Mudik tanpa utang lebaran indah dan tentunya akan terasa lebih berkah. Momentum lebaran merupakan momen yang ditunggu banyak umat Islam di Indonesia. Hari raya yang sangat identik dengan tradisi mudik ini menjadi kesempatan besar untuk pulang ke kampung halaman, saling mengunjungi dan bersilaturahmi.
Namun sayangnya banyak orang yang masih salah kaprah soal lebaran. Banyak yang mengartikan bahwa lebaran harus serba baru. Tidak sedikit orang yang memaknai lebaran dengan kaharusan banyaknya hidangan. Beragam masakan disiapkan, kudapan pun memenuhi meja tamu sebagai jamuan jika ada tetangga atau saudara datang bertandang.
Soal pakaian, jangan ditanya. Sudah barang tentu, harus serba baru. Dari mulai sepatu, baju, celana, tas tenteng, gamis dan koko, mukena baru, sampai dengan semua aksesoris harus serba baru. Level lebih tingginya, kendaraan pun harus lebih mentereng dari sebelumnya.
Jika memang semua itu dibeli dengan “uang dingin” alias uang sendiri tanpa harus meminjam sana sini tidak ada salahnya. Semua orang sangat berhak merayakan hari Raya yang hanya datang satu kali dalam satu tahun ini dengan caranya masing-masing. Namun bagaimana jika semua itu terlalu dipaksakan sehingga lebih besar pasak daripada tiang?
Mari kita tanya hati nurani, apakah semua itu memang kebutuhan atau mengejar gengsi semata?
Baju baru dengan harga mahal, kendaraan baru dengan harga yang fantastis, renovasi rumah dengan biaya yang tidak sedikit, tentengan oleh-oleh ke kampung halaman yang tidak mau terlihat murahan. Isi amplop “angpau lebaran” dengan uang baru minimal berwarna biru. Merasa malu jika tidak memberikan apa-apa kepada sanak saudara.
Di sisi lain, ada kesalahan pula soal tanggapan masyarakat terutama di pedesaan. Ketika perantau pulang ke kampung halaman itu identik dengan membawa kekayaan. Orang yang datang dari kota dianggap telah sepenuhnya sukses di perantauan. Pulang membawa banyak uang dan oleh-oleh istimewa. Padahal siapa sangka di rantau orang tersebut malah masih hidup pas-pasan?
Di kampung, banyak saudara yang bilang, “minta uang dong, masa gak bisa ngasih icip uang dari kota?” “Itu ponakan masa gak dibelikan baju baru buat lebaran?” “Minjem dong, gak punya buat beli koko anak lanang tuh,” dan kalimat lain yang sering didengar ketika pulang. Akhirnya, karena malu segera merogoh saku celana dan mengeluarkan lembaran biru atau merah dari dompet yang semakin tipis
Alhasil, banyak orang yang memaksakan diri untuk menjadi lebih “terlihat sejahtera” sampai ia rela berutang dengan alasan, bisa dilunasi belakangan yang penting lebaran daman dan merasa senang. Meminjam sana sini demi menyelamatkan diri dari pandangan miring orang-orang. Demi bisa beli kendaraan, berpenampilan keren bak sultan ketika pulang ke kampung halaman. Tanpa disadari, kita sudah memupuk masalah dan menggali kubur sendiri.
Bicara soal utang, ini bukan soal kemampuan seseorang untuk melunasinya. Banyak orang yang jumawa, merasa mampu melunasi pinjaman. Dengan rasa percaya diri ia menghitung ala matematika manusia lalu berkata, “ah, paling sekian juta per bulan saja.”
Tanpa sadar yang menjamin kekekalan hanyalah Allah SWT semata. Bisa jadi sekarang masih bekerja, esok lusa sudah tidak lagi di sana. Bisa jadi sekarang masih bisa mencari penghidupan, punya gaji tetap dan tunjangan bulanan, esok lusa Allah berikan takdir lain.
Bisa jadi, sekarang masih sehat wal afiyat dalam mencari penghasilan, esok lusa siapa yang bisa menjamin kita masih bisa berangkat kerja.
Selain alasan di atas, alasan-alasan di bawah ini mungkin bisa memotivasi kita untuk menahan diri agar tidak terbiasa berutang apalagi menempuh jalan riba.
- Allah memerangi pelaku riba
Dalam Alquran banyak ayat yang membahas tentang larangan riba. Bahkan Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang pada para pelaku riba. Seperti dalam Surah Al Baqarah ayat 278-280. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
- Jiwa orang yang berutang terkatung-katung sampai ia melunasinya.
Sebuah hadis menyatakan bahwa jiwa orang yang memiliki utang itu terkatung-katung sebelum utangnya terlunasi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam beliau bersabda : Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utang dilunasi.[1]
Sebagai orang yang baik, tentu kita tidak ingin membebani keturunan kita untuk melunasi utang-utang yang kita ciptakan ketika hidup bukan? Maka alangkah baiknya untuk menghindari utang sebisa mungkin.
- Utang menyita harta dan menguras tenaga
Orang-orang yang memiliki utang hidupnya tidak sepenuhnya tenang. Setiap bulan memikirkan bagaimana caranya untuk segera menyelesaikan utang-utangnya. Belum lagi, kebutuhan pokok sama mendesaknya. Ketika gajian, maka kembali harus mengubur mimpi untuk membeli sesuatu yang memang benar-benar diperlukan. Tidak jarang yang sudah biasa berutang, menutupi utangnya dengan kembali berutang.
Mereka berkerja keras sepanjang hidup hanya untuk mengejar setoran, menutupi utang-utang, tanpa bisa beristirahat dengan tenang. Tidur tidak nyenyak, makan pun kurang nikmat dan enak.
- Utang tidak selalu menyelesaikan masalah melainkan hanya menambah masalah
Ketika terdesak kebutuhan dan uang tidak ada, maka berutang adalah sesuatu yang bisa dianggap solusi paling jitu. Namun nyatanya berutang bukanlah solusi yang tepat, karena setelah satu masalah terselesaikan justru datang masalah baru yang bisa jadi lebih banyak lagi. Masalah tagihan, target pelunasan yang mendesak, pertengkaran dengan orang pemberi hutang, bahkan berakibat pada denda dan sita.
Dalam alquran Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS Ali Imran 130)
Ayat tersebut menegaskan bahwa hanya dengan bertakwa kepada Allah seseorang akan mendapatkan keuntungan. Bukan malah menempuh cara riba.
Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada seorang pun yang memperbanyak harta dari riba, kecuali urusannya akan berujung pada kemiskinan.” [HR. Ibn Majah dan dinilai shahih oleh al-Albani]
Masalah yang ditimbulkan dari utang piutang memang tidak bisa selesai dengan waktu singkat. Maka dari itu, bersabarlah agar tidak menjadi latah ingin membeli barang atau apapun jika kita memang tidak ada uang untuk membelinya. Berdoalah kepada Allah karena Dia lah sebaik-baiknya penolong. Jika kita bertakwa dan terus berdoa maka Allah akan senantiasa memberikan yang terbaik untuk kita.
- Kewajiban melunasi utang adalah penghalang untuk bersedekah.
Karena sepanjang hidup bekerja untuk melunasi utang-utang, maka jatah harta untuk bersedekah menjadi sangat terbatas, bahkan mungkin tidak ada sama sekali karena berebut dengan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi sehari-hari.
Berbeda dengan orang yang memiliki prinsip nabung dulu baru beli dan tidak terjerat utang yang terus mengejar meminta dilunasi, maka ia akan memiliki keleluasaan untuk mengelola hartanya sendiri. Ia akan tahu, berapa rupiah untuk ditabungkan dalam rangka mewujudkan mimpi, dan berapa banyak hartanya yang akan ia sedekahkan untuk berbagi bagi orang-orang terkasih yang memang memiliki hak untuk diberi.
Dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 276 Allah berfirman, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
Sedekah jauh lebih menyuburkan harta jauh lebih baik daripada harta-harta yang dihadirkan dari hasil pinjam meminjam apalagi dengan cara riba.
Mari sama-sama bersabar dan berdoa kepada Allah swt. Tidak perlu terlalu memaksakan diri. Tetaplah menjadi diri sendiri, jika memang tidak mampu untuk mempertinggi kekayaan, maka teruslah bersabar, berdoa dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Mudik tanpa utang, lebaran indah sudah pasti jauh lebih berkah. Semoga bermanfaat.
[1] https://almanhaj.or.id/12084-ruh-seorang-mukmin-terkatung-katung-tertahan-pada-utangnya-hingga-dilunasi.html
+ There are no comments
Add yours