Sebuah Pelarian (III)

Estimated read time 15 min read
Share This:
See also  Bukan Kisah Rama dan Sinta

Sebuah Pelarian

Malam semakin meninggi, sebentar lagi ia kembali jatuh bertemu pagi. Mobil Hans baru saja memasuki pekarangan rumah. Sebuah rumah bercat putih dengan pelataran yang penuh dengan bunga dan pepohonan. Cukup nyaman ditinggali oleh sepasang suami istri. Apalagi jika dilengkapi oleh anak-anak. Taman yang cukup luas dan hijau itu mungkin akan semakin indah karena menjadi tempat kesukaan anak kecil yang berlarian kesana-kemari di siang hari. Bermain air atau belajar menendang dan melempar bola mainannya.

Hans menutup pintu mobilnya pelan-pelan, khawatir menimbulkan suara yang akan membangunkan Yoan. Langkah kakinya dibuat perlahan agar tidak menimbulkan decit sepatu di lantai. Rumah sudah gelap. Hans menghela napas lega ketika ia mendapati ruhamnya sepi. Mungkin Yoan memang sudah terlelap seperti biasanya, karena ia lelah pulang bekerja. ART pun tentu sudah sejak tadi mengambil jam istirahat lebih awal karena harus bangun paling pagi esok hari.

Hans melangkahkan kakinya menuju kamar pribadinya hendak membersihkan diri. Empuknya kasur menggodanya untuk segera berbaring meredakan lelah; ini hampir dini hari.

Baru saja ia melepaskan dasi dan kemejanya, tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara pintu rumah yang ditutup seseorang dengan cukup keras. Hans bergegas keluar kamar memastikan apa yang terjadi.

Yoan melenggang di hadapannya dengan santai. Tubuhnya beraroma antara wangi farfum dan bau keringat sisa bergumul dengan pekerjaan sepanjang hari.

Mana ada guru Taman Kakak-kakak pulang selarut ini? 

“Dari mana saja jam segini baru pulang?” tanya Hans dengan nada dingin.

Yoan menyeringai sinis. Ekspresi wajahnya begitu angkuh di bawah sorot lampu yang sudah diatur menjadi lampu malam remang-remang.

“Jangan belagak nanya! Kamu sendiri, apakah malammu menyenangkan?” tanyanya dengan penuh penekanan.

Hans tidak pernah mendengar suara Yoan sedemikian dinginnya. Biasanya walapun ia tidak pernah berminat menghabiskan malam di tempat tidur yang sama, Yoan selalu memiliki nada bicara yang santun kepada suaminya.

“Apa maksudmu?” tanya Hans berusaha tetap tenang.

“Jangan berlagak bodoh, Hans! Aku melihat kalian makan berdua dengan intimnya. Aku baru tahu, ternyata  seorang Yohansyah Jomantara bisa berselingkuh di hadapan istrinya sendiri,” ucap Yoan ketus.

Hans mengernyitkan dahi, tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Seingatnya, ketika makan malam bersama Manda tadi tidak seorang pun di sana yang mereka kenal. Lagi pula, mana ada adengan intim di sana.

Apakah ketika memakaikan jas di bahu Manda? 

“Yoan. Aku tidak tahu ternyata kamu pun datang ke sana. Kenapa tidak gabung dengan kami? Apa susahnya datang dan menemuiku, Sayang? Sungguh aku minta maaf, aku sama sekali tidak menyadari bahwa kamu ada di sana,” ucap Hans dengan nada biacara yang lembut. Ia benar-benar tidak ingin kecurigaan Yoan semakin berkembang ke arah yang negatif. Sejujurnya, ia tidak bermaksud melakukan apapun di luar batas. Ia dengan Manda hanya berhubngan sebatas urusan pekerjaan. Walapun ia sendiri tidak bisa menepis perasaan bahwa di dekat Manda ia merasa benar-benar nyaman dan berarti. Karena itu pula ia merasa harus bicara dengan Manda untuk sekadar membagi cerita yang membebani pikirannya belakangan ini; soal rumah tangganya dengan Yoan.

“Sayang, aku tidak ada hubungan spesial dengan Manda. Ia hanya rekan kerjaku saja,” cemas Hans.

“Oh jadi perempuan itu namanya Manda? Lihat saja, hidupnya tidak akan pernah tenang,” ancam Yoan sambil berlalu meninggalkan Hans begitu saja.

Hans mengejar Yoan yang sebentar lagi sampai di pintu kamar pribadinya.

“Apa yang akan kamu lakukan kepada Manda? Ia tidak salah apa-apa,” pekik Hans.

“Kau benar-benar sudah bisa meninggikan suaramu, Hans? Karena perempuan itu, kau jadi bisa meninggikan suara di hadapanku?” tanya Yoan dengan suara yang jauh lebih tinggi.

Hans bergeming. Seolah mematung di hadapan istrinya itu. Ia tidak habis pikir, belakangan malah Yoan yang beberapa kali meninggikan suara di hadapannya.

“Aku tidak akan seperti ini jika kau tidak melakukan hal-hal aneh, Yoan!” jawab Hans kesal.

“Hal aneh apa yang kau temukan, hah? Apakah aku pergi dengan pria lain?” tanya Yoan.

“Aku tidak punya bukti. Namun bagaimana aku tidak curiga jika setiap hari kau pulang malam, kelelahan, membawa barang-barang mahal. Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu? Aku sendiri tidak merasa memberikanmu sebanyak itu, Yoan. Apakah kamu mencari pria hidung belang di luar sana yang bisa membelanjaimu apapun?” Hans akhirnya berani mengungakapkan rasa penasarannya. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah berani diungkapkannya kepada sang isrti.

“Hans? Kamu merendahkanku?” ucap Yoan dengan nada sedih. Raut mukanya seketika berubah. Sebuah bulir air siap meluncur dari sudut matanya. “Dalam hidupku hanya ada satu pria. Hanya kamu, Hans,” suaranya tercekat. Sesaat kemudian bahunya berguncang, Yoan menangis sesenggukan membuat hati Hans menjadi lebih pilu.

See also  Sebuah Pelarian (IV)

Hans meminta maaf penuh sesal malam itu. Sejak pertama kali menyatakan cinta pada Yoan, ia bahkan sudah berjanji tidak akan menyakiti perempuan yang dicintainya itu apapun yang terjadi. Di malam itu pula ia bersumpah bahwa ia tidak akan lagi berinteraksi dengan Manda, sebagai pembuktian bahwa tidak ada perempuan lain dalam hidupnya seperti Yoan yang tidak pernah jalan dengan pria manapun.

“Maafkan aku,” pinta Hans sungguh-sungguh. Ia meraih tubuh istrnya dan membenamkannya dalam pelukan. Tangannya mengelus rambut Yoan perlahan. “Sungguh, aku minta maaf, Sayang,” pintanya lagi.

Yoan mengangguk. Perlahan ia melepaskan tubuhnya dari pelukan erat Hans. Di bibirnya tergambar seutas senyuman meski tidak semanis biasanya. Hans merasa lega akhirnya Yoan mau menerima permintaan maafnya.

“Sayang, kamu terlihat begitu lelah, apakah tidak sebaiknya kita tidur bersama? Mungkin aku bisa mencoba meredakan lelahmu? Ikutlah ke kamarku, atau … aku yang ikut tidur di kamar kita?” ucap Hans dengan sangat hati-hati.

Sudah lama sekali Hans tidak merasakan tidur bersebelahan dengan Yoan di kamar yang diperuntukkan untuk kamar pengantin mereka. Entah sejak kapan tiba-tiba Hans sudah sangat terbiasa tidur sendirian di kamar kerjanya.

Dengan malas Yoan menggeleng, “malam ini aku terlalu lelah. Kamu juga. Tidur bersama hanya akan membuat dengkuran kita saling bersahutan, Hans. Pergilah ke kamarmu! Aku ingin sendirian dulu malam ini,” usir Yoan dengan halus.

Hans tidak bisa berkata apapun selain menurut. Kakinya melangkah dengan gontai menuju kamar depan. Sebuah kamar yang selalu rapi karena dirapikan ART. Kamar yang selalu wangi, dengan baju-baju kerja yang tersusun rapi di lemari atas kerja yang baik seorang ART.

“Yoan, mau sampai kapan kita akan seperti ini?” bisik Hans dengan rasa sakit yang perih dalam hatinya.

**

Pukul 07 pagi

Manda terbangun dengan alarm pengingat. Kepalanya masih terasa sakit sejak semalaman tidak bisa tidur nyenyak memikirkan aroma parfum yang melekat di tubuhnya bercampur dengan segala angan tentang Hans yang selalu membayangi. Tubuhnya terasa sedikit remuk. Hujan yang membasahi pakaiannya semlam rupanya membuatnya masuk angin juga.

Sepertinya ia akan cukup kesulitan untuk bersiap ke tempat kerja dengan cepat. Ia perlu meredakan sakit kepalanya sejenak sebelum kembali bekerja. Ide untuk kembali tidur selepas solat subuh untuk meredakan sakit kepala yang dideritanya diambil ketika ia terjaga saat azan subuh berkumandang tadi.

Dengan malas Manda meraih ponsel yang disimpannya di meja sebelah tempat tidur. Mengabari teman kantor bahwa ia akan datang siang dan meminta izin kepada Hans sebagai atasannya mungkin tidak akan menjadi persoalan. Sebab kemarin pekerjaannya sudah mencapai target.

Baru saja ia akan mengetik pesan kepada atasannya itu, sebuah pesan dari Hans yang dikirim pukul 04 pagi muncul di layar ponselnya.

Hans: Manda, aku mohon maaf yang sebesar-besarmya, malam tadi adalah malam terakhir kita untuk bisa berinteraksi. Aku menghadapi sedikit masalah dengan Yoan. Ia cemburu berat terhadapmu. Tadi malam kami bertengkar karena ternyata Yoan menyaksikan kebersamaan kita di cafe. Aku harap kamu mengerti.

Hans: Untuk sementara jika ada yang perlu disampaikan urusan pekerjaan, maka sampaikan via email atau boleh titipkan pada yang lain.

Pesan panjang itu dibacanya berulang-ulang. Manda tidak habis pikir bagaimana bisa mereka tidak saling berinteraksi sedangkan tempat bekerja pun masih ada dalam satu ruangan.

Kepala Manda bertambah pusing memikirkan itu semua. Ada perasaan bersalah kepada Yoan. Rasanya ia ingin menyampaikan permintaan maaf secara langsung. Menjelaskan semuanya mungkin akan jauh lebih baik dan membuat kesalahpahaman di antara mereka terselesaikan.

Namun kepala Manda semakin berat, ia hanya sempat memberikan kabar kepada rekan kerjanya bahwa ia sedang tidak sehat. Lantas ia tertidur kembali di kamarnya hingga tengah hari.

**

Manda sangat terjejut ketika ia terbangun dari tidurnya dan mendapati kenyataan bahwa hari sudah begitu terik. Bersyukur obat pereda nyeri yang dikonsumsinya tadi pagi bekerja dengan efektif. Sakit kepalanya mereda. Persendian pun sudah lebih baik.

Manda beranjak dari tempat tidurnya. Mencari informasi di ponselnya adalah prioritas utama. Bagaimanapun ia telah bolos kerja hari ini tanpa sempat mengabari atasannya, Hans.

Mengingat sosok Hans, pikiran Manda kembali melayang. Memikirkan bahwa semakin memburuknya hubungan Hans dengan sang istri. Ia tidak mau sesuatu terjadi dengan rumah tangga Hans. Cukup dirinya saja yang merasa sakit karena tidak mendapatkan cinta Hans. Sementara Hans, harus tetap bahagia dengan perempuan pipihannya. Manda tidak bisa membiarkan Hans semakin menderita. Ia merasa harus ikut andil dalam memperjuangkan kehidupan orang yang sangat dicintainya itu.

See also  Lelaki Penyelamat (Selesai)

Akan tetapi, apa kabar dengan Yoan yang menurut cerita Hans juga melakukan perselingkuhan? Kalau memang Yoan selingkuh, kenapa pula Hans harus memperjuangkan kehidupan rumah tangganya? Bukankah itu berarti Yoan bukan istri yang baik?

Manda menepuk jidatnya berjaki-kali ketika pikiran aneh muncul di kepanya. Diam-diam ada sebuah keinginan dan harapan bahwa Yoan dan Hans hubungannya tidak bertahan lama. Jika saja Yoan memang benar selingkuh, maka Hans seharusnya sangat kecewa. Lalu ia akan meninggalkan Yoan dan akhirnya dirinya tidak perlu lagi merahasiakan perasaan yang selama ini dipendamnya untuk Hans.

Mungkin aku akan memiliki peluang untuk mendapatkan perhatian Hans. Mungkin aku akan bisa lebih leluasa menunjukkan kasih sayang dan cinta yang selama ini aku pendam, Hans. Aku tidak peduli apakah kamu akan bisa melupakan Yoan, tetapi andai kamu memang sudah lepas dari Yoan, aku akan terus bersemangat untuk memiliki segenggam hatimu, Hans.

“Ah, apa-apaan aku ini?” pekik Manda pada dirinya sendiri. Lagi-lagi sekeras tenaga ia berusaha menepis bayangan-bayangan tentang Hans beserta sederet harapan dan keinginannya untuk dapat menjalin hubungan yang lebih dari sekadar rekan kerja bersama Hans.

“Aku tidak boleh menjadi perusak pernikahan Hans dengan Yoan!” ucapnya lagi pada diri sendiri.

Manda kemudian mengetik sebuah pesan yang ditujukan kepada Yoan di media sosialnya yang dengan susah payang didapatkan dari hasil penelusuran. Sebelumnya memang Manda dan Yoan tidak saling kenal, apalagi saling menyimpan nomor kontak.

**

Cafe Jalan Melati Nomor 72

Manda sampai di parkiran cafe yang dipilih Yoan sebagai tempat pertemuan tepat pada pukul 19. Dirinya tidak habis pikir, kenapa Yoan memilih tempat tersebut untuk makan malam.

Apakah ini alasan kenapa Yoan selalu pulang malam, karena memang nongkrong di tempat yang begitu jauh dari rumah? Tiba-tiba saja pikiran itu muncul di kepala Manda.

Sebuah cafe yang tergolong cukup sulit ditemukan, berada di Bandung bagian atas, tetapi bukan di tempat umum yang biasa digunakan orang-orang untuk melepas penat. Tempatnya tersembunyi di antara pemukiman. Luasnya pun tidak seberapa, tetapi dekorasinya cukup unik. Nuansa kayu dengan perpaduan cat warna cokelat dan kehitaman membuat tempat itu terkesan gelap. Mungkin pemiliknya sengaja membuat suasana remang-remang untuk pengunjung yang memang memiliki selera demikian.

Manda berpikir cukup keras, untuk menghubungkan selera seorang cewek kue seperti Yoan, dengan pilihan tempat pertemuannya hari ini. Bukankah perempuan cantik dan feminim penyuka pakaian warna-warna terang seperti Yoan seharusnya memilih tempat yang instagramabel dan romantis untuk dikunjungi? Walaupun pertemuan kali ini bukan untuk sebuah pertemuan romantis sekalipun, setidaknya ia dapat memilih tempat yang nyaman dengan pencahayaan cukup dan pilihan menu yang menarik. Lagi pula mengapa harus menjauh dari pusat kota?

“Oh Tuhan, kenapa pula harus ke sini sih, Yoan?” bisiknya pada diri sendiri.

Manda melangkahkan kakinya menuju pintu masuk cafe. Aroma kopi yang kental menelusup hidung. Akhirnya ia mencoba paham, bahwa Yoan mungkin merupakan penyuka kopi asli dengan rasa yang otentik di sini. Ia berusaha menepis segala anggapan buruk kepada istri dari pria yang sangat dikaguminya.

Dengan sedikit risih, karena banyak muda-mudi yang bergelendotan mesra tanpa rasa malu di tenpat itu, Manda mendekati meja kasir, untuk bertanya sesuatu. Pria berbaju hitam yang berdiri di belakang mesin kasir itu menunjuk ke sebuah meja yang ada di sudut ruangan. Pojok itu semakin terkesan seram karena pencahayaan di sana lebih redup daripada tempat yang dilewatinya.

“Apa enaknya diam di tempat semperti ini, Yoan? Apakah kamu menjebakku?” gumam Manda sedikit resah.

Namun akhirnya Manda merasa lega ketika ia akhirnya menemukan Yoan sedang duduk di meja itu dengan teman perempaunnya yang berpenampilan tak kalah uniknya dengan cafe ini. Seorang perempuan jangkung dengan rambut pendek sebahu tetapi masih diikat sembarangan, membuat sebagian rambutnya terurai jatuh ke bahunya. Mengenakan kaos oblong pendek berwarna hitam dengan lengan baju terlipat di bagian lengan atas. Gayanya semakin terlihat tomboy dengan celana jeans yang bolong di bagian lutut sangat kontras dengan Yoan yang anggun dengan baju terusan berwarna pastel. Bau asap rokok menyeruak di hidung Manda saat ia tiba di meja tersebut.

Akhirnya Manda mengambil kesimpulan tentang siapa yang memilih lokasi ini sebagai pertemuan malam ini. Temannya Yoan terlalu “laki” jika dibawa naongkrong di cafe romantis warna-warni.

Yoan menyambut kedatangan Manda dengan menyodorkan tangannya mengajak bersalaman. Sementara perempuan di sebelahnya menunjukkan ekspresi yang janggal. Tatapan matanya cukup membuat Manda merasa risih.

“Kenalin, ini temanku,” ucap Yoan mengenalakan perempuan di sebelahnya.

Perempuan itu mengoper sebuah rokok yang terselip di jari ke tangan kirinya sebelum bersalaman. Ia menyambut tangan Manda dengan malas, “Bertha,” ucapnya menyebutkan nama.

See also  Hujan di Penghujung November

“Manda,” balas Manda dengan senyuman berusaha ramah.

Sesaat kemudian Bertha sibuk dengan ponsel dan rokoknya Duduknya santai dengan punggung bersandar ke sandaran kursi. Kakinya yang jenjang menjulur begitu saja. Seolah tidak memedulikan keberadaan Manda.

“Mau makan apa, Manda?” tanya Yoan.

Manda menggeleng, “tidak perlu, Yoan. Terima kasih. Aku ke sini hanya memenuhi undanganmu, untuk melanjutkan pembicaraan kita tadi pagi,” jawab Manda jujur.

Meskipun rasa bersalahnya begitu berjubel, setidaknya ia merasa jauh lebih tenang karena Yoan terlihat begitu tenang dan ramah menyambut kedatangannya.

“Aku ingin memina maaf secara langsung kepadamu, atas apa yang mungkin sudah menjadikanmu salah pahan dengan Hans. Aku tidak ingin sesuatu yang tidak diharapkan terjadi pada kehidupan kalian. Aku tadak ada hubungan apapun selain hubungan pekerjaan, Yoan. Percayalah!” pinta Manda.

“Mana bisa, tidak ada hubungan apa-apa tapi makan malam berdua saja, sengaja ya?” timpal Bertha. Tanpa diduga perempuan itu menimpali percakapan penting mereka.

Sebenarnya Manda merasa jengah. Kenapa orbrolan sepenting itu harus dedengar dan ddisaksikan oleh orang lain. Namun melihat kedekatan Yoan dengan Bertha, Manda berusaha berpikir positif. Perempuan kadang memiliki sahabat terdekat untuk membagi apapapun. Biasanya orang tersebut adalah orang yang paling bisa dipercaya dan dikatakan seorang “bestie”, yang bisa dijadikan tempat berbagi cerita. Mungkin Yoan dan Bertha adalah sahabat yang tidak bisa dipisahkan. Manda sendiri merasa malu, ketika ia ingat bahwa satu-satunya orang yang biasa dijadikannya tempat berbagi cerita adalah Hans, suami dari perempuan yang kini ditemuinya.

Dulu, ketika ayah ibunya masih ada, Manda akan dengan senang hati membagi semuanya dengan ibu atau ayahnya. Namun ketika semuanya sudah pergi karena peristiwa kecelakaan kereta, kini ia tidak memiliki siapapun untuk membagi cerita.

Pernah ia memcoba membagi cerita dengan teman perempuan. Namun, alih-alih merasa lega, ia malah mendapatkan masalah baru karena sebagian rahasianya terendus orang lain karena tempat curhatnya bocor.

Ia menemukan Hans sebagai atasan yang bijaksana. Kepada Hans, Manda bisa meminta saran dan nasihat serta sesekali membagi keluhan. Itu pun terbatas hanya soal pekerjaan. Soal rekan kerja yang kurang kooperatif, atau berbagai masalah yang berhubungan dengan kien. Untuk urusan percintaan, ia tidak mungkin membaginya dengan Hans. Iya, itu benar-benar tidak mungkin.

“Apa omongan kamu bisa aku pegang, Manda?” tanya Yoan dengan suara yang lebih lembut. Tangannya memegangi tangan Bertha seolah memberikan sinyal bahwa temannya itu harus bersikap lebih tenang pada lawan bicaranya.

“Iya, Yoan. Aku pastikan tidak akan ada hubungan apapun selain hubunan seorang manajer dan bawahannya,” ucap Manda. Sementara dalam hatinya ada harap yang dikuburnya dalam-dalam. Ada cinta yang harus dibunuh dan tidak boleh dibiarkannya tumbuh.

“Baik. Aku berusaha untuk memercayaimu, Manda,” ucap Yoan lagi. Kalimat itu cukup membuat Manda lega. Urusan memendam rasa, biarlah nanti Manda berusaha sekuat tenaga. Dirinya pun tidak akan pernah tega melihat rumah tangga Hans dan Yoan berantakan. Karena itu, Manda akan melakukan apa saja asalkan kehidupan Hans tenang.

“Jangan mudah percaya! Orang seperti dia mungkin saja mengkhianatimu dari belakang!” suara Bertha begitu dingin membuat Manda merasa jengah.

Kenapa juga orang ini harus ikut campur?

Manda terdiam. Tidak sengaja matanya bertemu pandang dengan Brtha. Di luar dugaan tatapan Bertha terasa sangat mengerikan, seolah penuh dengan kebencian. Orang yang tidak pernah memiliki sahabat perempuan yang begitu dekat seperti Manda tentu tidak akan pernah mengerti mengapa seorang sahabat bisa sekeras itu perlindungannya kepada sahabat perempuannya saat rumah tangganya dirundung masalah.

Lagi-lagi Yoan menenangkan Bertha, “Sudahlah, aku sudah memaafkannya,” ucapnya sambil tersenyum manis kepada perempuan itu. Tangannya yang putih kembali mengelus tangan Bertha yang berwarna lebih kecoklatan.

“Aku mengizinkanmu pulang, Manda. Namun ada hal yang aku minta,” ucap Yoan.

“Apa itu?” tanya Manda dengan tidak sabar; ingin segera keluar dari tempat itu.

“Pertama, jangan biarkan Hans tahu pertemuan kita malam ini! Kedua, aku minta kamu kabari aku jika Hans berbuat macam-macam kepada perempuan lain, termasuk kepadamu sendiri!” ucap Yoan serius.

Batin Manda bergejolak. Pikirannya ramai dengan berbagai prasangka.

Permintaan yang aneh!

“Baik, Yoan. Permintaanmu akan aku ingat baik-baik. Kalau begitu aku permisi dulu. Terima kasih atas semuanya,” ucap Manda sebelum undur diri.

Langkah Manda semakin dipercepat, ia tidak mau berlama-lama di sana. Cafe itu semakin ramai oleh pengunjung dengan gaya yang urakan. Membuat Manda bergidik. Sejenak Manda sempat berpikir, kenapa tidak menyarankan Yoan untuk pulang secepatnya atau mengajaknya pulang sekalian?

**

Bersambung ke bagian IV.

Jangan lupa membaca bagian sebelumnya, bagian I dan bagian II

Share This:
Diantika IE https://ruangpena.id

Author, Blogger, Copy Writer, Content Writer, Ghostwriter, Trainer & Motivator.

Kamu Mungkin Suka

Tulisan Lainnya

+ There are no comments

Add yours