Siapa yang Lebih Pantas Kita Patuhi? Pertanyaan ini adalah pertanyaan saya ketika menemukan kebimbangan antara harus mematuhi nasihat seseorang soal sesuatu yang dianggap benar. Saya selalu berpikir dan menimbang dengan bekal ilmu yang saya miliki. Ilmu yang harus terus saya tingkatan. Ilmu yang harus senantiasa saya perdalam; ilmu agama yang benar.
Pagi ini seperti biasa rutinitas hari libur, selalu menyempatkan diri untuk baca-baca informasi sekaligus menyempatkan chat berkirim kabar dengan saudara. Ya, sebenarnya sih bukan karena hari libur juga, mendapatkan informasi terbaru sudah merupakan kebutuhan setiap hari. Walaupun kadang suka kesasar jadi nyimak cerita hidup orang yang gak perlu disimak. Jadi tahu kebiasaan orang, nonton orang goyang-goyang dengan musik yang viral, lihat video pengeroyokan, orangtua yang jahat sama anak, sampai pada kisah-kisah kehidupan para “sultan” tanah air.
Hm, kadung disimak, ya sudah jadikan pelajaran saja. Tidak untuk di-ghibahin apalagi di-nyinyirin.
Balik lagi ke inti cerita. Jadi, sejak beberapa hari ini saya punya topik yang lumayan sering terbahas dalam obrolan. Entah sama adik, sama keluarga, sepupu, rekan, bahkan secara gak sengaja nemu beranda FB, di Instagram, dll juga soal kemurnian akidah.
Bicara soal akidah, ini bukan so suci nih. Lagi terus mengingatkan diri sendiri saja sih. Ketika saya bukan seorang ahli ibadah, hal-hal yang sudah tahu kalau itu salah dan dosa, jangan lah menyengaja dilakukan. Makin kempes saja tuh tabungan pahala buat bekal ke akhirat kan?
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar (Q.S An-Nisa:48)
Banyak di antara kita, ahli ibadah. Sholatnya taat, ngajinya rajin, tapi masih percaya sama hal mistis. Ritualnya wah! Jangan ditanya, banyak bgt. Termasuk ritual puasa weton; berpuasa di hari kelahiran. Katanya biar hidup lebih berkah dan lain sebagainya.
“Hm, puasa Senin Kamis jauh lebih berkah insyaallah,” ujar saya.
“Tapi ini sudah dilakukan sama nenek moyang kita sejak dulu. Apa salahnya jika kita melakukannya?” jawab mereka.
Lalu, adikku yang lagi hamil muda bertanya, “Teh, boleh kan kalau kita gak nurut apa kata sesepuh, soal melindungi diri dari setan? Mereka kok nyuruh aku gantungin peniti dan beberapa rempah. Katanya agar gak disatroni jurig (setan dan jin) saat hamil gini.”
Nyaris ngakak, tapi saya tahan.
“Hai, yang jin dan setan takuti itu bukan peniti dan rempah-rempah. Dzikir lah, berlindung sama Allah!”
Adikku ikut tertawa. Lalu, “iya sih ya. Kalaupun mau bawa senjata, ya sekalian aja bawa samurai.”
Aku senang dengan jawabannya. Mengajarkan tauhid sejak dini kepada anak yang masih di dalam kandungan wajib hukumnya. Mengajarkan diri sendiri sih sebenarnya. Mendidik diri supaya menjadi seorang ibu yang memiliki pemahaman lurus. Dengerin kata Nabi dan agama aja deh! Bedakan mana perintah, mana ajaran budaya. Kalaupun itu sudah dilakukan turun temurun, seyogyanya akal sehat kita juga bisa tahu jawabannya. Nenek moyang kita sama Allah dan Rasul-Nya siapa yang jauh lebih dulu menetapkan aturan?
“Ah, dari dulu juga begitu. Ini kamu tahu apa? Baru ngaji bentar aja sok pinter gitu.” Ada lho yang bilang begitu.
Lalu saya jawab, “beruntung saya sempat ngaji. Jadi saya bisa tahu sesuatu yang belum sempat Anda pelajari. Mungkin yang saya temukan memang baru buat Anda. Berbeda dengan kebiasaan nenek moyang kita. Tetapi pernah gak berpikir, bahwa kita lah yang terlambat menemukan kebenaran yang sejak dulu sudah ditetapkan. Jauh sebelum nenek moyang kita dilahirkan.”
“Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)
Buka hati dan pikiran yuk…! Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita untuk terus menemukan hidayah setiap saat. Agar kita lebih pandai memilih dan memilah, siapa sebenarnya yang lebih pantas kita patuhi. Nenek moyang dan leluhur, atau Allah dan Nabi-Nya?
Semoga bermanfaat.
+ There are no comments
Add yours