Mas Ridho

Estimated read time 9 min read
Share This:
See also  Suamiku Pemabuk dan Suka Main Perempuan

Mas Ridho

“Kamu kenapa, De?”

Suara mas Ridho yang lembut mengagetkanku. Aku tersentak dan dibuat salah tingkah, ketahuan sedang melamun. Gelas minuman yang ada di meja hampir saja menumpahkan isinya.

Aku memang melamun, sejak tadi mas Ridho bercerita kesana-kemari tentang segala hal. Jujur, aku tidak terlalu memerhatikan. Lagi pula, topik yang dia pilih benar-benar membuatku tidak berminat. Topik yang terlalu sering aku dengar dan membosankan. Ya, cerita tentang mbak Suci tunangannya itu. Ah, menyebalkan!

Kisah cinta mereka rasanya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Keduanya hanya sibuk bekerja menggeluti karir masing-masing. Mereka terpisah jarak, Jakarta-Bandung, tidak terlalu sering bertemu. Tidak ada indah-indahnya. Bahasan yang disajikan dalam cerita mas Ridho pun hanya seputar prestasi pasangannya. Sekalipun belum pernah kudengar cerita yang sweet gitu, seperti cerita soal rencana pernikahan misal.

Oh, No! tunggu. Aku bahkan lebih tidak ingin mendengar hal itu. Aku lebih senang jika mas Ridho tidak menceritakan apapun soal mbak Suci tunangannya yang cantik itu.

Apa? Cantik? Hm, aku juga cantik kok, cuma kalah tinggi aja. Dia langsing, tinggi semampai, sangat serasi dengan mas Ridho. 

“Kamu mikirin apa sih?”

Sekali lagi pertanyaan mas Ridho membuat lamunanku buyar.

“Gak, Mas. Aku lagi kurang fokus aja. Kerjaan di kantor terlampau membebaniku,” aku beralasan.

“Ah, rasanya gak begitu. Aku sangat mengenalmu, Dek. Apapun suasana hati kamu, kamu pasti nyerocos menceritakan apapun. Soal kerjaan juga begitu. Dari mulai draf yang belum selesai, printer yang mendadak ngadat, OB yang terlambat pergi ke fotocopyan, atau kamu yang lupa sama deadline. ya kan?”

Apa yang dikatakan oleh mas Ridho memang benar. Aku akan sangat lancar bercerita ini itu di hadapannya dalam situasi apapun. Sedih, kesal, nangis, senang, apa lagi. Mas Ridho adalah tempatku mencurahkan segala isi hati. Habis itu, rasanya hati yang sumpek mendadak lapang. Apalagi ketika mendapatkan tanggapan dari mas Ridho berupa nasihat. Ejekan dan ledekan sekalipun selalu berkesan.

Ah. Mas...

Tapi akhir-akhir ini ada yang membuatku merasa kurang nyaman. Mas Ridho yang selalu bercerita soal mbak Suci, tunangannya. Aku tidak tahu, apa yang aku rasakan saat ini. Apakah ini cemburu?

“Mau dihabiskan gak makanannya? Kamu gak lagi diet kan?” tanya mas Ridho.

“Enggak ah, Mas. Males. udah kenyang,” jawabku.

“Tuh kan… bukan Nadia banget deh. Biasanya kamu kan gembul,” goda laki-laki yang ada di hadapanku itu.

“Hm… iya sih… Tapi…”

Tiba-tiba ponsel mas Rido berdering. Dengan cekatan mas Ridho mengangkatnya tanpa beranjak dari tempat duduk, sehingga aku bisa mendengarkan dengan jelas percakapan meraka.

See also  Sebuah Pelarian (IV)

“”Iya, Yank. Gimana?”

Terdengar suara mbak Suci di sebrang sana dengan nada bicara yang anggun dan berwibawa. Jauh sekali dari kesan manja. Kepalaku berpikir keras.

Apakah tipe perempuan yang sepeti itukah yang membuat mas Ridho benar-benar jatuh cinta?

“Kok sebentar?” tanyaku, ketika kutahu mas Rido sudah menutup teleponnya.

“Ya, kalau urusannya sudah selesai kan gak perlu lama-lama,” jawabnya sambil menyendok makanan.

“Memangnya gak kangen gitu?” aku penasaran.

“Aku lebih kangen sama yang ini sih!” jawab mas Ridho.

Tangannya yang iseng mengusap-usap kepalaku berhasil membuatku salah tingkah.

“Ciye, pipinya merah,” goda mas Ridho.

Aduh kenapa pipiku memanas begini ya, jadinya ketahuan kalau aku merasa malu. 

“Jangan begitu ah, Mas! aku gak suka!”

Tidak terasa nada bicaraku keras sekali. Aku beringsut, meninggalkan mas Ridho yang diam bengong kebingungan.

**

Beberapa kali panggilan dari mas Ridho tidak kuhiraukan. Aku merasa cintaku semakin tumbuh. Harus aku bunuh sebelum semuanya terlalu mengakar dalam hati. Aku harus tahu diri. Mas Ridho sudah punya tunangan.

Tiga hari aku tidak bertegur sapa dengan lelaki itu. Susah payah rasanya untuk menahan rindu. Mas Ridho yang tidak pernah absen menyapaku ketika subuh hari, masih melakukannya walau tidak ada satupun pesan yang kubalas.

Hari ini tiba-tiba jariku ingin membuka pesan-pesan darinya.

“Dek, kamu ini kenapa? Membuat bingung Mas saja. Apa salah Mas sampai kamu tiba-tiba marah saat Mas elus kepalamu? Sejak kapan kamu gak suka itu? Bukankah itu malah membuat kamu merasa nyaman? Katamu, hal itu yang selalu bisa menenangkan. Mengusir penatmu selama ini. Maafkan Mas karena telah lancang melakukannya. Namun Mas melakukannya bukan karena kamu pernah bilang bahwa kamu senang dengan itu. Entah kenapa Mas pun merasa begitu senang melakukannya. Karena kamu menyenangkan, Dek. Plis jangan diemin Mas kayak gini lagi. Mas jadi gak semangat ngapa-ngapain nih. Nanti sore Mas tunggu di tempat biasa kita makan ya.”

Ya ampun, pesan itu dikirim tiga hari yang lalu.

Lalu, “Nadia Almaira Sudrajat. Ada apa dengan kamu? Aku menunggumu tiga jam lamanya. Kupikir kamu akan datang. Ternyata keyakinanku meleset. Lucu ya, makanan yang biasa kita pesan dan kita makan sama-sama sampai dingin, karena terlalu lama nungguin kamu.” Kalimat itu dibubuhi dengan foto makanan kesukaanku.

Tidak terasa air mataku mulai mengalir, Ternyata mas Ridho benar-benar kehilangan aku selama ini.

Aku melanjutkan membaca pesannya.

“Heiy, masih marah? Coba kasih penjelasan, biar aku tenang.”

Tanganku bergetar memegangi ponsel pintarku. Rasanya ingin aku memeluknya sekarang juga, meminta maaf atas ketidakjelasan sikapku.

“Mas, maafkan aku. Aku hanya ingin memberikan waktu untukku sendiri. Aku juga gak ingin mengganggu Mas Ridho karena perasaan yang ada di hati aku. Semoga Mas tenang tanpa aku di sana ya. Mas pasti bisa menjalani hari tanpa perempuan manja yang selalu gangguin dan nyita waktumu. Beberapa hari ini biarin aku dulu sampai saatnya aku bisa siap menemuimu lagi.”

See also  Will Never Marry You (tamat)

Balasan itu kukirim dengan perasaan kacau balau.

Pesan terkirim, dibaca olehnya, dengan ditandai dua centang biru.

Setelah itu, tidak ada balasan apapun darinya.

**

Dua bulan berlalu. Aku mulai terbiasa tanpa mas Ridho. Meskipun awalnya terasa begitu sulit, tidak memberikan kabar, tidak janjian makan siang.  Karena kantor tempat kami bekerja bersebrangan. Tidak lagi makan di cafe biasa, karena datang ke sana hanya akan membuatku sedih. terlalu banyak kenangan di sana.

Hari ini hujan turun deras. Aku belum bisa pulang. Duduk di lobi kantor dengan malas. Biasanya jika hujan begini kami asik ngobrol di telepon. Mas Ridho di lobi kantornya dan aku di sini di lobi kantorku.

Ngobrol dengannya membuatku lupa waktu. Sampai hujan reda dan kami pun sepakat akan bertemu di tempat yang sama untuk ngopi dan ngemil sama-sama. Mas Ridho tidak pernah keberatan ketika aku memintanya menemaniku bahkan sampai mengantarku pulang.

Namun kini hujan tidak jua reda. Teleponku juga tidak lagi berdering. Tidak ada telepon dari mas Ridho.

Ah rasanya rindu. 

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 19:30.

“Mbak Nadia belum ada yang jemput?” sapa seseorang berpakaian serba hitam serupa dengan pakaian satpam. Topinya yang terlalu maju menutupi matanya.

Siapa dia?

“Ah, iya,” jawabku singkat. “Mas satpam baru? rasanya saya baru lihat.” mataku mencoba mencari keberadaan Pak Hari satpam tetap kantor tempatku bekerja.

“Jangan takut, Mbak. Saya bukan orang jahat”

Lelaki itu mendekat, Bau parfumnya yang khas sangat ku kenal.

Aku mulai waspada, takut jika ia berbuat jahat.

Kenapa juga lelaki asing ini masuk ke kantorku tanpa izin?

“Mbak Nadia bisa ikut saya?”

Tangan kekarnya menarik pergelangan tanganku. Aku berusaha melepaskannya sekuat mungkin. Namun rupanya genggaman tangan lelaki itu tidak terlalu keras menggenggam sampai tanganku mengenai mukanya.

“Aw!” teriaknya. Tangannya memegangi pipi kananya yang kena pukul tanganku. “Galak amat sih, Mbak!” keluhnya.

Suaranya berubah. Kini suara itu sangat aku kenal.

Lelaki itu membuka topinya.

“Mas Ridho!” aku setengah berteriak. “Kenapa kamu di sini? pakai nyamar segala juga!”

“Aku tiap hari di sini, Dek. Ngawasin kamu.”

‘Ha?” aku tak percaya

Pak Hari mendekat. “Pak Ridho sudah sebulan ini bekerja di sini Mbak. Mbaknya saja tidak pernah sadar. Kalian saling kenal rupanya.” ucap pak Hari.

See also  Menunggu

“Apa aku gak salah dengar, Mas?”

Mas Ridho menggelengkan kepala.

“Memang benar, perusahaan tempatku bekerja masih satu management dengan kantor ini. Kemungkinan untuk pindah kerja sangat besar, karena atasan sudah terbiasa memindah tugaskan karyawannya.”

“Masa sih?” keningku mengernyit.

“Iya anak baru mana paham soal ini.” goda mas Ridho. Nada bicaranya jail sekali.

“Pulang bareng lagi yuk! Aku kangen.” ajak lelaki yang sudah sangat lama aku rindukan itu.

“Ayo,” jawabku senang.

“Jadi kamu udah gak marah lagi?”

Aku menggeleng.

“Kalau begitu sebelum pulang aku traktir kamu makan malam. Mau ya….?”

“Ya, aku mau,” jawabku.

“Tapi sebelumnya bisa temani aku mencari sesuatu? Please….” Mas Ridho memasang kedua tangannya di dada sebagai ekspresi permohonan. Wajahnya yang tampan dan senyumnya yang manis membuat hatiku luluh. Aku mengangguk. Mas Ridho meraih tanganku membuat aku degdegan setengah mati.

“Ma kasih ya, Adik sayang…”

Aku kembali dibuat tersipu. Perlakuan Mas Ridho kali ini rasanya tidak biasa. Aku benar-benar merasa istimewa. Mungkin ia sudah sadar bahwa selama ini aku memendam rasa kepadanya. Mungkin mas Ridho mulai paham soal itu.

Kami berjalan keluar kantor. Hujan mulai reda. Mas Ridho melindungiku dengan jasnya.

Wangi parfum yang khas menelusup hidungku membuat nyaman. Ia membukakan pintu mobil dan mempersilakan aku masuk bagaikan seorang putri.

“Silakan nona…,” perintahnya seraya membungkukkan badan.

Aku tersenyum bahagia.

Setelah ia duduk di belakang setirnya, ia memandangku begitu syahdu. Tatap matanya kurasakan lebih hangat dari biasanya. Sepertinya ia pun merasakan rindu sama sepertiku.

Mas Ridho…, aku deg degan. 

“Ma kasih ya, sudah mau bicara lagi sama Mas.” Tangannya yang hangat menggenggam tanganku. Dadaku semakin berdebar kencang. Aku mengangguk pelan tanpa bisa banyak berkata-kata.

Mas Ridho menghidupkan mesin. Mobil melaju perlahan ke arah timur. Di perjalanan kami ngobrol banyak hal. Aku bersyukur sudah bisa sedekat ini lagi dengan mas Ridho.

Semoga saja ini pertanda baik. Sebelum janur kuning melengkung aku merasa pantas mendapatkan mas Ridho. Karena aku merasa hati Mas Ridho pun ada padaku. 

Mobil masuk ke area mall. Setelah parkir di basement Mas Ridho kembali membukakan pintuku. Aku benar-benar merasa istimewa hari ini.

“Memangnya kita mau nyari apa di sini, Mas?” tanyaku.

“Hm… kasih tahu gak ya…?” kerling mata mas Ridho manis sekali.

“Kasih tahu lah, biar aku bisa bantu nyari.”

” Okay, bantu aku carikan hadiah buat Suci. Besok dia ulang tahun,” jawabnya dengan ekspresi senang.

Seketika langit runtuh menimpa tubuhku, meremukkan sendi-sendi. Jantung dan paru-paruku terhimpit reruntuhan beton. aku sesak napas, remuk dan tidak berdaya.

Mas Ridho….

 

Share This:
Diantika IE https://ruangpena.id

Author, Blogger, Copy Writer, Content Writer, Ghostwriter, Trainer & Motivator.

Kamu Mungkin Suka

Tulisan Lainnya

+ There are no comments

Add yours