
Memang tempat terbaik seorang perempuan adalah di rumah saja. Kalimat itu pula yang selalu ingin saya sampaikan langsung kepada orang-orang yang bertanya mengapa saya berhenti bekerja.
“Habis sibuk banget kerja jadi kepala sekolah lalu tiba-tiba sekarang di rumah saja emang gak jenuh ya?” tanya seorang teman yang sudah sangat lama tidak bertemu.
Saya mesem-mesem sambil berpikir bentuk kalimat seperti apa yang harus saya ungkapkan sebagai jawaban. Toh, sudah bisa ditebak. Nantinya akan seperti yang sudah-sudah. Ketika saya sudah memberikan saya malah habis dihakimi.
Katanya saya bodoh, “sudah punya kerja di lembaga swasta yang keren, punya penghasilan lebih dari cukup, sudah dapat tunjangan sertifikasi pula. Sayang padahal. Orang lain mah pengen banget kayak gitu. Kamu malah berhenti.”
Rasanya ingin memberikan jawaban gamblang segamblang-gamblangnya bahwa setiap orang itu memiliki pandangan berbeda satu sama lain. Sebagai perempuan juga tentunya memiliki harapan yang berbeda. Namanya juga hidup, pasti sawang sinawang. Saling berprasangka, menganggap bahwa hidup orang lebih enak dari yang kita lihat.
Banyak di luar sana bahkan di sekeliling kita perempuan yang sudah menjadi istri dan memiliki anak lebih dari satu, merasa jenuh dengan kesehariannya. Berkutat dengan urusan pekerjaan rumah, mengurus anak yang rewel, dan melayani seluruh kebutuhan anak dan suami. Mereka melihat bahwa bekerja di luar rumah itu jauh lebih menyenangkan daripada dunianya kini.
Namun sisi lain, saperti halnya saya yang pernah ikut bertarung dalam dunia kerja belasan tahun lamanya, tentu saja merindukan suasana rumah yang nyaman. Karena walaupun bekerja di luar rumah, meski di rumah ada asisten ruamh tangga, peran seorang ibu dan istri itu tidak dapat diserahkan semua kepada asisten. Alhirnya, lelah di luar iya, sampai di rumah pun tetap harus menjadi ibu dan istri yang harus mengurus rumah tangga dan melakukan tanggung jawabnya. Ya, kecuali mau seluruhnya lepas tangan. Anak-anak dididik orang lain dan suami dilayani oleh orang lain. Wah ini sih tidak boleh terjadi!
Agar peran istri dan ibu tetap berjalan dengan semestinya, maka sekali lagi tempat terbaik seorang perempuan adalah di rumahnya. Agar peran ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya tetap tertunaikan. Peran istri yang selalu ada, tetap dapat mendulang pahala dari suami dengan melayani semua kebutuhannya tetap terlaksana.
Maka saya pun menjawab, “lah enakan sekarang lho, Mbak. Dulu saya capek mikir, capek fisik, sering tipes juga karena mikirin umat manusia. Selama ini saya insyaallah tidak pernah menyia-nyiakan tanggung jawab besar yang neplok di pundak saya. Makanya sebisa mungkin saya melakukan yang terbaik. Saking takutnya ninggalin tanggung jawab, sering sekali saya lupa sama kesehatan diri saya sendiri. Lupa makan, lupa istirahat. Sekarang, saya dapat beristirahat selepas saya merapikan rumah dan mengurus anak dan suami.”
Namun apalah daya, jawaban itu tidak akan bisa diterima oleh kaum yang berharap bisa bekerja di luar rumah dan melihat bahwa perempuan yang bekerja itu lebih keren sehingga sangat menyayangkan jika harus berhenti kerja, terlebih jika sudah mendapatkan penghasilan yang dianggap mampu menopang finansial keluarga.
Bekerja adalah tugas suami
Bagi saya yang sudah merasakan hiruk pikuknya bekerja sebagai leader yang jauh lebih banyak berbenturan dengan berbagai karakter teman sepekerjaan, dengan atasan, dengan semuanya yang berhubungan dengan pekerjaan dan tanggung jawab, membuat saya merasakan lelah yang teramat lelah.
Bagi seorang perempuan yang lebih didominasi dengan rasa, membuat mengambil keputusan itu sesuatu hal yang harus dipikir panjang dan matang tentang sebab akibat dan segala konsekwensinya. Meskipun sudah mencoba untuk leboh tegas dan mengambil keputusan dengan cepat, tidak jarang sesama perempuan malah menganggapnya ini sadis dan terlalu menekan.
Benar kata Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin itu memang hanya laki-laki. Bertempur dan bersaing di dunia kerja itu perlu fisik dan mental yang kuat. Harus struggle dan tahan banting.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 34 yang aartinya, “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Jadi sebenarnya cukup mereka kaum laki-laki yang menjadi pejuang untu keluarganya. Tugas perempuan hanya taat dan bersyukur.
Tempat terbaik perempuan adalah di rumahnya
Benar memang kata Islam. Tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumahnya. Allah telah berfirman dalam Al-Quran surah Al-Ahzab ayat 33 yang artinya, “… Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Saya sekarang lebih memilih untuk duduk diam di rumah tanpa harus repot kerudungan, kecuali kalau mau keluar rumah, ke warung, menyiram tanaman di teras terbuka dan lain sebaginya. Saya tidak perlu lagi memadu padan pakaian, seragam kerja, kerudung, sepatu apalagi tas kerja. Semuanya sudah saya kemas rapi dan sebagian malah sudah entah kemana.
Yang jelas, kenyamanan itu sangat terasa ketika saya berada di rumah dengan siklus yang memang hanya itu-itu saja. Dibandingkan dengan ketika berada di luar rumah dengan tanpa disadari mungkin bahaya selalu mengintai saya dan semua kaum perempuan lainnya.
Bangun pagi, masak sarapan, beres-beres rumah, ibadah wajib dan sunnah. Selebihnya saya nonton televisi dan main game di gadget sambil menunggu anak dan suami pulang. Tidak ada terik mata hari, dan yang pasti, tidak ada rapat, tidak ada debat, tidak ada deadline. Tidak ada.
Akhrinya jawaban paling tepat untuk menjawab seluruh pertanyaan tentang mengapa berhenti bekerja adalah ada pada pemahaman tentang posisi dan tugas perempuan itu sendiri. Tanpa harus saya sampaikan lagi pada rekan-rekan sesama perempuan yanng masih bertanya mengapa dan bilang, “sayang lho padahal”, saya kini lebih memegang prinsip bahwa memang Islam begitu santun melindungi perempuan dengan sangat aman.
Bagaimana dengan kondisi ekonomi yang menuntut perempuan membantu suami mencari nafkah? Mari buka mata selebar-lebarnya. Nyatanta selalu ada opsi untuk mengambil peran dalam perekonomian keluarga.
Kalaupun memang terpaksa harus bekerja dan menghasilkan uang, maka pilihlah pekerjaan yang tidak mengharuskan kita banyak meninggalkan rumah. Menulis, berjualan, mengajar private, atau apapun yang memiliki risiko benturan mental dan fitnah dunia lebih sedikit, daripada harus menjadi perempuan yang bekerja dan meninggalkan rumah lebih lama setiap harinya.
Jika kemampuan itu belum terlatih, maka jadilah perempuan yang bersabar. Ajari anak dan keluarga kita untuk menurunkan standar kesejahteraan. Hiduplah sederhana dan syukuri apa yang telah suami kita bawa dari jerih payahnya sebagai rejeki dari Allah Swt.
Jangan lupa untuk memperbanyak doa untuk suami agar Allah selalu memudahkan perjuangannya dalam mencari penghidupan yang layah serta berkah.
Ya udah sih. Tempat memang tempat terbaik seorang perempuan itu di rumah saja.
Wallahualam bisowwab.