Cerita ini merupakan bab lanjutan dari cerita berjudul “Sebuah Pelarian” sebelumnya.
Jam menunjukkan pukul 19:00 saat Manda dan Hans tiba di cafe. Manda menggigil kedinginan. Hujan turun cukup deras yang tidak bisa terhindarkan saat keduanya harus berjalan belasan meter sesaat setelah menutup pintu mobil Hans ke pelataran cafe.
Hari ini tempat makan itu terbilang penuh padahal bukan malam Minggu. Hans harus memarkir mobilnya cukup jauh dari lokasi. Sepertinya hujan telah berhasil mengumpulkan banyak orang di tempat itu untuk menyantap makanan dalam waktu yang bersamaan demi untuk mengisi perut yang lapar sepulang beraktivitas atau memang sengaja menunggu hujan reda.
Hans membuka blazernya dan memakaikannya ke bahu Manda. Perempuan berkulit putih dengan lesung di sebelah kiri pipinya itu berterima kasih dan sedikit jengah karena beberapa mata memandangi mereka dengan pandangan penuh makna. Mungkin mereka yang ada di sana menyangka kalau Hans dan dirinya adalah sepasang kekasih.
Namun siapa sangka, ternyata sebenarnya Manda sangat menyukai perlakuan itu. Sudah sangat lama ia menantikan saat-saat berdua dengan Hans, sang leader yang selalu menjadi penyemangat dalam bekerja dan setia membimbingnya dalam menyelesaikan pekerjaan dan tugas tim. Di mata Manda Hans adalah sosok lelaki yang sempurna; tinggi, ramah, cerdas juga bijaksana. Hanya saja, selain karena sudah memiliki pasangan hidup, Manda juga melihat bahwa Hans mungkin tidak tertarik padanya. Meski sering bersikap ramah dan terkesan perhatian, tetapi Hans memang melakukan hal yang sama kepada semua timnya. Hans selalu cbersikap peduli kepada semua orang.
Ya, Hans memang selalu baik. Jangalah kamu menyalahartikan, Manda.
Batin Manda bergejolak, apalagi ketika wangi parfum dari blazer Hans menelusup ke hidung hingga menembus ke hatinya.
Lelaki ini begitu setia kepada istrinya. Andai saja kamu adalah suamiku, Hans.
Hans memanggil nama Manda berkali-kali, menyadarkannya dari lamunan. Entah sejak kapan seorang pelayan sudah berdiri di dekat meja mereka menunggu pesanan. Hans menyodorkan buku menu ke hadapan Manda.
“Giliranmu,” katanya dengan senyuman Hans yang khas—sangat Manda suka.
Manda memilih kentang goreng dan jus mangga kesukaannya. Sementara Hans memilih menu yang lebih berat, perutnya terasa sangat lapar. Berhari-hari tidak makan dengan benar membuatnya merasa mulai kehabisan energi dan tubuhnya mulai tidak bisa diajak kompromi. Sering pusing dan mudah lelah. Malam ini ia memesan steak dan sepiring nasi goreng.
Hans meminta Manda untuk fokus makan dulu. Membahas hal yang penting dalam keadaan cafe ramai tidak akan membuatnya nyaman. Manda pun setuju. Ia mulai menikmati makanannya. Diam-diam mencuri pandang, mengamati Hans yang tampak lahap menyantap makanannya.
“Lapar sekali ya, Pak?” canda Manda disambut anggukan Hans yang tidak bisa menjawab karena sibuk mengunyah.
Manda tersenyum puas ketika melihat Hans menghabiskan makanannya malam itu.
Bagus, Hans. Makanlah yang banyak malam ini. Aku sudah terlalu bosan melihatmu malas makan. Tubuhmu pun kini sedikit kurus.
“Kamu, mau nambah pesan apa? Masa cuma itu, mana kenyang?” tanya Hans di sela-sela suapan.
Manda menggeleng sambil tersenyum. Mengisyaratkan bahwa makanan yang dipesannya sudah lebih dari cukup. Bukan karena ia sedang menjalani diet, tetapi wangi jas Hans yang begitu harum dengan aroma yang khas pun telah menganggu konsentrasi makannya. Manda mendadak lebih cepat kenyang.
Wangi itu tidak akan pernah dilupakan oleh Manda. Sebentar lagi ketika ia pulang, jas blazer itu akan kembali ke tubuh yang punya. Dibawa pulang dan mungkin akan dicuci bersih oleh istri Hans di rumah dengan pernuh perasaan. Karena itu Manda harus benar-benar menikmati balutan jas dan merasakan kehangatan serta wanginya yang membuat tenang.
Namun seketika ingatan Manda kembali kepada saat dimana ia memergoki Hans sedang menangis setelah menerima telefon dari seseorang. Dalam benaknya ia bertanya-tanya, ada apakah gerangan dengan rumah tangga rekan kerjanya itu?
Ya, Hans hanyalah rekan kerja. Mereka berdua tidak akan pernah menjadi apa-apa. Aktivitas makan malam seperti ini pun sangat sering dilakukan tanpa canggung setidaknya setiap satu pekan sekali. Jadi Manda tidak perlu merasa bersalah karena orang-orang bahkan di cafe tempat mereka makan sekarang sudah terlalu sering melihat mereka. Memang cafe itu tidak terlalu jauh dari kantor tempat mereka kerja.
Meskipun malam ini Hans mengajak makan hanya berdua, orang-orang cafe akan mengira bahwa mereka datang seperti biasa hanya sebatas membahas perihal kerja.
Berdua?
Iya, nyatanya mereka makan hanya berdua. Tadi sore di ujung jam kerja Hans mengajaknya makan malam tanpa mengajak rekan kerja yang lain seperti biasanya. Malam ini pun Hans memperlakukan dirinya dengan istimewa. Hans begitu perhatian kepadanya. Lihat saja, Hans memakaikan jasnya di bahu Manda meskipun sebenarnya mungkin Hans juga merasa kedinginan.
Apakah Hans mulai mencari pelarian karena ada masalah serius di dalam rumah tangganya?
Berkali-kali Manda menepis perasaan senang yang dirasakannya karena Hans hanya mengajaknya makan berdua malam ini. Ia sadar bahwa pertemanannya dengan Hans telah dibangun sejak lama bahkan ketika Hans masih belum menikah. Berkali-kali pula Manda menepis rasa yang perlahan tumbuh, dan berulang kali menampar dirinya sendiri menyadarkan bahwa Hans sudah memiliki pasangan. Hubunan pertemanan adalah satu-satunya kedekatan yang kini pantas dijalin anatara mereka berdua.
Makanan Hans sudah habis. Kini ia sedang menikmati kopinya sedikit demi sedikit. Seolah sedang menikmati setiap inci kenikmatan makan malamnya kali ini.
“Kamu sepertinya sangat menikmati makan malammu Hans,” ucap Manda.
Hans tersenyum, “benar. Berhari-hari aku tidak memiliki nafsu makan. Baru kali ini aku merasakan lapar yang luar biasa dan baru tahu kalau nasi goreng di sini rasanya lezat sekali,” gurau Hans diakhiri dengan gelak tawa.
“Aku senang melihatmu bisa kembali makan begitu lahap. Beberapa hari ini aku mengkhawatirkanmu, Hans,” jujur Manda.
“Kau mengkhawatirkanku, Manda?” selidik Hans. Dahinya mengernyit mencari jawaban dari perempuan yang duduk di hadapannya itu. Manik matanya yang indah memandangi Manda begitu lekat seolah sedang mencari jawaban paling jujur dari dalam diri perempuan yang telah duduk satu ruangan selama bertahun-tahun dengannya itu.
“Ha ha, iya,” jawab Manda berusaha menyembunyikan rasa malu. “Aku khawatir atasanku ini terlalu larut dalam kesedihan, tidak makan berhari-hari lalu sakit hingga harus dilarikan ke rumah sakit, mendekam di sana dan semua pekerjaannya pindah ke pundakku. Aku tidak siap menghandel pekerjaanmu, Pak Manager,” dusta Manda.
Padahal andai Hans baik-baik saja pun ia akan dengan senang hati melakukan apapun yang bisa meringankan pekerjaan lelaki itu.
Ingin sekali ia mengatakan bahwa benar, ia memang sangat mengkhawatirkannya. Bukan hanya tentang pekerjaan yang akan terbengkalai. Melainkan ia selalu ikut bersedih dan susah tidur memikirkan raut wajah Hans yang tampak murung belakangan ini.
“Terima kasih telah mengkhawatirkanku, Manda,” ucap Hans dengan air muka yang berubah. Kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan, seolah memastikan situasi aman untuk membicarakan sebuah hal yang penting. Tak sabar menunggu Hans melanjutkan bicara, Manda pun melakukan hal yang sama. Matanya menyapu seluruh ruang memastikan bahwa tidak ada siapapun yang terlihat memiliki minat akan menguping pembicaraan mereka. Lebih tepatnya, memastikan tidak ada orang yang mereka kenal dan mungkin memergoki mereka hanya makan berdua saja.
“Kamu sudah siap cerita? Barangkali aku bisa mencarikanmu solusi,” ucap Manda. Tangannya meraih sedotan di gelas jus lalu menyesapnya.
Hans menghela napas panjang seolah mencari kekuatan untuk memulai sebuah cerita yang begitu berat untuk ia bagi. Sebuah cerita kehidupan rumah tangga yang seharusnya cukup disimpannya sendirian bahkan diselesaikan dengan langsung dengan Yoan. Kini ia memutuskan bahwa harus ia bagi dengan seseorang yang memang dianggap tepat. Ia memilih Manda karena baginya hanya Manda yang mampu menyimpannya.
Bagaimana dengan sang mama? Hans tidak akan sanggup menceritakan semuanya kepada perempuan yang sangat ia sayangi dan jaga hatinya itu.
Pokoknya, mama hanya harus tahu bahwa aku bahagia hidup dengan perempuan yang tidak terlalu mama sukai itu. Bisik Hans dalam hatinya.
“Yoan selingkuh,” ucap Hans. Sejenak kemudian ia kembali menghela napas panjang dan memejamkan matanya. Raut mukanya semakin muram.
Dahi Manda mengernyit. Mencoba membayangkan sosok lelaki seperti apa yang mampu menarik hati Yoan. Sedangkan Hans adalah sosok lelaki yang sudah sangat sempurna, mewakili semua yang diinginkan perempuan.
Hans mandiri sejak muda, bijaksana, lembut, tegas tetapi tidak kasar. Tampan sudah tentu. Kaya? Hans adalah pekerja keras, meskipun posisinya baru sebagai manajer, di tempat lain Hans membangun beberapa bisnis kuliner yang dikelola oleh “pausukannya“ dan membantu sang mama mengelola beberapa butik di mall besar di kota Bandung.
“Aku turut menyesalinya, Hans.” Tanpa bisa berkata lebih banyak, Manda hanya bisa mengungkapkan bahwa dirinya ikut bersedih atas apa yang menimpa rumah tangga Hans yang sudah berlangsung selama tiga tahun itu. Di satu sisi, Manda menemukan kenyataan bahwa betapa Hans sedang terluka parah. Satu lagi, Hans sangat mencintai istrinya.
“Sebelumnya aku minta maaf, tanpa ingin mencampuri urusan kehidupanmu terlalu dalam, tapi, Hans, apa kamu yakin bahwa istrimu selingkuh? Apa dasar tuduhanmu kepada Yoan?” Aku tidak ingin hubungan kalian bermasalah karena tuduhan yang tidak berdasar. Yang aku tahu hubungan kalian baik-baik saja bukan?” tanya Manda.
Hans tertunduk lesu.
“Maafkan aku, Hans. Sekali lagi sebenarnya aku tidak ingin mencampuri. Namun karena kamu sudah memilih untuk bercerita kepadaku, malam ini izinkan aku mendengarkan semuanya. Itu pun andai kamu percaya kepadaku, Hans. Siapa tahu aku bisa membantumu mencarikan solusi atau sekadar membuat hatimu merasa lega karena aku paham pasti kamu cukup berat menyimpannya sendirian. Aku tahu, kamu sangat mencintai Yoan dan tidak mungkin menceritakan ini semua kepada ibumu atau kepada orang tua Yoan bukan?”
Hans mengangguk. Manda memang tahu betul, bahwa ia tidak mungkin menceritakan masalah itu kepada orang tuanya maupun kepada mertua.
“Entahlah, Manda. Apakah ini bukti perselingkuhan Yoan atau hanya kekhawatiranku selama tiga tahun lebih yang perlahan mulai terbukti,” ucap Hans pilu. Manda terdiam tidak berani mengungkapkan apapun.
“Dulu saat aku memutuskan untuk membawanya ke hadapan mama,” lanjut Hans. “Aku mati-matian membela Yoan sebagai seorang yang memang layak aku jadikan istri. Mama menentangku habis-habisan mengatakan bahwa Yoan bukan perempuan yang layak menjadi istriku. Hanya saja waktu itu aku hanya melihat bahwa mama tidak setuju karena mama tidak cocok dengan Yoan. Aku juga mengira bahwa mama memiliki calon pilihannya sendiri untuk dijodohkan denganku. Namun mama bilang bukan itu penyebabnya. Melainkan mama menemukan sikap Yoan yang aneh ketika memandangiku. Pandangannya bukan tatapan penuh cinta.
Aku kembali membantah. Menurutku Yoan adalah perempuan yang unik dan menarik. Serta berbeda dengan perempuan yang lainnya. Yoan adalah sosok yang istimewa. Aku beruntung bisa menikahinya,” kenang Hans.
Manda menelan saliva berkali-kali mendengarkan ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut Hans. Selama tujuh tahun bekerja dan satu ruangan dengannya dalam lima tahun terakhir, sebenarnya ibu Hans sudah sering memintanya berkunjung ke rumah Hans. Ibu Hans seolah memberikan sinyal bahwa seorang Mandalah yang akan dijodohkan kepada anak lelaki sematawayangnya itu. Namun apa mau dikata, nyatanya Hans lebih memilih untuk memperjuangkan Yoan perempuan yang ditentang oleh ibunya sendiri. Manda hanya bisa mengubur harapan dalam-dalam pada Hans.
Bahkan hingga kini kamu mungkin tidak pernah tahu bahwa rekan kerjamu ini selalu menyimpan kasih dan cinta di dalam hatinya, Hans.
“Sampai pada malam itu, seharunya aku merasakan manisnya cinta di malam pertama pernikahan, tanpa sepengetahuan orang tua kami, Yoan meminta izin untuk menginap di rumah temannya. Aku akhirnya melewati malam sendirian. Tanpa tidur karena mencemaskan Yoan semalaman,” ujar Hans.
“Ha? Jadi kalian?” pertanyaan Manda tidak tuntas. Ia sendiri tidak sanggup untuk melanjutkan pertanyaan itu.
“Ya, bahkan setelah malam itu kami menghabiskan malam di kamar yang berbeda. Yoan selalu tampak lelah setiap hari. Aku pun tidak pernah berani menganggunya. Aku khawatir Yoan kelelahan dan sakit. Aku sendiri sibuk bekerja, tidak akan sanggup menjagainya jika ia sakit parah,” keluh Hans.
“Aku tidak bisa membayangkan kalian hidup bersama selama tiga tahun sebagai suami istri tetatpi tidak melakukan …”
“Stttt!” Hans menempelkan telunjuk ke bibirnya memberikan kode bahwa Manda harus menekan suara agar orang di sekelilingnya tidak mendengar. Spontan Manda melirik ke sekeliling cafe. Beruntung suasana cafe sudah mulai lengang.
“Tidak selama itu juga. Karena Yoan pun merengek dan berkata bahwa ia sangat menginginkan anak dari rahimnya sendiri. Namun aku sendiri ragu, apakah Yoan akan benar-benar mengandung anak kami? Yoan selalu bergidik ketika aku dekati,” ucapnya pilu.
“Maafkan aku Manda. Tidak selayaknya aku menceritakan ini kepadamu,” sesal Hans. Lagi-lagi ia menghela napas panjang seolah ingin menghempaskan tumpukkan beban yang masih menumpuk di dalam dadanya.
“Its okay, Hans. Tidak apa-apa,” jawab Manda penuh iba.
Hans melanjutkan ungkapan kecurigaannya dan menumpahkannya semua kepada Manda. Bagai air yang ditumpahkan dan Manda sebagai bak tampungnya.
Manda hanya manggut-manggut dan sesekali menggelengkan kepala ketika menyimak cerita dari Hans penuh antusias.
“Dari mana itu?” tanya Manda ketika Hans bercerita bahwa Yoan sering pulang dengan tas belanjaan yang mahal.
Hans menggeleng kebingunan. Tidak bisa memastikan bahwa itu dari mana. Bahkan ia pun berusaha menepis rasa curiga dan cemburunya ketika Yoan tergelak bahagia, sesekali bernada manja ketika bercakap di telefon dengan seseorang.
“Sudah pernah kau hubungi sendiri orang yang menelefon istrimu itu, Hans?” tanya Manda penasaran.
“Sudah. Namun aku mendengar di seberang sana hanya suara banyak perempuan. Tidak ada pria, tidak ada yang mencurigakan,” jawab Hans yakin.
**
Malam itu percakapan mereka berjalan mulus. Hans mengaku merasa lega telah berbagi cerita dengan seorang teman yang selalu siap mendengarkan setiap permasalahan. Walaupun malam ini bukan soal masalah pekerjaan melainkan hal yang lebih pribadi. Namun setidaknya Hans merasa memiliki energi baru untuk kembali bekerja esok pagi.
Hans mengantar Manda pulang karena malam ini Manda tidak menggunakan mobil. Manda sendiri tidak keberatan bahkan merasa beruntung pulang mendapatkan tebengan. Ia tidak perlu memesan taksi online dan bertarung dengan basahan hujan yang masih turun hingga nyaris pukul sebelas malam meskipun sudah tidak sederas tadi.
Manda merasa puas akhirnya Hans berani bercerita walaupun saat menyimaknya ada perasaan campur aduk antara iba dan entah apa lagi. Rasanya ia ingin melakukan apapun untuk melenyapkan gundah yang menggantung di kepala Hans. Meskipun ia sadar, bahwa tidak mudah membantu seorang laki-laki yang sudah berumah tangga menyelesaikan masalahnya. Apalagi ia adalah seorang perempuan. Manda sadar betul, bahwa prasangka buruk akan selalu mengikutinya setiap ia berineraksi dengan Hans hanya berdua.
Manda pun memutuskan, bahwa ini adalah kali terkhir ia bertemu dengan Hans berdua saja. Mungkin lain kali cukup berbalas pesan dan telefon jika memang Hans benar-benar memerlukan bantuan. Selebihnya mereka harus kembali bersama-sama dengan rekan yang lainnya untuk menghindari kecurigaan dan —- menghindari tumbuhnya perasaan dalam hati Manda yang sejak lama sudah berusaha ia hapuskan. Biarlah malam ini menjadi malam rahasia yang akan selalu dikenang oleh Manda.
Wangi parfum Hans yang menempel di kemeja kerja Manda dan sederet cerita Hans tentang kesedihannya akan disimpannya baik-baik. Sambil diam-diam berdoa semoga kehidupan Hans dan istrinya segera membaik.
Namun nayatanya Manda keliru. Pertemuan tadi tidak benar-benar aman. Ternyata si sebuah meja sebelah tenggara, dua orang perempuan tidak luput dari mengawasi gerak-geriknya bersama Hans sejak mereka datang dalam keadaan basah kuyup sampai keduanya pulang meninggalkan cafe pukul 22:15 malam.
**
Bersambung ke bagian III
+ There are no comments
Add yours