“Aku tidak marah kamu selingkuh, aku juga sadar aku banyak sekali kekurangan, Yoan. Tapi tolong….!” suara Hans tercekat. Tangannya gemetar memengangi ponsel yang baru saja digunakannya untuk berbicara dengan seseorang yang sepertinya menutup percakapan secara sepihak.
Berulang kali tangannya menyeka sudut matanya yang tampak basah. Bak hilang sifat kelelakiannya, kini Hans duduk tepekur dengan lemas di kursi kerjanya.
Sementara itu, di balik pintu secara tidak sengaja Manda rekan kerjanya mendengarkan percakapan itu. Tidak ada pilihan lain bagi Manda selain masuk ke ruangan dengan pura-pura tidak mendengar apa-apa.
“Pagi, Hans!” sapanya tanpa menoleh kepada temannya itu. Ada rasa khawatir Hans merasa diperhatikan.
Pasti dia akan malu jika ketahuan menangis.
Sesaat kemudian Manda segera duduk dan menyibukkan diri di meja kerja.
Lelaki berperawakan tinggi itu beringsut memperbaiki posisi duduknya, berusaha menyembunyikan kesedihan di hadapan Manda; partner terbaik dalam melakukan setiap tugas pekerjaan.
Hans berusaha mengatur napasnya sedemikian rupa. Mencoba mengendalikan seluruh emosi yang terasa campur aduk sebagai dampak dari percakapan yang sempat bersitegang di telefon beberapa saat lalu.
“Hai, Manda, tumben datang pagi,” sapanya sedikit salah tingkah. Ia mencoba melukis lengkung senyum yang tentunya Manda tahu kalau itu dibuat-buat.
“Ya, ini kan Senin, Hans. Aku khawatir kesiangan, suka macet kan. Jadi aku berangkat lebih pagi,” jawab Manda yang belum mau melihat wajah rekan kerja yang usianya terpaut sekitar tujuh tahun dengannya itu.
“Ya, memang Bandung sekarang sudah tidak seperti dulu. Aku pun selalu berusaha berangkat lebih pagi,” tukas Hans sambil tangannya sibuk merapikan meja kerja; masih berusaha menyembunyikan kegundahan.
“Mending gitu lah. Daripada dimarahin pak bos kan?” balas Manda basa-basi. Tidak penting juga tiba-tiba menyangkut pautkan dengan bos yang sama sekali tidak pernah benar-benar marah–apalagi memarahi orang sepenting Hans.
Manda melihat arlojinya. Jam kerja masih akan dimulai setengah jam lagi. Masih punya waktu 30 menit untuk mengisi perut yang belum sempat diisi di rumah karena terburu-buru khawatir terjebak kemacetan jalan.
“Hans, sudah sarapan?” tanyanya kepada pria di sampingnya. Kini dengan leluasa Manda memandang wajah itu dari arah samping. Benar saja, wajah Hans masih tampak digelayuti kecemasan.
Hans terperangah, pertanyaan Manda sedikit membuyarkan lamunan. Apalagi ketika ia sadar bahwa temannya itu sedang menatap wajahnya dalam-dalam seperti meneliti.
“Belum,” jawabnya. “Akhir-akhir ini aku sedang kurang berselera,” tambahnya lagi.
Manda tertegun. Ia tahu kalau rekan kerja terbaiknya ini sedang tidak baik-baik saja.
“Hans, ada apa? Kalau misal ada yang bisa dibagi, maka bagilah. Kamu juga kan selalu menjadi tempat cerita buat kami teman-teman se-tim-mu. Apa ini ada hubungannya dengan pekerjaan? Kinerja kami misal sebagai bawahanmu?” tanya Manda mencoba mencari tahu. Walaupun dalam hatinya gamang. Manda melihat bahwa Hans sedih bukan karena soal pekerjaan.
Beberapa pekan terakhir pekerjaan memang sedang baik-baik saja. Baru saja tim mereka mencapai target pemasaran bahkan mereka baru saja mendapatkan bonus sebagai reward atas kinerja yang semakin meningkat. Pemasaran produk berkat kerja sama tim marketing di perusahannya terus melonjak. Bos pun menyatakan rasa senang dan bahagiannya di meeting pekan lalu. Tentu saja itu berkat kepemimpinan Hans sebagai leader.
Hans memang belum makan. Bahkan yang dia ingat terakhir, perutnya hanya terisi segelas kopi kemarin siang. Nafsu makannya benar-benar berantakan. Semakin menjadi ketika dirinya harus menelan kenyataan pahit sepenkan terakhir. Sesuatu yang berhubungan dengan Yoan istri yang sangat dicintainya.
Hans dan Yoan Kanaya menikah sejak tiga tahun lalu. Setelah melalui lika-liku perjalanan kebersamaan mereka yang tidak mudah untuk sampai di jenjang pernikahan akhirnya ia dapat menikahi perempuannya setelah 7 tahun lamanya menjalani hubungan jarak jauh. Belum lagi Hans masih harus bekerja keras untuk menaklukkan hati Bonita sang mama yang bersikeras tidak menyetujuai hubungannya dengan Yoan.
“Mama tidak akan pernah menyetujui anak laki-laki Mama satu-satunya ini menikah dengan perempuan yang tidak memiliki cinta untuk lelakinya,” bentah Bonita saat Hans menyatakan diri akan mempersunting Yoan hari itu.
Hans sendiri membantah dan hati-matian membela, bahwa Yoan mencintainya sepenuh hati.
“Dari mana Mama tahu bahwa Yoan tidak mencintai Hans? Anakmu ini yang merasakan bahwa Yoan mencintaiku, Ma!” suara Hans meninggi dan membuat Bonita merasa sedih. Selama menjadi ibu dari anak lelaki yang dibesarkannya sendirian tanpa ayah itu, baru kali ini ia mendapati Hans meninggikan suara demi membela perempuan yang ia yakini tidak baik untuk menjadi pasangan hidupnya.
“Hans, dengarkan Mama,” bujuk Bonita dengan lembut meski hatinya hancur. “Naluri seorang ibu tidak akan pernah salah. Walaupun mungkin sekarang kamu sedang diliputi kegelapan. Hatimu dibutakan oleh kenyataaa. Kamu terlalu bucin pada perempuanmu itu. Ditambah lagi, Mama tahu, kamu baru kali ini bisa menjalin hubungan dengan seseorang. Mama sangat memaklumi kalau kamu mungkin tidak bisa membedakan mana cinta yang tulus dan hanya kedok belaka,” ucap Bonita.
“Kedok Mama bilang?” geram Hans.
“Ya. Perempuan yang mencintaimu tidak akan memiliki tatapan yang kosong saat menatapmu, Hans. Mata Yoan beda. Gelagatnya pun tidak wajar. Apa kau tidak merasakannya Hans?” tanya Bonita dengan putus asa.
Di akhir percakapan dengan sang ibu, Hans tetap bersikeras akan tetap menikah dengan Yoan meskipun tanpa restu. Demi kebahagian sang anak, akhirnya Bonita mengiyakan dengan perasaan yang campur aduk. Ganjalan dalam hatinya tidak bisa membuatnya benar-benar bisa melepas anak lelakinya ke tangan perempuan yang tidak pernah berhasil mendapatkan kedudukan sebagai seorang calon menantuyang pantas di dalam pandangannya.
“Hans!” panggil Manda. Lagi-lagi Hans terperanjat. Lamunannya tentang sang ibu membawanya terlalu jauh ke masa lalu.
“Mau ikut sarapan gak?” tanya Manda lagi. Wajahnya terlihat mulai kesal.
“Ah, iya. Aku ikut. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa mengundang selera makanku,” jawab Hans sambil meletakkan blazernya di sandaran kursi lalu bergegas menyusul Manda yang sudah berjalan empat langkah di depannya.
**
Sejak sarapan tadi pagi Hans memikirkan perkataan Manda yang terus mengganggu kepalanya. Ia tidak bisa bekerja dengan baik. Fokusnya hilang sama sekali.
“Kalau kamu siap bercerita, aku bersedia mendengarkan. Walaupun mungkin aku tidak akan terlalu banyak berperan dalam mencarikan solusi, tetapi setidaknya kamu akan merasa lega, Hans. Kalaupun kamu tidak memercayaiku sebagai pendengar, berceritalah kepada orang yang menurutmu tepat dan nyaman untuk bercerita. Aku hanya tidak ingin leader kami terus memiliki pikiran yang kacau, nantinya akan berimbas pada kinerja,” ucap Manda panjang lebar sesaat setelah menghabiskan bubur di mangkoknya.
Benar saja, sepanjang hari otak Hans tidak bisa diajak kompromi, bayangan Yoan yang tersenyum sumringah saat berbicara di telefon sengan seseorang begitu mengganggu pikiran. Belum lagi, saat dirinya menemukan bekas merah di leher Yoan ketika mereka bersiap tidur di kamar.
Yoan benar-benar sudah berkhianat.
Layar di laptop yang berisi informasi tentang banyaknya produk baru yang menjadi saingan, tidak lagi diperhatikan. Hans menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Benar apa yang dikatakan Manda, semakin lama pikirannya tidak bisa dikawal. Ia harus menemui seseorang untuk dijadikan parter berbagi cerita. Membaginya dengan sang mama ia belum siap melakukannya.
Aku telah berjanji bahwa hidup dengan Yoan tidak seburuk yang mama kira.
Apapun yang dilakukan Yoan kepadanya tidak akan pernah ia ceritakan sedikitpun kepada Bonita sang ibu. Ia benar-benar akan menguburnya dalam-dalam. Hans telah berjanji akan hanya bercerita tentang semua hal yang membahagiakan kepada satu-satunya orangtua yang telah sangat berjasa dalam hidupnya. Membesarkan dirinya seorang diri tanpa pendampingan suami dan sosok lelaki yang mungkin bisa dipanggilnya ayah. Hans tidak mungkin membagi cerita bahwa sehari sejak resepsi pernikahan mereka digelar, Yoan pergi meninggalkannya menemui teman-temannya dengan alasan perpisahan setelah pernikahan.
Hans pun tidak akan pernah bercerita bahwa Yoan begitu sulit disentuh. Hari-hari mereka hanya diisi dengan perbincangan seperlunya. Namun giliran bercakap dalam telefon dengan seseorang Yoan selalu dapat tertawa riang.
Saking cintanya Hans kepada Yoan, ia rela Yoan bahagia meskipun harus bahagia dengan orang lain dan menghabiskan waktu denngan aktivitas telefonnya bersama orang lain berlama-lama bahkan sampai berjam-jam lamanya.
Ketika tidur, Yoan hanya berbaring di sisi Hans tanpa mau melakukan apa-apa sebagai aktivitas normalnya suami istri. Namun meskipun begitu, bagi Yoan Hans tetap menduduki peringkat pertama soal menjadi pendengar setia.
Hans selalu siap mendengarkan setiap cerita istrinya itu, tentang sahabatnya yang selalu menunjukkan sifat yang terlalu drama atau tentang suasana kerja dengan segala keluh kesah, segala cerita seru dan sedih di tempat kerjanya.
Ya, Yoan adalah seorang pengajar di taman kanak-kanak elit di kota Bandung. Tempatnya orang-orang kaya yang sibuk bekerja menitipkan anak-anaknya yang masih kecil di sana.
Jika diingat-ingat, setiap cerita Yoan tidak pernah sekalipun luput dari kisah-kisah kenakalan dan kelucuan anak-anak yang katanya selalu dirindukan oleh Yoan. Perempuan cantik itu pun selalu bercerita jika ia sangat ingin memiliki anak dari rahimnya sendiri meskupun ketika diajak berhubungan Yoan selalu tampak kelelahan.
Kapan mau punya anak jika selamanya selalu ogah-ogahan dan banyak alasan?
Hans sebenarnya tidak terlalu ambil pusing. Keputusan bahwa Yoan tetap bekerja sebagai guru taman kanak-kanak adalah keputusannya sendiri. Ya, ia yang mengizinkan istrinya itu tetap bekerja dengan alasan agar tidak jenuh selama dirinya pergi bekerja di perusahaan.
Rumah yang cukup luas sudah disediakan oleh Hans. Yoan diberikan kebebasan untuk bekerja atau tidak. Hans sendiri telah berjanji bahwa ia lah yang akan menjamin seluruh kebutuhan istrinya itu. Penghasilan Hans sebagai manager marketing pun sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua. Jadi, saat Yoan meminta untuk tetap menjadi pengajar TK maka ia sama sekali tidak keberatan karena menurutnya menjadi guru TK tidak akan terlalu membuat perempuan yang dicintainya itu terlalu lelah dan akan memiliki waktu lebih banyak di rumah.
Ternyata dugaan Hans salah. Yoan bahkan bisa pulang lebih larut daripada dirinya.
“Sekolah tempatku bekerja tidak sama dengan sekolah biasa, Hans. Di sini jam oprasinya fullday dan kadang ada orang tua yang menjemput sangat sore sehingga kami para guru harus menungguinya sampai semua anak benar-benar habis dijemput,” ucap Yoan ketika Hans memertanyakan mengapa selalu pulang larut malam.
Apakah memang sistem kerja Taman Kanak-kanak elit seperti itu?
Tidak mau berdebat, akhirnya Hans mempekerjakan seorang Asisten Rumah Tangga yang membantu mereka mengurus keperluan rumah seperti memasak, mencuci, setrika dan hal lainnya. Itu pun atas saran sang mama yang mulai khawatir anaknya kelelahan karena akhir pekan masih harus mengurusi kebersihan rumah dan bingung mencari pakaian ketika akan bekerja di pagi hari.
**
Pagi itu secara tiba-tiba Bonita datang ke rumah. Memberikan kejutan kepada anak dan menantunya yang sudah tidak bertemu lama sekali karena harus tinggal cukup berjauhan. Bonita menolak diajak tinggal bersama oleh Hans. Ia memilih untuk tetap tinggal di rumah lamanya, rumah hasil perjuangan dan jerih payahnya selama ini. Hasil tabungannya yang ia sisihkan susah payah dari berjualan baju sampai akhirnya kini memiliki butik yang lumayan ramai dan terkenal di ibu kota. Ditinggalkan lelaki yang tidak bertanggung jawab membuat Bonita jauh lebih mandiri dan benar-benar telah dididik oleh kenyataan. Dengan kerja kerasnya ia mampu membiaya Hans anak semata wayangnya sendirian sampai bisa membeli rumah, ruko dan menyewa beberapa tempat di mall diisi dengan butiknya.
Berbekal rasa rindu dan perasaan bersalah karena telah sempat tidak menyetujui anaknya menikah dengan gadis pilihan sang anak, Bonita sengaja memberikan kejutan, datang ke rumah Hans di akhir pekan dengan pertimbangan keduanya akan ada di rumah karena hari libur.
Namun ternyata dugaannya salah. Ketika ia tiba di depan rumah, ia menyaksikannya sendiri bahwa Hans sedang terburu-buru memasang dasi dengan baju yang sedikit kusut.
“Hans, mau keman kamu?” tanya perempuan yang akrab dipanggi ibu Nita itu kepada anaknya yang terperangah kaget melihat kedayanan sang mama.
“Mama? Kok datang ke sini tidak bilang-bilang?” tanya Hans gelagapan.
“Kamu belum menjawab pertanyaan Mama, Hans. Mau kemana hari Sabtu begini dan kenapa baju kamu Mama lihat begitu berantakan?” tanya Nita terheran-heran.
“Aku lupa setrika baju, Ma,” jawab Hans. Hatinya diliputi rasa sesal mengapa jawaban itu yang justru meluncur dan harus didengar oleh sang ibu.
“Istrimu mana?” tanya Bonita sambil melangkah ke dalam rumah. Bak seorang penyelidik, matanya mengitari seluruh sudut rumah mencari keberadaan Yoan sang menantu.
“Dia, emh, dia … tidak ada di rumah hari ini, Ma,” jawab Hans gugup.
“Sudah berapa hari?” tanya Bonita seolah tahu bahwa menantunya tidak hanya hari ini meninggalkan rumah anak semata wayangnya itu.
Hans tertunduk.
“Duduk dulu aja, Ma. Hans ambilkan minum ya,” bujuk Hans.
“Tidak perlu, Mama hanya ingin jawaban kenapa baju kamu kusut dan rumah berantakan begini. Kamu juga pasti belum sarapan kan?” tanya Bonita penuh teliti.
Hans menggeleng, “Tapi nanti Hans bisa sarapan di kantor, Ma. Semua baik-baik saja. Kami sekadar sedikit, … sibuk,” dusta Hans.
“Besok Mama simpan ART di sini yang akan membantumu di rumah ini,” kata sang mama.
Hans sempat menolak tetapi Bonita pantang ditolak. Akhirnya Hans pun setuju dan setelah ada ART kiriman sang Mama, Hans tidak tidur sendiri lagi. Sejak saat itu Yoan mau tidur sekamar meskupun seperti sejak sebelumnya, di antara Yoan dan Hans tidak pernah terjadi apa-apa yang lebih intim dari sekadar berbaring berdampingan dan memejamkan mata bersamaan.
“Hans, jangan melamun. Sebentar lagi jam kantor usai,” tegur Manda yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Hans terperangah. Lalu ia beranjak dari duduknya mendekati meja kerja teman kerjanya, “hai teman kerjaku yang cantik, maukan kamu makan malam denganku malam ini?”
**
Bersambung
+ There are no comments
Add yours