Zein baru membuka matanya saat ponselnya berbunyi. Meski begitu, bukan dering ponsel itu yang membangunkan dia dari tidur yang singkat. Mimpi buruk telah membuatnya terjaga.
“Bang Willy tewas, ditusuk Lukas? Mana mungkin!” benak Zein.
Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Napasnya memburu. Ia masih perlu menenangkan diri.
Diliriknya jam bundar berwarna putih yang menempel di dinding kamarnya yang juga putih. Pukul 06 pagi.
Lemas, Zein terkulai lemah. Mimpi buruk itu membuatnya lelah. Belum lagi, baru saja dua jam matanya terpejam. Insomnia telah menyiksanya. Tiap malam ia hanya bisa lelap selama kurang dari tiga jam.
Keadaan diperburuk dengan sakit di kepalanya sering menjadi menjelang tengah malam. Tanpa bisa bilang kepada siapapun, ia hanya bisa menahannya sendirian.
Ponselnya kembali berdering. Diraihnya benda pipih itu dari meja yang berada di samping tempat tidurnya.
Lukas memanggil.
Diletakkannya kembali benda itu tanpa mau menjawab panggilan. Hingga berkali-kali, dering itu terus bersuara. Pertengkaran semalam membuat kecewa, malas berkata-kata, meskipun dalam hatinya masih menyimpan rasa.
Ingin sekali menyelesaikan secepatnya, agar bisa bercanda tawa lagi dengan Lukas kekasihnya. Itu pula yang memicu Lukas untuk terus menelpon Zein. Meminta maaf. Ya, Lukas ingin meminta maaf.
“Zein! Kecilkan suara ponselmu!” teriak Willy dari balik pintu. Lelaki muda itu nampaknya baru pulang dari masjid. Suara langkah kakinya terdengar berlalu ke adah tangga.
Kamar Zein berada di lantai satu, berdekatan dengan tangga menuju kamar abangnya.
“Oh, Bang Will, kamu masih hidup rupanya,” bisik Zein seraya bernapas lega.
Willy adalah sosok yang cuek. Namun soal ibadah, abangnya Zein itu selalu menjadi panutan. Terlebih sang ayah sudah meninggal. Willy adalah sosok kakak yang taat pada agama.
“Zei, sudah bangun, Nak?” suara Milla sang ibu kemudian.
“Iya, Bu. Sudah!” jawab Zein.
“Sudah solat?”
“Lagi enggak, Bu!”
“Boleh ibu masuk?”
Meski masih sangat ngantuk, Zein mempersilakan Milla memasuki kamarnya yang betul-betul berantakan.
Milla duduk di sisian ranjang anak gadisnya.
“Kamu begadang lagi ya?” tanyanya dengan lembut.
Zein mengangguk. Kepalanya terasa begitu berat. Beberapa hari tidak tidur dengan benar, membuat pusing di kepalanya tidak juga reda.
“Abang Will hari ini ngasih kuliah gak, Bu?”
“Ibu gak tahu, Zei. Tanya saja sendiri sama abangmu!” perintah ibunya yang mulai sibuk membereskan kamar yang berantakan.
“Ibu, gak perlu diberesin, Zei juga bisa nanti,” tolak Zein.
“Iya, Bu. Gak perlu dimanjakan lah. Anak perempuan semester terakhir kayak begitu sudah gak perlu dibantuin beresin kamar. Malah dia yang harus bantu ibu beresin seluruh rumah!”
Entah sejak kapan Willy berdiri di pintu kamar.
Zein beringsut mendekati ibunya.
“Bu, tuh Abang Will. Jahat ya!”
Milla tersenyum, “emang benar apa yang dikatakan abangmu, Zei. Berubah lah. Ibu membantumu begini karena ibu gak suka berantakan. Ditambah lagi, Ibu tahu kamu lelah. Insomnia mu belum sembuh juga kan?”
“Itu bukan insomnia. Zei saja yang mengundang penyakit itu sendiri. Dia yang selalu begadang untuk hal yang tidak jelas!” Suara Willy meninggi.
Berbarengan dengan itu, kembali ponselnya berdering.
Lukas memanggil.
Belum sempat Zein menjangkau ponsel itu dengan tangannya, Willy telah terlebih dahulu mengambilnya.
“Jangan bikin adik gua sakit lagi! Berhenti hubungi dia! Atau Lo bakalan tahu akibatnya!” ancam Willy. Sesaat sebelum mematikan telepon.
“Abang! Kok gitu ngomongnya?” rengek Zein.
“Sudahlah, blokir sekalian cowok kayak begitu! Abang gak suka kamu berhubungan lagi dengan Lukas cowok brengsek itu! Kalau kamu sampai melakukannya, jangan harap Abang bisa mau jadi abang kamu lagi!” bentak Willy yang kemudian meninggalkan kamar Zein dengan muka merah padam.
Milla hanya diam mengamati kejadian itu.
“Kamu tenang ya. Sana cuci muka dan sikat gigi dulu. Nanti susul ibu ke dapur!”
Zein mengangguk patuh.
**
“Will, sampai kapan kamu akan menutupi semua ini?” tanya Milla dengan suara pelan.
Dengan sangat hati-hati ia duduk di sova tepat di sebelah tempat duduk anak sulungnya.
“Apa tidak sebaiknya kamu jujur apa adanya pada adikmu. Biar dia tidak salah paham?”
“Aku tidak sanggup menceritakannya, bu. Mendengar suaranya saja aku sudah jijik!”
“Bagaimana jika Lukas sudah benar-benar berubah?” tanya Milla.
Tanpa sengaja pertanyaan itu keluar begitu saja. Ada rasa sesal yang mendalam ketika mulutnya tidak sengaja mengatakan hal itu.
“Bu, apakah ibu tidak melihat luka anakmu ini? Luka lelaki yang memilih untuk tetap menyendiri karena perbuatan lelaki itu? Meskipun dia berubah, tidak akan pernah aku mengizinkan ia mengambil adikku. Apa ibu tidak sayang sama Zein?”
“Ibu sayang sama kalian berdua. Tapi apa tidak kau lihat, Zein sangat mencintai Lukas?” suara Milla setengah berbisik. Hatinya semakin pilu.
“Persetan dengan cinta! Cinta macam apa yang tega merusak kebahagiaan dan masa depan kawannya sendiri?”
Willy beranjak dari duduknya.
“Mau kemana, Nak?” tanya Milla lirih.
“Ibu gak perlu tahu!” jawab Willy dengan langkah yang cepat.
Milla hanya geleng kepala. Tidak tahu lagi bagaimana menyikapi itu semua. Kedua anaknya terjebak dalam situasi yang membuatnya berada di posisi sulit.
Willy yang terluka karena masa lalunya, sementara Zein baru memulai kebahagiaannya dengan seseorang yang dianggap sebagai masa depannya.
“Ya Tuhan, izinkan aku memohon. Ubahlah takdir ini, agar aku tidak perlu melukai salah satu bahkan kedua anakku,” ucap Milla lirih. Air matanya mengalir membasahi pipinya yang semakin tirus.
“Mas Dannar, andai engkau masih ada. Mungkin aku tidak akan selelah ini menghadapi semuanya sendirian,” ratap Milla mengingat sosok suaminya yang sudah tiada.
***
Bersambung.
"Semua konten menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi RuangPena."