiarkan siapapun pergi dengan caramu!” bisiknya.
***
Gadis itu masih belum sadarkan diri. Umi memberikan kode agar Guntur meninggalkan mereka berdua.
“Mi, umi kuat?” tanya Guntur kepada uminya.
Dengan suara bergetar, umi Fillah menjawab bahwa dirinya sudah bisa lebih kuat.
“Bisa, Nak. Bismillah,” ucapnya.
Satu tahun lalu, Guntur dan umi pun menolong seorang perempuan yang hendak melompat di jembatan itu. Setahun yang lalu pula umi menangis dalam waktu yang lama. Kisah perempuan itu telah menggali kembali luka umi. Mengingatkan semuanya kepada Ningrum. Karena gadis itu kemudian meninggal dalam pangkuan umi sesaat setelah umi bersihkan tubuhnya.
***
“Namamu siapa…?” tanya umi lebut.
Gadis itu bergeming tidak mau menjawab. Ia masih berusaha mengumpulkan potongan puzzle cuplikan kejadian yang dialaminya.
“Bisa bicara kan? Jawab dong, umi kan nanya!” ucap Guntur dengan marah. Sedari tadi gadis itu hanya berdiam diri tanpa mengucapkan sepatah katapun dari mulutnya. Hanya air matanya yang berbicara. Mengalir deras menelusuri pipinya yang tirus berwarna pucat.
Umi memberikan kode agar Guntur menahan sikapnya. Tangan umi mengelus bahu gadis itu dengan lembut mencoba memberikan rasa tenang dan kekuatan.
Tangis gadis itu perlahan mereda. Kemudian, “Rani, iya, aku Rani,” jawabnya dengan suara yang tercekat.
Gadis itu memilih menenggelamkan wajahnya, memandangi ubin dan kaki pucatnya tanpa berani memandang wajah lelaki penyelamat yang telah menggagalkan usahanya untuk bertemu kematian lebih cepat.
***
Bersambung…