Perempuan dan Pendidikan

Estimated read time 4 min read
Share This:
See also  Menikah Bukan Hanya Tentang Hidup Bersama Tapi Juga Tentang Kerjasama

Perempuan dan pendidikan
Sumber iustrasi gambar dari instagram @maudyayunda

Ada kisah menyentuh dari kerabatku. Sebuah cerita yang tentu saja ada hububgannya dengan judul yang kutulis, “Perempuan dan Pendidikan”.

Cerita ini dari seorang lelaki paruh baya, salah satu keluarga keturunan suamiku yang memiliki anggapan bahwa pendidikan pada anak perempuan tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan anak laki-laki.

Baru-baru ini aku tahu ceritanya setelah aku banyak bertanya tentang anaknya yang tengah bersekolah di sebuah pesantren di daerah Majalengka.

Kami  akrab menyebut pria berkumis itu sebagai “Mamang”. Dia adalah kerabat dekat ibu mertuaku. Mamang memiliki anak perempuan yang cerdas. Gadis itu terkenal baik di kampung kami. Aku melihat dia memang sepertinya bukan anak biasa. Dia jauh berbeda dari teman sebayanya. Caranya dia belajar, berpikir, cara bersosialisasi, adab dan caranya berpakaian juga sangat berbeda.

Ah, sugan teh rek ringan di lembur wae, pek teh hayang ka jauh, ambeh jiga teteh cena” (dikira mau ringan ngebiayain dia, tadinya mau dia sekolah di kampung aja tapi pengennya sekolah ke tempat yang jauh, katanya mau kayak Teteh),” kata mamang waktu kami tanyai perihal minat anaknya kenapa ingin sekolah jauh dari rumah.

Jika diingat, kakaknya adalah perempuan hebat juga. Memang dari cerita kerabat yang lain kakaknya juga lulus dari sebuah perguruan tinggi dan sekarang menjadi pegawai di salah satu BUMN.

Kami lihat mamang adalah pria kuat, dia pekerja keras. Profesinya banyak dan ia merupakan pekerja lepas, dia bisa jadi sopir panggilan, tukang, arsitek, pemborong kayu, pekebun, bertani, dan hampir segala hal yang orang lakukan di kampung dia bisa melakukannya. Termasuk rumah mertuaku yang sekarang kami tempati adalah hasil dari kerja, pikiran, dan segudang keahlian yang dia punya.

See also  Cantik Saja Tidak Cukup Untuk Menyelesaikan Persoalan Perempuan

Saat kami banyak menanyai mamang mengenai cara dia mendidik dan membesarkan anak-anaknya, kami berkaca-kaca mendengarkan mamang melakoni segala hal untuk mendukung anaknya bersekolah hingga kuliah. Dia selalu menjawab, “keun, rizki mah geus papada mawa, bagian si neng mana kitu ge, alhamdulillah jang ojeg hirupna” (rejeki sudah ada bagiannya, mungkin ini jalannya buat si neng, alhamdulillah hitung-hitung kendaraan buat hidupnya),” kata mamang.

Kami mengerti betul konsep mamang membekali anak dengan ilmu semaksimal mungkin. Karena banyak orang tua pasti berpikir bahwa setelah orang tua tidak ada di dunia ini setidaknya anak mereka harus mengerti cara bertahan hidup.

Di sisi lain, istri mamang adalah wanita agamis yang mengerti  betul agama. Pemahaman keislamannya jauh lebih luas dari kami. Bibi sangat terlihat menanamkan nilai-nilai moral dan agama pada anaknya, bahkan anaknya yang paling kecil saat ini menjadi santri baru di sebuah pesantren mengaku memiliki keinginan sendiri dan bukan desakan dari orang tuanya. Ia terlihat selalu sopan dalam berpakaian, bahkan selalu menyapa kami duluan. Sangat terlihat jelas bagaimana ia mendapatkan pendidikan dasarnya di rumah.

Bibi dan anak-anaknya tak pernah melepaskan hijab lebarnya saat mereka beraktivitas. Bibi adalah ibu rumah tangga biasa, sedangkan mamang menjadi ketua RT, menjadi imam masjid, dan menjadi tokoh di lingkungan.

Anaknya yang sekarang menjadi santri baru kelas satu SMP, kabarnya dalam urutan satu angkatan yang berjumlah ratusan orang, putri mamang dan bibi terdaftar di kelas B dan termasuk kelas unggulan.

Mamang menceritakan bahwa biayanya nggak main-main. Akan tetapi pendidikan yang diterapkan bibi yang tertata membuat mamang semangat mengusahakan mencari uang untuk mendukung kelangsungan sistem pendidikan bibi. Aku dan suami heran betapa hebatnya mereka, akhirnya mamang mengungkapkan bahwa bibi adalah salah satu alumni perguruan tinggi ternama di Bandung. Seketika rasa heran kami terjawab. Kepalaku langsung dipenuhi kalimat menakjubkan bahwa, kepribadian perempuan adalah dasar untuk membangun keluarga, terutama mendidik anak.

See also  Cara Menyikapi Sindir-Sindiran Status

Bibi memutuskan untuk fokus membangun keluarga dan benar-benar berbakti pada suami dengan taat menjadi perempuan yang cukup di rumah saja.

Setelah merenungi banyak fakta menakjubkan dari keluarga mamang, aku membuka kembali lembaran hati yang dipenuhi rasa iri pada teman-teman tang aku lihat dengan kehebatan mereka masing-masing dengan profesinya . Aku hampir jenuh dengan kata-kata orang lain yang memberiku wejangan tapi berkedok sindiran. “Gapapa ya, sarjana cuma jadi ibu, ilmunya nggak sia-sia kok ya nanti buat anak sendiri,” begitu sekelebat kata itu masuk ke telingaku yang ternyata menyakitkan. Namun berkaca pada kehidupan bibi aku sangat merasa bahwa dunia terasa lebih luas. Ciri perempuan berpendidikan bukan hanya dari karir pekerjaan dan pangkat di tengah masyarakat, tetapi akan terlihat lebih istimewa saat orang lain melihat bagaimana ia membangun keluarganya dan benar-benar membangun generasi dengan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Kisah ini menjadi semangat baru untuk kita, para ibu yang hebat dengan peran dan tugas yang sama-sama luar biasa.

Betapa sulitnya menjadi perempuan yang selalu dihadapkan dengan pilihan. Menjadi pekerja tapi jauh dari anak, atau menjadi ibu yang mengasuh penuh dan tak berpenghasilan. Bahkan berjualan sambil momong anak di rumah bisa dilakukan. Semuanya terdengar ganda bukan?

Itulah perempuan dengan penggunaan rasa dan logika. Semua pilihannya selalu berisiko bahkan berbenturan dengan pandangan lingkungan.

Share This:

Kamu Mungkin Suka

Tulisan Lainnya

+ There are no comments

Add yours