Aku punya ibu, tetapi tidak. Terlahir dari rahimnya, tidak membuatku merasakan kasih sayang penuh darinya.
Aku tidak bisa mengingat jelas, apakah ketika aku kecil ibu meninabobokanku seperti ibu lain kepada anaknya. Yang aku tahu, ketika aku duduk di usia sekolah dasar, hanya ada nenek yang mejagaiku. Ayah juga sudah tinggal di tempat berbeda sejak pisah sama ibu, aku lupa sejak berapa tahun lalu. Aku tinggal bersama nenek dari ibu karena ayah tidak bisa membawa dan merawatku karena nenek dari ayah sudah tiada. Tentunya ayah juga harus mencari uang untuk aku.
Setiap aku butuh apapun, hanya ayah yang bisa aku hubungi. Sepatu rusak aku telefon ayah. Habis uang jajan aku telefon ayah. Lagi di luar kehabisan ongkos aku minta ayah transfer uang. Aku mau main sama teman, tidak pernah lupa untuk bilang dan minta izin sama ayah. Ayah segalanya bagiku.
Walaupun hanya sepekan sekali kami bertemu, ayah adalah seseorang yang tidak pernah melewatkan satupun permintaanku.
Dan lihatlah! Malam ini dia masih di sini untuk membantuku menyiapkan segala keperluan masa orientasi di SMA. Ya, aku baru saja masuk SMA, dan aku gagal membuat ayah bangga untuk masuk ke sekolah negeri. Lagi-lagi aku harus membebani ayah dengan biaya tinggi karena sekolah di lembaga swasta.
Sore tadi, ayah berkeliling berjam-jam. Mencari benda misteri yang menjadi tugasku besok hari. Aku hanya bisa diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Rasanya kesal jug asama panitia yang terdiri dari kakak kelas. Bikin tugas kok aneh-aneh.
Aku sadar, seharusnya akulah yang menyiapkan makan dan minum ayah sepulang kerja. Namun aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku nyaris tidak pernah melihat ibu melakukannya. Sama nenek? Aku juga tidak pernah diajarkan memasak. Aku hanya dipanggil ke ruang makan untuk menikmati hidangan yang sudah siap. Kadang, sudah nenek masukkan ke piring semuanya. Seperti jajan makan di warteg.
Seharusnya, akulah yang memijat bahu, lengan dan kakinya yang pasti terasa lelah setelah bekerja. Akulah yang seharusnya mengambilkan air minum dan mencucikan bajunya sebagai baktiku kepadanya. Terlebih aku adalah anak perempuan. Aku pernah dengar dari orang-orang, seusiaku harus sudah cekatan mengurusi semua urusan rumah.
Ya, aku punya ayah, tetapi dia adalah sekaligus ibu bagiku. Ayah yang berjuang mengurus semua keperluan dan selalu ada setiap aku butuhkan.
Ibu? Aku sendiri tidak tahu. Kamarnya saja ada di lantai dua. Namun aku jarang sekali melihatnya berada di sana. Ibu selalu sibuk bepergian. Entah kemana dan mencari apa. Yang aku tahu, ia selalu berganti teman jalan. Ibu bilang, itu caranya mencari pengganti ayah untuk aku. Padahal selamanya ayahku cuma satu yang kini selalu berhasil menjadi ibu bagiku.
Aku memandangi wajah ayah lamat-lamat. Keningnya basah dengan keringat. Tubuhnya yang jangkung semakin kurus. Ayah sudah semakin berumur. Garis wajah tuanya semakin terlihat jelas. Aku mulai khawatir, apa yang akan terjadi jika suatu hari nanti ayah sudah tiada. Siapa lagi yang aku cari saat aku butuh seseorang yang melindungi?
Dalam hatiku bertanya, apakah aku bisa membalas semua kebaikan ayah kepadaku selama ini? Apakah aku bisa membuatnya bangga?
Malam meninggi, ayah masih menggunting kertas mebuatkanku sebuah topeng yang harus dipakai besok ke sekolah. Sekali lagi, rasanya aku ingin sekali mengutuk orang yang tega memberikan tugas yang aneh-aneh. Lihatlah, ayahku jadi repot kan?
Maaf ya, Ayah. Aku belum bisa mandiri.
**
Ayah sudah pulang. Aku masuk kamar setelah sesaat berpelukan melepas ayah pulang. Tidak lupa ayah mengecup keningku sebelum akhirnya ia pergi tadi. Sebelum pergi tidur aku menyiapkan beberapa perlengkapan lain dan memasukkannya ke dalam tas. Aku harus cepat terlelap, agar besok aku tidak bangun kesiangan. Jarak ke sekolah cukup jauh, angkutan umum suka banyak ngetemnya. Aku tidak boleh terlambat.
Mataku sudah terasa berat. Ini pukul sepuluh malam. Baru saja aku akan naik ke tempat tidur, terdengar suara keributan di depan rumah. Aku bergegas keluar kamar. Kulihat nenek sedang mengintip dari balik kain gorden jendela rumah kami.
“Ada apa, Nek?” tanyaku kepada nenek.
Nenek tidak menjawab, malah memberikan kode dengan jari telunjukknya agar aku diam. Llau nenek mengintip lagi dari balik kain. Aku merasa penasaran, ikut mengintip dengan sangat hati-hati.
Aku melihat jelas dua orang yang sedang bertengkar di pinggir jalan depan rumah kami. sekitar sepuluh meter dari tempat aku dan nenek mengintip. Laki-laki dan perempuan itu bertengkar saling meneriaki. Aku dengar suaranya mirip sekali dengan ibu. Akhirnya aku tahu bahwa itu memang ibu, karena bajunya pun baju yang sama dengan baju ibu.
Sang lelaki marah besar, dan meneriaki ibu dengan sumpah serapah.
“Kamu selingkuh lagi. Dasar perempuan kurang ajar!” ucapnya dengan suara yang menakutkan. Aku yakin pasti para tetangga sekitar rumah kami pun mendengar jelas pertengkaran mereka.
Aku menatap wajah nenek, mencari jawaban, apa yang seharusnya kami lakukan? Nenek malah menunduk, menutup kain gordeng lalu duduk di kursi sambil menyeka air matanya yang berlinang. Nenek memberikan kode, agar aku pun ikut duduk. Tidak perlu ikut campur.
Aku menurut. Duduk di sebelah nenek dan membenamkan kepalaku di pangkuannya. Nenek mengelus rambutku sambil berkata, “jangan kamu tiru tabiat ibumu. Kasian ayahmu yang sudah bersisah payah menghidupimu dengan kerja kerasnya,” ujar nenek.
Aku memangguk. Tidak terasa air matakupun meluncur dari sarangngna membuat baju nenek basah.
“Besok sekolah, tidurlah!” perintah nenek yang wajahnya bertambah murung.
Aku patuh dan meninggalkan nenek sendirian di ruang tengah. Suara bertengkar masih terdengar, dan sesaat sebelum aku menutup pintu kamar, ibu masuk membanting pintu dan langsung berlari ke kamarnya di lantai dua, tanpa memedulikan nenek yang duduk di kursi.
Aku berlari ke arah nenek, bermaksud menenangkan nenek. Namun tiba-tiba tubuhku ditubruk seseorang. Lelaki berbadan tinggi besar menggunakan jaket itu tiba-tiba masuk ke rumah tanpa permisi.
“Mana Leni?” tanyanya dengan suara yang keras.
Aku hanya bisa diam, nenek pun sangat terkeju karena lelaki ini masih asing. Bukan seseorang yang terakhir aku dibawa ibu ke rumah ini.
“Anak ini siapa?” tanya nenek dengan suara lembut dan sangat hati-hati.
“Bima. Saya Bima. Saya mencari Leni,” jawabnya dengan napas memburu seperti tidak sabar ingin segera menemukan ibuku.
“Ada perlu apa sama anak saya?” tanya nenek lagi.
“Oh, Anda ibunya?” tanya lelaki itu dengan suara yang lebih keras. “Suruh perempuan keparat itu ke sini menemuiku!” perintah Bima.
Nenek masih berusaha tenang dan sekali lagi bertanya, “Nak Bima ada perlu apa?” katanya sekali lagi. Mataku melihat ke arah atas, mencari keberadaan ibu. Mungkin dia sedang bersembunyi dengan rasa takutnya di dalam kamar.
“Bu, dengar ya! Anakmu telah menggelapkan uang hasil dari penjualan toko baju milik saya di Jakarta sebesar lima puluh juta. Saya ditipu. Awalnya saya baik, menerima dia sebagai pacar saya dan membiarkan dia bekerja di toko saya. Eh, uang keuntungan toko dibawa kabur dan dia malah asik pacaran sama si Burhan. Ya jelas saya tidak terima, Bu!” ujar lelaki itu dengan sangat berapi-api.
Nenek tertegun sejenak. Lelaki itu tidak sabaran, dan mendesak nenek untuk memanggilkan ibu dan mengancam akan mengobrak-abrik rumah dan menemukannya sendiri.
Nenek memberikan kode, bahwa akulah yang harus memanggil ibu ke kamarnya. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku menaiki tangga.
“Bu,” aku memanggil ibu sambil mengetuk pintu. Ibuku tidak menjawab.
Tiga kali aku mengetuk pintu dan memanggil ibu, ibu tidak juga mau keluar. Aku memberi tahu nenek dengan menengokkan kepala dari lantai atas di ujung tangga. Secepat kilat lelaki itu berlari menaiki tangga dan menggedor pintu kamar ibu dengan kasar.
Aku takut dan turun kembali menghampiri nenek. Nenek menggelengkan kepala sambil memejamkan mata. Tampak sekali kesedihan di wajahnya. Sekali lagi nenek menyuruhku masuk kamar, karena besok harus sekolah. Aku pun mematuhinya dan pergi ke kamar, mengunci pintu.
**
“Ayah sudah di rumah.”
Sebuah pesan dari ayah, memberikan kabar bahwa ayah sudah sampai di rumahnya. langsung saja aku menekan tombol panggilan dan menelefon ayah. Aku menceritakan semua yang aku saksikan malam ini secara detai kepada ayah sambil menangis sesenggukan.
Dari seberang telefon berkali-kali ayah mencoba menghibur dan menenangkanku.
“Sabar ya, doakan ibu,” berkali-kali kalimat itu muncul dari ucapan ayah.
“Kenapa Ayah masih saja bilang begitu? Padahal ibu selalu menyakiti ayah?” tanyaku tiba-tiba.
“Biar ayah saja yang merasa sakit. Kamu harus tetap menghormatinya, apapun kesalahannya, karena dia tetap ibumu,” kata ayah.
“Tapi ibu nyebelin!” keluhku.
“Ayah bersyukur, kamu sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Jangan tiru apapun yang buruk dari ibumu, tetapi tetaplah menghormatinya,” kata ayah.
Rasanya aku ingin berhambur ke pelukannya.
“Ayah, aku mau tinggal sama ayah,” pintaku.
“Sejak dulu ayah sudah ajak, pas SMA tinggal saja sama ayah. Kamu sendiri yang ingin mengejar sekolah impianmu. Lokasinya sangat jauh jika dari rumah ayah. Ayah tidak punya lagi biaya untuk mengontrak rumah. Hasil kerja ayah separuhnya sudah ayah habiskan untuk sekolah dan tempat tinggalmu di sana,” kata ayah.
Aku menangis sesenggukan. Merasa bersalah kepada Ayah. Andai saja aku mau menurut apa yang dikatakan ayah dulu untuk pindah tinggal dengan ayah, pasti kejadiannya tidak akan begini. Ini semua salahku. Aku terlalu asik main dan mementingkan teman. Karena takut berpisah dengan teman, aku telah menolak tinggal dengan ayah demi bisa sekolah di sekolah impian. Padahal nyatanya teman-temanku pun tidak semua memilih sekolah yang sama. Aku semakin kesepian.
Ayah menutup telefon setelah berkali-kali menyuruhku tidur. Suara cekcok mulut di lantai atas belum slesai. Suaranya nyaring sangat mengganggu. Anehnya, aku tidak khawatir sama ibu. Terserah, aku sudah sangat bosan dengan semua drama percintaan yang selalu aku saksikan. Aku hanya terus mengingat ayah yang tidak pernah mengenalkan siapapun kepaku untuk dinikahinya. Bagi ayah, kini paling penting adalah aku dan hidupku. Ayah adalah ayah terbaik sekaligus ibu terbaik bagiku.
Malam ini aku menangisi penyesalan, kenapa aku memilih sekolah di sini. Sunguh aku ingin tinggal bersama ayah.
Malam makin larut. Pertengkaran belum selesai. Entah puluk berapa sampai akhirnya aku tertidur dalam tangisan.
+ There are no comments
Add yours