Sekotak nasi catering tiba di meja. Terlalu awal rasanya tiba. Jam makan siang masih cukup jauh.
“Khawatir terlambat, nanti anak-anak menunggu terlalu lama. Jadi biarlah datang lebih awal ya, Bu,” ujar petugas catering sambil berlalu untuk meletakkan ratusan kotak lain di tempatnya.
Aku sedang mengerjakan tugasku di meja kerja ketika atasanku mengirimkan pesan.
“Kapan mau ke sini, saya tunggu ya,” katanya.
Perempuan penuh wibawa yang baru beberapa pekan menjadi atasanku itu rupanya menunggu anak buah barunya segera menghadap.
“Mohon maaf, Ibu. Sebentar lagi saya ke sana. Saya masih menunggu Pak Bowo, untuk tanda tangan berkasnya,” jawabku.
Dengan penuh kegelisahan aku menunggu Pak Bowo untuk tanda tangan berkas. Tanpa tanda tangan Pak Bowo dokumen yang aku selesaikan tidak sah. Begitu kira-kira.
Tidak lama kemudian pak Bowo datang, dokumen pun selesai dan aku bersiap pergi menghadap Ibu Tiwi atasan baruku.
“Din, aku pamit pergi dulu,” kataku pada Dinda teman kerjaku sesaat setelah pak Bowo beranjak dari ruangan.
Dinda mengacungkan dua jempolnya sebagai ungkapan dukungan penuh padaku, “Semangat ya, semoga lancar!” katanya.
Aku mengangguk sambil menyambar tas yang kuletakan di meja kerja.
Dengan bergegas aku menuju parkiran. Pusing di kepala sisa demam kemarin tidak lagi kurasa, yang penting bagaimana caranya aku segera memenuhi panggilan bu Tiwi.
Motor kupacu, sampai lah di sebuah rumah megah bak istana. Ibu Tiwi menyambutku dengan sangat ramah.
Setelah sedikit berbasa-basi akhirnya kami membahas pekerjaan secara serius. Aku menjelaskan satu per satu detail pekerjaan yang kubuat. Menyampaikan dengan bahasa yang kurasa cukup untuk bisa dipahami. Bagai seorang presenter, aku mempresentasikan hasil pekerjaan di depan bos sedemikian rupa, seolah aku sedang melakukan promosi untuk menggaet hati klien.
Sesi presentasi selesai, waktu berlalu, jam menunjukkan pukul 13:20. Perutku mulai berontak. Ini ini sudah lewat jam maka siang. Pikirku. Berpikir terlalu serius, membuat kepalaku mulai terasa pusing kembali.
“Makan dulu, silakan!” ujar bu bos. Sambil menyodorkan sekotak makanan yang dari aromanya sagat aku kenal.
Kotak itu sudah sejak tadi tersimpan di meja sebelah tempat aku duduk. Seorang perempuan setengah baya menyimpannya di sana atas perintah ibu bos sambil berlalu meninggalkan ruangan. Mungkin beliau pun butuh istirahat sejenak.
Aku hanya mengangguk, “terima kasih, Bu. Saya tidak apa-apa.”
Tanganku kembali meraih minuman kotak yang disajikan bersamaan dengan hidangan makan siang.
Kureguk dalam-dalam, sampai isinya habis tidak tersisa.
“Ya Allah, semoga air ini bisa membuatku kuat sampai aku kembali ke rumah!” Aku berbisik kepada diriku sendiri ketika mengetahui isi dalam kotak nasi itu adalah masakan Padang.
Ibu Tiwi kembali ke ruangan, “sudah makannya?” tanyanya kemudian. Pandangannya tertuju pada kotak nasi di di sebelahku.
Aku hanya bisa cengar-cengir, “he he, mau dilanjutkan sekarang, Bu?”
“Ya sudah mari lanjutkan,” ujar bu Tiwi.
Dialog berlanjut sampai sore. Pukul 16:30 berakhir ketika bu Tiwi berkata, “jam kerja saya sampai pukul 16:30. Kapan-kapan kita lanjutkan.”
Aku mengangguk patuh dan bersiap untuk pulang.
Banyak sekali masukan dan pengalaman baru bekerja di hari pertama dengan Ibu Tiwi.
Motor melaju dengan kecepatan sedang. Kepalaku dipenuhi dengan hal-hal yang berhubungan dengan perbincangan sepanjang siang dengan atasan baru.
Dari mulai tekad untuk bekerja lebih giat sampai kepada perasaan bahagia karena ternyata atasanku adalah orang yang begitu baik.
“Aku tidak boleh mengecewakannya,” kataku. Kalimat itu ku ucapkan berkali-kali pada diriku sendiri.
Beberapa KM beranjak dari rumah ibu bos, tiba-tiba tubuhku terasa begitu ringan. Kunang-kunang berterbangan di depan mata. Dunia tiba-tiba menjadi gelap. Tubuhku ambruk ke sebelah kanan, aku hilang keseimbangan.
Orang-orang berkerumun memberikan pertolongan, badanku tertimpa motor.
“Neng gak kenapa-kenapa?” Sayup-sayup kudengar beberapa orang bertanya tentang keadaanku.
“Duh, untung jalan tidak terlalu ramai. Ada-ada saja,” ucap yang lainnya.
Aku dibopong ke pinggir jalan. Satu orang bapak-bapak memberikan aku minum. Pandangan yang kabur mulai pulih kembali.
“Terima kasih, Pak. Terima kasih semuanya,” ucapku berterima kasih.
“Apa yang dirasakan, Neng? Lagi sakit ya?” Ibu-ibu setengah baya mencari keterangan.
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk, “agak pusing dikit aja, Bu,” jawabku.
Pikiranku melayang tertuju pada sekotak nasi padang yang tadi disajikan bu Tiwi. Tidak sedikitpun ku sentuh karena perutku tidak akan bersahabat dengannya.
Daripada aku mengeluh sakit perut dan muntah di rumah ibu bos, lebih baik tidak kumakan sama sekali.
Nyatanya aku lemas karena terlambat makan siang, sampai harus terjatuh di jalanan datar dan tenang seperti ini.
Ah, malunya aku.
*Terinspirasi dari kisah nyata yang dialami seorang teman baik.
+ There are no comments
Add yours