Sekolah yang baik adalah sekolah yang siap mendidik, bukan yang nakal dikit langsung DO. Sebab, sekolah yang bermutu yakni sekolah yang mampu membuat lulusannya memilik kualitas yang jauh lebih baik, dibandingkan ketika pertama kali mendaftar.
Mengelola sebuah sekolah dan membuat sistem pendidikan ideal bukanlah hal yang mudah. Perlu kerja keras dan tenaga ekstra.
Dari mulai merintis, menentukan visi misi yang terukur, sampai melakukan seleksi tenaga pengajar yang bisa betul-betul mampu mendidik. Tenaga pengajar bukan hanya harus pintar menjelaskan materi, kompeten dan sesuai kualifikasi. Akan tetapi harus cakap dalam bersikap sehingga pantas menyandang gelar “guru”.
Menjadi guru bukan hanya menemani anak-anak belajar sampai bisa melakukan sesuatu/memahami materi tertentu. Guru pun harus mampu membimbing, memotivasi, memberi dorongan dan menjadi teladan untuk peserta didik dalam bersikap. Sehingga output yang tercipta bukan hanya peserta didik yang cerdas secara kognitif melainkan harus memiliki sikap dan etika sebagai seorang yang terpelajar.
Dewasa ini, tidak jarang sekolah yang mengaku sekolah terbaik. Memiliki kurikulum yang sempurna, serta lulusan yang mampu bersaing. Akan tetapi tidak siap mendidik siswa/siswinya. Nakal sedikit langsung di-skors, terlambat memahami materi langsung dicap bodoh seakan menghambat proses KBM. Melanggar aturan dianggap sebagai ancaman besar lalu langsung kena DO.
Banyak sekolah yang begitu egois memertahankan reputasi sekolah. Begitu takut memiliki siswa nakal. Alih-alih berusaha keras untuk mendidik dan membuat siswa/siswinya lebih baik, mereka malah mengeluarkan anak tersebut dan membiarkan mereka terkatung-katung. Orangtuanya bingung karena harus mencari sekolah baru.
Padahal, orangtua menitipkan anak bersekolah adalah untuk mendapatkan pendidikan terbaik di sekolah yang katanya sekolah unggulan. Lantas apa peran sekolah jika masih membebankan tugas pengajaran kepada orangtua seluruhnya? Sejatinya sekolah dan orangtua menjadi partner dalam mendidik para penerus bangsa.
Ketika ada yang janggal pada sikap anak, maka orangtua dan sekolah selaiknya saling mengkomunikasikan kasus yang terjadi agar dapat didiskusikan jalan keluar yang terbaik. Kesalahan apa yang sudah diperbuat? Berapa kali anak melanggar peraturan? Sampai kepada konsekuensi yang akan didapatkan, semua terkomunikasikan dengan baik kepada para orangtua/wali.
Jika memang kesalahan yang diperbuat dan konsekuensi yang diberikan telah sesuai dengan SOP, maka tidak lagi ada yang bisa menyangkal bahwa sekolah memang berhak mengambil kebijakan; seorang anak bisa di-skors atau di-DO jika kesalahan yang dilakukan telah begitu fatal, membahayakan dan merugikan banyak pihak.
Namun, jika kenakalan yang terjadi masih bisa dikategorikan kenakalan wajar sebagai pelajar, maka sebaiknya sekolah tidak lantas terburu-buru mengeluarkan siswa/siswinya. Memberikan hukuman yang mendidik adalah cara mendidik yang lebih tepat untuk membuat anak-anak berpikir dan mau memerbaiki kesalahan.
Satu yang harus diingat oleh para pendidik adalah, bahwa anak-anak memiliki proses dan fase tumbuh kembang yang tentunya memiliki gejolak emosi yang berbeda di setiap masanya. Selain karena pendidik sudah lebih dewasa daripada peserta didiknya, seharusnya mereka paham betul psikologi perkembangan anak dan remaja yang sudah dipelajari di bangku kuliah sebelum terjun ke dunia pendidikan.
Sehingga tidak serta merta langsung menyalahkan anak dan menuntut anak harus menjadi orang yang sempurna tanpa melakukan kekeliruan. Justru tugas pendidik lah membimbing dan membantu meluruskan sikap mereka.
Karena membuat anak belajar dari kesalahan, bukanlah dengan cara memberi perlakuan yang membuat dia jera tanpa mengerti apa-apa. Namun harus sampai timbul kesadaran mengapa tidak boleh melakukan hal tersebut, apa akibatnya, sampai kepada bagaimana ia memerbaiki diri dan memertanggungjawabkaan kesalahan yang telah diperbuat.
Mengeluarkan siswa terlalu terburu-buru hanya akan membebani siswa di sekolahnya yang baru. Tidak jarang siswa pindahan akan “diselidiki” oleh para guru, wali kelas, dan teman-temannya. Dianggap sebagai pelaku penyimpangan, anak nakal, bahkan sampai ditandai dan diawasi gerak-geriknya. Bukan hal yang mudah untuk kembali beradaptasi di lingkungan baru untuk seorang anak pindahan karena sebuah kasus kenakalan.
Beruntung jika anak yang dikeluarkan dan pindah ke sekolah baru mampu bertahan dan cepat beradaptasi. Jika misal mentalnya kena, malah jadi enggan sekolah, maka siapa yang dapat disalahkan jika di negeri kita tercinta ini semakin banyak anak-anak gelandangan yang memiliki karakter yang tidak menyenangkan?
Jika semua sekolah memiliki kesadaran bahwa output harus jauh lebih baik dari input, maka tidak ada lagi sekolah yang terburu-buru mencap siswa sebagai anak bodoh, anak nakal dan berandal.
Karena sejatinya sekolah yang baik adalah sekolah yang siap menjadikan siswa/siswinya pintar dan berakhlak mulia. Bukan yang hanya mau mewadahi siswa pintar dengan cara tes seleksi sejak awal.
+ There are no comments
Add yours