“Ketika Ayah sudah pensiun, ayah mungkin akan fokus mengurusi adik-adikmu yang masih kecil, Neng,” ujar ayahku di sela obrolan kami sore itu.
Ayahku seorang ASN, tepatnya seorang kepala sekolah. Bulan ini ayah selesai masa kerjanya dan resmi sebagai seorang purna bakti, lebih dikenal dengan sebutan pensiunan.
Wajah ayahku masih sangat segar, tidak terlihat seperti seorang bapak tua pensiunan. Mimik mukanya selalu ceria, walau lain waktu ayahku memasang muka yang terlampau serius. Menurutku, itu yang menyebabkan ayah menjadi orang yang disegani, bukan ditakuti. Karena ayah tetap ramah, Humble, tapi bisa tetap tegas dan bersikap adil.
Ayah adalah tempatku mengadu banyak hal. Soal sekolah, soal cara bersikap kepada teman saat menemui jalan buntu menyelesaikan persoaalan persahabatan, soal …., pokoknya semuanya, kecuali soal asmara.
Soal pekerjaan, apalagi. Kadang, kalai sudah mentok nyari cara, membuat sebuah keputusan di lembaga saja masih harus tanya ayah.
Bagiku, ayah adalah sosok kepala sekolah yang hebat. Bagi ayah, ketika sebuah tanggung jawab sudah terlanjur menempel di pundak, maka seberat apapun akan dijalani sekuat tenaga dan pikiran.
Pernah bahkan, ayah mendapatkan tugas memimpin sekolah di pelosok. Akses menuju lokasi saja terjal. Jalan belum tersentuh perbaikan. Jika hujan, jangan harap bisa selamat membawa kendaraan sampai di halaman sekolah. Batu-batu kali yang besar berbentuk bongkahan tajam, bercampur tanah merah yang jika tersiram air hujan berubah menjadi arena of road.
Namun ayah tidak pernah mengeluh. Semua dijalaninya dengan penuh tanggung jawab.
Perihal mengajar, ayah tidak bisa membiarkan kelas kosong. Jika ada guru yang berhalangan hadir, maka ayah lah yang akan mengajar anak-anak di kelas. Masalah mengajar, ayah juga sosok guru yang hebat dalam menjelaskan. Dulu, saya adalah salah satu muridnya ketika duduk di kelas 6 sekolah dasar.
“Ayah sudah pamit kepada teman-teman di kantor UPTD,” kata ayah beberapa hari sebelum tanggal akhir jabatan. Lantas ayah bercerita tentang kesedihan kawan-kawannya yang merasa akan sangat kehilangan partner kerja, kehilangan teman seprofesi.
Kami sebagai anak-anaknya sempat merasa khawatir, jika Ayah akan mengalami post power sindrom setelah pensiun nanti. Karena, selama kerja, tidak ada satupun sikap ayah yang menandakan bahwa ia akan berhenti bekerja. Tidak ada jadwal rutinitas yang mendadak lambat atau terbengkalai. Pergi masih tepat waktu. Sarapan masih di jam yang sama, semangat masih sama seperti biasa.
Sampai pada akhirnya masa kerja ayah benar-benar berakhir, ayah berkata, “Alhamdulillah berakhir sudah. Doakan ayah, semoga selalu sehat.”
Kami pun menyampaikan ucapan doa-doa dan penyemangat untuk ayah.
Lalu, “besok-besok ayah akan simpan kunci motor, dan sepatu di tempat yang tersembunyi, biar ayah tidak lupa. Khawatir mendadak berangkat kerja.”
Sontak semua pun tertawa mendengar candaan ayah.
“Tapi kebiasaan sarapannya tidak boleh berubah ya, Yah… Tetap jaga pola makan,” pesanku.
Ayah tersenyum, “tenang… Kan masih bisa sarapan bareng sama adikmu yang mau berangkat sekolah, Neng…”
Ketika ayah sudah pensiun di hari kesebelas, saya mendapat kabar dari ibu, bahwa ayah masih tetap sibuk.
“Masih sibuk membuat SKP,” kata ibu.
Semoga sehat terus ya, Ayah.
+ There are no comments
Add yours