Lelaki di Balik Pintu

Estimated read time 6 min read
Share This:
See also  AKU MENUNGGUMU

Lelaki di balik pintu
Timothy Barlin/Unsplash

Hampir setiap hari aku melihat lelaki di balik pintu. Aku merasa dimata-matai. Entah, aku tidak sadar sudah berapa lama ia seperti itu. Wajahnya pun tidak aku kenal sebelumnya. Bukan, ia bukanlah seseorang yang kukenal.

Sebagai guru yang baru bergabung satu tahun di sekolah ini aku belum terlalu banyak mengenal siswa maupun orang-orang yang lalu lalang selain guru dan staf. Lagi pula sekolah ini memiliki penjagaan yang cukup ketat. Satpam di gerbang utama dan gerbang belakang. Serta puluhan unit perangkat CCTV yang terpasang di tempat-tempat yang strategis sehingga sangat membantu proses pemantauan.

Sebelumnya aku mengira jika ia adalah ayah atau saudara salah satu siswa di kelasku. Ternyata ketika aku pindah kelas pun ia masih mengintip di balik pintu. Rasa was-was pun menghantui perasaanku.

Pernah aku bertanya kepada satpam sekolah. Siapakah ia sesungguhnya, kenapa diizinkan masuk ke area sekolah?

“Mungkin Mang Adang suami ibu kantin,” jawab pak satpam ketika aku bertanya karena penasaran.

Karena sudah bertahun-tahun bolak-balik kantin, satpam pun sudah menganggap hal biasa. Mang Adang kadang suka memilih jalan yang lebih jauh menuju kantin. Menurut pak satpam, mang Adang senang melihat anak-anak belajar karena anaknya meninggal tiga tahun lalu.

Namun jawaban pak satpam tidak lantas membuatku tenang. Lelaki itu tidak mungkin orang sembarangan. “Masa sih, suami ibu kantin setampan itu?” gumamku penuh keraguan.

Pernah sekali aku sengaja keluar, hendak mencari tahu apa tujuannya, belum juga langkah kakiku beranjak, lelaki itu sudah menghilang lebih dulu.

**

Seperti biasa setiap Selasa aku mengajar matematika di kelas VIIIA. Kelas ini adalah kelas paling nyaman. Selain karena letaknya ada di pojokan, kelas ini pun terasa lebih sejuk karena ada di bawah pohon ketapang yang berdaun indah dan rindang.

See also  Rumah Tangga Wawan dan Sumi

Sebelah kelas ada taman kecil dan tempat duduk. Bangku yang terbuat dari besi bergaris itu kadang menjadi tempatku beristirahat ketika selesai mengajar dan menunggu jam berikutnya. Jarak kelas ke ruang guru cukup jauh. Aku berpikir, mending duduk di sana sesekali bercengkrama dengan murid-murid di jam istirahat. Walaupun sebagian besar dari mereka lebih memilih kantin, lapangan, dan perpustakaan saat jam istirahat.

Menikmati udara yang sejuk serta hijau taman di depan mata cukup membuat penat pergi seketika. Termasuk hari ini. Mengajar marathon dari pagi sampai lepas dzuhur rasanya cukup melelahkan. Pegal di punggung dan pundak sisa begadang semalaman masih terasa. Beberapa pekerjaan harus kuselesaikan malam tadi karena sudah sampai di tenggat waktu yang ditentukan.

“Bu Andin sedang apa di sana?”

Terdengar suara bass seorang pria mengagetkanku. Aku menoleh ke belakang.

Seorang lelaki berperawakan tinggi berdiri tegap di sisian pintu kelas VIIIA.

Kelas terlihat lengang. Sebagian siswa mungkin pergi ke kantin, ke lapangan atau mungkin ke perpustakaan.

Lelaki itu tersenyum manis, melihat ekspresi heranku.

“Iya, Anda siapa ya?” tanyaku.

“Saya Bram,” jawabnya. Ia menyodorkan tangan kekarnya meminta bersalaman. Aku menyatukan telapak tangan di dada sebagai balasan.

“Oh, sorry,” ucapnya.

Senyuman manis kembali terkembang di bibirnya. Kaus putih, topi hitam dan celana jeans yang ia kenakan menambah penampilan lelaki itu semakin menarik. Beberapa detik aku merasa degup jantungku lebih kencang dari biasanya.

“Lelaki ini sempurna,” hatiku memberikan pendapatnya.

Ketika sadar, aku segera menelan saliva dan berusaha mengendalikan sikap.

“Kenapa, Bu Andin?” Suara lelaki itu mengagetkan.

“Oh, tidak.”

Aku gugup dan membetulkan cara dudukku. Kemudian berdiri di hadapannya.

“Anda kan yang sering muncul di balik pintu kelas kalau saya ngajar kan?” tanyaku gugup.

Lelaki itu mengangguk. Lagi-lagi melempar senyum manis yang membuat aku tambah degdegan.

“Saya juga yang mengintip di balik pintu setiap kelas Bu Andin,” ucapnya disambung dengan tawanya yang renyah.

See also  Will Never Marry You

Bram duduk di bangku taman tempatku duduk tadi.

“Bu Andin, boleh saya tahu sesuatu?”

“Informasi apa yang harus saya berikan kepada orang yang belum saya kenal?” tanyaku.

“Jangan ketus begitu dong. Saya kan tadi sudah kenalan, iya kan? Lagian perempuan cantik masa judes sih?” godanya. Tatapannya begitu lembut meneduhkan.

Aku tersipu, “iya maaf, apa yang ingin Anda tahu?”

“Sejauh mana bu Andin mengenal Rakha?”

“Rakha? Anda siapanya Rakha?” Keningku mengernyit. Kepalaku langsung memutar ingatan.

Beberapa bulan lalu, aku dan guru-guru lain diikuti beberapa perwakilan siswa, mengunjungi rumah Rakha untuk takjiyah.

Rakha menangis di depan bungkusan jenazah kedua orangtuanya. Mereka meninggal akibat kecelakaan pesawat.

Seorang perempuan yang belakangan ku tahu bernama tante Nita, duduk bersimpuh di sebelah Rakha. Ia memelukku erat ketika aku mendekat menyampaikan bela sungkawa.

“Terima kasih banyak, Nak Andin sudah berkenan datang. Doakan anak Tante ya… Tante juga titip Rakha,” ucapnya sambil mengelus rambut cucu kesayangannya.

“Jawab dulu pertanyaan saya!” Suara Bram bergetar mengagetkan lamunanku. Matanya berkaca-kaca. Entah apa yang dia rasakan aku tidak tahu.

“Dia anak yang kuat. Sepeninggalan orangtuanya dia cukup tangguh dan bisa kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Walaupun tidak seceria dulu. Nilainya pun pernah anjlok. Mungkin karena dia terlalu larut dalam kesedihan. Namun sekarang dia bisa menyesuaikan kembali kok.”

Aku berusaha menyakinkan lelaki itu. Bahwa apa yang kukatakan benar adanya.

Aku dan Rakha memang dekat. Setelah orangtuanya meninggal, Rakha menjadi murung. Padahal ia adalah murid berprestasi yang selalu riang gembira. Sejak musibah itu, aku lebih sering memperhatikan dan mengingatkannya soal belajar, solat bahkan sesekali aku bertanya soal kebiasaannya makan. Belum lagi karena tante Nita selalu mengajakku diskusi soal cucunya.

Tante Nita sebagai neneknya sempat beberapa kali memintaku berkunjung ke rumahnya karena Rakha hanya mau mendengarkan nasihatku.

See also  Pulih

“Nak Andin tolong bujukkin Rakha supaya tidak pulang malam. Tante khawatir dia terbawa pergaulan yang salah. Beberapa hari ini pulangnya lepas magrib. Tante khawatir ada apa-apa dengan cucu kesayangan tante ini,” tante Nita memohon.

Setelah melakukan pendekatan akhirnya Rakha bisa diajak bekerja sama.

“Akhirnya Rakha lebih disiplin berkat kamu, Nak Andin,” ucap tante Nita di ujung telepon. “Terima kasih ya. Andai saja…,” kalimat tante Nita terputus.

“Andai apa, Tan?”

“Ah tidak. Sudah dulu ya …” tante Nita menutup teleponnya.

Lamunanku kembali melayang. Mengingat setiap episode yang berhubungan dengan muridku, Rakha.

“Aku titipkan Rakha kepadamu.” Suara bass itu berbisik hangat di telinga, membuat bulu romaku berdiri dibuatnya. Entah sejak kapan Bram berdiri begitu dekat denganku.

“Aku percaya padamu, Andin,” ucapnya lagi. Kali ini ia menyebut namaku tanpa embel-embel kata “ibu” sebagai guru.

Dalam keadaan mata terpejam, aku mengangguk patuh. Tanpa bisa memahami siapa dia dan apa yang sebenarnya terjadi.

Bel masuk berbunyi. Sebagai tanda aku harus kembali ke kelas untuk mengisi jam terakhir.

Rakha melambaikan tangan dari kejauhan sambil berteriak, “Bu Andin, pulang sekolah saya menghadap ya. Ada pesan dari oma,” katanya.

Aku menjawab, “okay, Rakha, sampai nanti.” Tidak lupa kubalas lambaian tangan anak lelaki itu.

Rakha berlari menuju kelasnya. Tidak lama kemudian suasana lorong sekolah kembali lengang. Semua siswa sudah bersiap memulai pelajaran kembali.

“Anda lihat sendiri kan, Bram. Rakha sudah kembali seperti dulu, ia ceria dan begitu riang gembira. Apa Anda tidak ingin menemuinya terlebih dahulu ?”

Aku menoleh ke arah Bram yang berdiri di sebelah kananku. Taman hening. Tidak ada siapapun di sana.

Langit masih cerah. Taman masih hijau. Udara siang menjelang sore di bawah pohon ketapang yang berdaun rindang masih terasa sejuk.

Bram, lelaki pengintip di balik pintu itu pergi entah kemana.

Share This:
Diantika IE https://ruangpena.id

Author, Blogger, Copy Writer, Content Writer, Ghostwriter, Trainer & Motivator.

Kamu Mungkin Suka

Tulisan Lainnya

+ There are no comments

Add yours