Pengaruh Sikap Ayah Terhadap Mentalitas Anaknya

pengaruh sikap ayah terhadap mentalitas anak

Pengaruh sikap ayah terhadap mentalitas anak sangatlah besar. Banyak ditemukan kasus pada anak dengan beragam prilaku setelah ditelusuri ternyata dipengaruhi oleh kebiasaan dan suasana yang terjadi di dalam rumahnya. Salah satunya adalah sikap ayah.

Baik buruknya sikap ayah selama di rumah entah itu terhadap ibu maupun terhadap anak-anaknya akan berpengaruh pada perkembangan mental anaknya. Baik itu mentalitas yang positif maupun yang negatif.

Namun, karena ayah adalah sosok yang hebat, maka mari kita fokus pada mentalitas positif yang ditimbulkan oleh sikap positif dan pola didikan ayah di dalam rumah tangga.

Ayah terhebat adalah ayahku. Mungkin semua orang yang memiliki ayah dan mendapatkan kasih sayang serta pendampingan yang cukup dari sang ayah akan mengatakan hal yang sama. Semua akan membanggakan ayahnya karena pendidikan yang diberikan selama ini sangat berpengaruh pada mentalnya hingga dewasa kini.

Read More

Tidak terbatas dengan usia, seorang ayah tetaplah seorang ayah walaupun anaknya sudah memiliki anak dan cucu sekalipun. Rasa sayang dan perasaan sebagai seorang anak tidak akan pernah berubah sampa kapanpun. Kecuali pada kasus-kasus tertentu pada sebagian kecil orang yang mungkin memiliki kenangan pahit bersama ayah di masa lalu. But, semoga saja tidak akan menjadikan pemutus doa bagi mereka kepada orangtua karena hubungan ayah dan anak tidak akan bisa dipangkas oleh apapun.

Ayah yang baik adalah ayah yang memberikan didikan dengan pemahaman menyeluruh tentang semua yang terbaik bagi anaknya. Bukan sayang yang salah kaprah seperti ungkapan dalam bahasa sunda “nyaah dulang“. Yaitu rasa sayang yang berlebihan. Memberikan perhatian yang penuh dengan segala rasa aman, perlindungan, menuruti semua kemauan termasuk memfasilitasi seluruh yang anak butuhkan secara instan. Apa yang anak inginkan langsung dipenuhi dan disediakan.

Kasih sayang yang demikian adalah kasih sayang yang tidak dibarengi dengan pertimbangan akibat yang lebih jauh jika anak terus dimanjakan. Padahal ketika anak terlalu dimanjakan maka anak menjadi cengeng, penakut, ketergantungan alias tidak memiliki kemandirian dan mudah tersinggung. Anak-anak cenderung selalu ingin menang dan mendapatkan semua yang diingikan.

Barisan anak manja seperti ini akan tumbuh menjadi anak mamih yang arogan tetapi memiliki mental “tukang lapor” ketika mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Mereka tidak siap dengan kekalahan dan berpotensi untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kemenangan. Meskipun kebanyakan sikap memanjakan anak dilakukan oleh sang ibu, tetapi di sinilah peran ayah yang harus lebih tegas mengambil sikap.

Kali ini, saya ingin mengajak pembaca untuk merenung sejenak. Kira-kira apa karakter kita yang dipengaruhi oleh sikap ayah kita selama ini. Atau, sikap apakah yang selama ini diambil oleh kita sebagai ayah dan orangtua kepada anak. Mari merenung, bahwa semua selalu memiliki hukum sebab akibat. Kita berada di sini pasti dipengaruhi oleh didikan sang ayah sedari kecil. Begitu juga dengan anak-anak kita kelak akan tumbuh menjadi seperti apa bergantung pada pola didikan kita saat ini.

Mengutif dari artikel halodoc tentang pentingnya peran ayah dalam perkembangan psikologis anak, setidaknya ada empat hal yang ditimbulkan sebagai akibat dari pola didik ayah yang baik. Di antaranya adalah,

  1. Memicu dan meningkatkan kepercayaan diri pada anak
  2. Menjadikan anak berperilaku yang baik
  3. Membuat anak memiliki banyak perspektif
  4. Membuat anak memiliki rasa percaya diri yang tinggi

Jika pola didikan ayah keliru, maka empat hal di atas menjadi berlaku kebalikan. Anak menjadi tidak percaya diri, berprilaku buruk, serta memandang sesuatu hanya dari sudut pandangnya sendiri. Pendapat orang lain yang tidak sepaham dengannya dianggap sebagai sebuah anacaman yang harus dijauhi bahkan dihapuskan.

Tentang pola didik ayah, pikiran saya pun berkelana ke masa usia SMP dulu. Dimana persaingan dengan sesama kawan di kelas menjadi hal yang sangat menantang. Saat itu, ketika saya meminta izin untuk ikut bimbel seperti orang lain menjelang UN, ayah melarang saya untuk mendaftar.

Pada awalnya saya sedih dan merasa bahwa ayah saya tidak sayang sesayang orangtua yang lain terhadap anaknya. Sampai pada malam hari ketika saya mengurung diri di kamar, ayah datang dan duduk di sebelahku. Ayah menjelaskan bahwa larangannya bukan karena tidak menyayangi sang anak. Namun karena ia percaya bahwa saya mampu menyelesaikan soal ujian walapun tanpa mengikuti bimbel.

Seketika kalimat ayah itu membuat saya begitu percaya diri dan merasa bersyukur dan bertekad untuk tidak bergantung pada apapun kecuali terus belajar, berdoa dan percaya terhadap kemampuan sendiri. Bahkan mulai tumbuh keyakinan bahwa saya bisa. Jika berpikir saya bisa maka akan saya tempuh jalannya agar menjadi bisa.

Begitu besarnya pengaruh kalimat sakti yang dikatakan ayah. Serta banyak lagi pola asuh ayah yang belakangan disadari bahwa itu semua semata karena rasa sayang dan keinginannya untuk menjadikan anak-anaknya menjadi manusia yang utuh dan bisa berdiri sendiri. Akhirnya semua yang ayah terapkan kepada saya sangat banyak pengaruhnya dalam kehidupan. Seseorang tumbuh karena ada teladan. Teladan terdekat adalah orangtuanya sendiri. Terutama sosok ayah yang menjadi “kepala sekolah”dalam pendidikan di dalam rumah.

Menyadari hal itu, ternyata peran ayah dalam membentuk karakter anak pun telah ditelaah oleh para psikolog. bahwa sedikitnya ada tiga hal yang penting dari ayah yang akan membentuk karakter anak. Hal tersebut adalah, 1) Menjadi role model bagi anak, 2) menjadi pelindung dan penyedia kebutuhan anak, 3) sebagai pelengkap simulasi perkembangan (meningkatkan akal, meningkatkan keyakinan, memberikan perhatian dan mengajarkan perspektif yang berbeda).

Belakangan, saya semakin paham bahwa ternyata ayah selalu memiliki cara mengajarkan anaknya. Tidak harus selalu dengan nasihat. Ayah mendongeng saat saya dan adik-adik masih kecil. Ayah menceritakan kisah kawannya, saat makan bersama. Ayah menceritakan suka duka saat ayah kecil berjuang untuk bisa sekolah bersama aki, nini, uwak dan paman dulu. Ayah pun senang bercerita tentang perjuangan ayah sebagai kepala sekolah di dua sekolah sekaligus. Hingga sekarang sudah pensiun, ayah masih memiliki power dan wibawa sebagai pendidik yang begitu hebat dan berkharisma.

Dulu saat saya sedih, saya tidak akan menunjukkannya kepada ayah. Sedangkan ayah pun tidak bertanya ada apa, kenapa dan sedih sama siapa? Ayah mengalihkan perhatian saya kepada hal lain. Ketika saya sedih maka ayah akan menceritakan banyak hal. Tentang kehidupan di kampung, perjuangan orang-orang dulu dan lain sebagainya.

Selalu ada kisah yang berkesan dan membuat saya diam-diam bergumam, “masalah saya tidak lebih berat daripada mereka yang terkena bencana.” Atau, “mereka yang hidup seadanya begitu cekatan menolong orang lain tanpa pamrih dengan hati yang riang gembira. Mereka penuh syukur dan tidak lantas memiliki batasan untuk senantiasa menolong sesama dan hidup bahagia dengan keadaan yang ditakdirkan oleh Allah SWT.”

Pengaruh sikap ayah terhadap mentalitas anak sangatlah besar. Sebagai apapun ayah kita, mari bersyukur karena kita sudah sampai di sini menjadi porang yang memiliki mental yang kuat sejauh ini. Lantas, seperti apapun anak kita mari kita belajar untuk mendidiknya dengan cara yang tepat. Semoga buah hati kita menjadi anak-anak yang bisa diandalkan di masa depan.

Semoga bermanfaat.


"Semua konten menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi RuangPena."

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *