
“Anak mama kudu aya anu jadi jelma (anak mamah harus ada yang jadi orang),” ujar mamaku dulu ketika kami masih sempat berkumpul bersama di ruangan tengah.
Kala itu kami duduk bersama di kursi yang kami sebut itu sova. Kursi buatan bapa Ondi, tetangga kami yang memang pintar membuat kursi kala itu. Kursinya membentuk siku-siku mengikuti sudut ruangan. Berwarna abu-abu, jika diduduki sangat empuk, cukup mewah pada zamannya. Maklum belum banyak tetangga kami yang memiliki kursi seperti itu. Beruntung ayah dan tetangga kami berinisiatif untuk membuat sendiri dengan meniru sebuah gambar.
Tidak jarang, adikku ketiduran di kursi itu saking merasa nyaman karena kursinya lebih empuk daripada kasur kapuk yang ada di ranjang kami.
Hujan turun cukup deras kala itu. Kami berempat duduk di sana menyimak air yang turun dari genting menimpa rerumputan yang tampak tinggi belum sempat kami cabut.
Mencabuti rumput adalah salah satu tugas kami kalau libur sekolah. Mama dan ayah adalah guru di Sekolah Dasar yang juga tempat kami bersekolah. Kalau di sekolah bertemu, ayah dan mama benar-benar memperlakukan kami seperti murid mereka. Kalau lonceng pulang berbunyi, kami pulang sendiri dengan berjalan kaki, tanpa pamit terlebih dahulu. Kami hanya bertemu di jam pelajaran, kemudian bertemu kembali di rumah. Ketika kami masih berjalan kaki di bawah terik matahari, ayah dan mama lewat begitu saja pakai motor dan akan membiarkan kami jalan bersama teman-teman.
Mereka membiasakan kami untuk kerja bakti saat libur. Mama kadang mengambil tugas membersihkan jaring laba-laba dengan sapu ijuk yang diberi gagang panjang dari kayu. Walaupun memiliki tugas membersihkan langit-langit, mama bisa sambil memasak dan menyiapkan makanan untuk kami. Sedangkan ayah memeriksa atap atau langit-langit barangkali ada yang tersumbat, retak atau pecah yang menyebabkan rumah kami bocor.
Sementara kami ketiga anak perempuannya bertugas membersihkan halaman, merapihkan tanaman. Salah satunya mencabuti rumput dan menyapu dedaunan yang berjatuhan dari pohon jeruk dan pohon jambu yang ada di halaman rumah kami.
Sesekali kami pun mendapat tugas mencuci dan menjemur pakaian, yang sebenarknya didominasi oleh pakaian seragam sekolah kami sendiri. Kalau cuciannya terlalu banyak, kami harus memasang tali jemuran baru yang dibentang dari pohon ke pohon. Adikku lah yang selalu bersedia naik ke pohon jambu untuk mengikatkan tambang jemuran.
Hari-hari kami sangat menyenngakan walaupun berjalan dengan siklus yang cukup sederhana. Setiap pagi kami dimasaki sarapan dan wajib duduk di meja makan. Suka tidak suka, mau gak mau, kami wajib makan nasi sebelum sekolah.
“Kalau sudah sarapan, siang hari mau makan apa saja, sudah amam. Tidak akan kelaparan,” ujar mama.
Kebiasaan itulah yang membuat kami kerap merasa pusing keleyengan pukul delapan pagi jika belum mendapatkan sarapan hingga kini.
Sore itu ayah belum pulang dari pengajian. Ada syukuran yang dilakukan sebelum melangsungkan pernikahan di salah satu tokoh kampung sebelah. Ayahku diundang untuk berdoa bersama selepas asar. Aku, mama dan kedua adik perempuanku menikmati teh manis panas dan singkong goreng buatan mama di sova itu.
Kami sering sekali diberikan wejangan oleh mama, bahwa walaupun perempuan kami harus menjadi perempuan yang tangguh, tidak cengeng dan memiliki pendirian.
“Jadi perempuan itu jangan mudah terpengaruh. Harus bisa ambil keputusan sendiri. Karena akan ada saatnya, kitalah yang satu-satunya orang yang bisa diandalkan ketika tidak ada orang lain yang bisa kita andalkan,” kata mama menasihati.
Dulu nasihat itu terdengar sangat memaksa. Di saat anak perempuan lain seusia kami didandani dengan pakaian baru berwarna merah jambu yang cerah dan mahal, gelang, cincin, kalung dan anting-anting yang cantik, sepeda baru yang sedang musim. Sementara itu, tidak ada perubahan yang berarti buat kami. Tidak ada perhiasan, tidak ada baju baru kecuali menjelang lebaran, tidak pula satu sepeda untuk kami pakai bertiga.
Ayah dan mama lebih sering membelikan kami makanan dari pasar, buah-buahan kalau kebetulan mama habis dari kota. Kalaupun ada hadiah, itu bentuknya kalau tidak buku gambar, pasti pensil warna atau krayon dan alat tulis lainnya. Bahkan ayah sering membawakan kami buku bacaan yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah kami. Mjalah Mangle adalah majalah yang sering sekali dibaca adikku yang bungsu, hingga ia memiliki wawasan yang bagus tentang bahasa Sunda.
Cara mama dan ayah mendidik kami sangat sederhana, bahkan jauh dari kata mewah. Kami tahu betul, jika kedua orangtua kami bahkan mampu jika memaksakan membelikan sepeda dan barang-barang lain yang sedang musim dipakai anak-anak seusia kami. Orangtua teman-teman kami pun bisa membelikannya, apalagi ayah yang seorang PNS. Namun entah kenapa, kami pun sebagai anak-anaknya tidak pernah berani meminta hanya sebatas keinginan yang cukup kami simpan dalam hati.
Kini, baru terasa. Sampai kami dewasa, aku sendiri tentunya, akhirnya sadar betul bahwa pola pendidikan yang diterapkan dalam rumah kami adalah pola pendidikan terbaik. Kami tidak pernah merasa kekurangan walaupun tetangga kami memiliki banyak harta. Kami justru lebih takut jika harus kehilangan harga diri kami.
“Anak mama semua perempuan. Teteh harus kuliah keguruan, begitu pula dengan Dede dan Neng,” ucap mama.
Sekarang kami sudah sama-sama lulus kuliah dan berkeluarga. Namun qodarullah, sayangnya kami tidak sempat mendengarkan pendapat mama lagi tentang kehidupan kami. Mama telah meninggal dunia belasan tahun lalu. Semoga Allah menempatkan mama di Surga.
Kami perempuan, mungkin belum bisa menjadi apa yang mama harapkan. Kami hanya baru bisa menjadi seorang ibu yang ingin mrnjadi ibu yang hebat sehebat mama.
Meskipun kami belum bisa menjadi “orang” seperti yang mama harap, kami di sini sedang berjuang keras agar anak-anak kami bisa menjadi seorang manusia seutuhnya. Kami akan mendidik sekuat tenaga. Dengan harapan, cucu-cucu Mama pun menjadi seorang manusia yang berguna.
Selamat hari ibu, Ma. Dari kami anak-anak perempuan Mama yang juga terus belajar menjadi ibu yang baik seperti Mama.