Melatih kemandirian anak adalah hal yang penting dilakukan sejak dini. Hal ini tentunya sangat bermanfaat untuk anak ketika ia berada jauh dari orangtuanya.
Seorang anak tidak selamanya akan berada dekat dengan orangtuanya. Ada saatnya mereka harus lepas dari pendampingan dan perlindungan orang-orang terdekatnya.
Anak kecil usia TK yang baru masuk sekolah misalnya, akan sangat kesulitan menyesuaikan diri ketika kedua orangtuanya terlalu memanjakan dan menuruti kemauan sanga anak. Akibatnya, anak susah ditinggal, ingin ditunggui selama proses belajar/bermain di sekolah. Wal hasil, guru menjadi canggung karena ada orangtua di dalam kelas yang mengawasi anak dan aktivitasnya dalam menyampaikan pelajaran.
Bukan hanya itu, efek dari keberadaan orangtua di area sekolah hanya akan membuat sistem sekolah terganggu. Anak-anak yang sudah mulai mandiri dimungkinkan akan meminta orangtuanya hadir di sekolah juga. Seolah mengatakan, “Bundanya si A juga boleh ada di sekolah, kenapa bunda aku tidak boleh?”
Nah, agar anak lebih mandiri, sebetulnya sangat tergantung kepada perlakuan orangtuanya. Sebagus apapun sistem, pengajaran dan pembiasaan yang berlaku di sekolah, jika orangtua tidak mampu seiring sejalan dengan program, maka tujuan pendidikan tidak akan tercapai maksimal pada anak.
Banyak anak yang disekolahkan di sekolah dengan sistem yang bagus, tetapi orangtuanya masih gak tegaan. Hanya karena anak merengek sedikit, akhirnya anak dituruti kemauannya.
Padahal kunci dari pembentukan kemandirian anak ada pada sikap “tega” orangtuanya. Tega di sini bukanlah jahat. Namun dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Biarkan anak belajar dengan sendirinya.
Contoh kasus, ketika anak diharuskan menyelesaikan sebuah tugas yang diberikan guru maka biarkan anak mengerjakan tugas tersebut sendirian. Banyak orangtua yang bukan hanya membantu, tetapi menggantikan anak untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Anaknya main, ibunya repot mengerjakan PR anak.
Biarkan mereka melakukannya sendiri. Bagaimana pun hasilnya, anak akan mengeksplorasi kemampuannya sendiri. Jika dibiarkan sendirian tanpa bantuan, pada pengerjaan tugas berikutnya anak akan lebih baik lagi tanpa bantuan orangtua. Biarkan dia berekspresi.
2. Lepaskan diri dari keinginan untuk selalu membantu anak.
Banyak orangtua yang ingin anaknya selalu tampil menjadi yang terbaik. Akhirnya tangannya “gatal” selalu ingin membantu pekerjaan anak.
Contoh kasus, ketika anak sedang mengikuti lomba menggambar, orangtua membantu anak menyelesaikan tugasnya.
Anak yang selalu dibantu orangtuanya saat lomba karena ingin menang hanya akan menumbuhkan sikap ingin menghalalkan segala cara. Anak yang dibantu saat lomba/atau pertandingan cenderung tumbuh jadi anak yang ingin menang sendiri. Biarkan ia mandiri, berlomba dengan jujur dan sportif.
3. Biarkan anak menangis
Rata-rata orangtua tidak mau anaknya menangis. Entah karena kasihan, malas mendengar anak menangis atau bahkan malu karena anak menangis di depan banyak orang.
Hati-hati, kadang menangis adalah senjata anak untuk membuat orangtua menuruti kemauannya.
Ketika anak nangis karena ingin sesuatu yang tidak seharusnya, maka biarkan ia menangis. Jadilah orangtua yang tegas dan konsisten pada aturan. Jangan hanya karena anak nangis di depan umum, aturan yang sedang ditegakkan mejadi kendor.
Tenangkan anak, dan alihkan perhatiannya, bukan menuruti kemauannya.
4. Turunkan ekspektasi
Tega yang ini adalah tega melenyapkan segala keinginan kita terhadap anak. Jika kita mengharapkan hal yang lebih, maka justru kita yang tega memaksakan kehendak kepada mereka.
Turunkan ekspektasi kepada anak. Anak tidak juara, tidak apa-apa. Anak tidak bisa mengerjakan tugas-tugasnya dengan sempurna tidak apa-apa.
Bersabarlah agar mereka bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Tidak perlu terlalu banyak memaksa.
Sudah siap jadi orangtua yang “tega” membiarkan anak mandiri dan tumbuh dengan semestinya?
Mari belajar bersama.
Semoga bermanfaat.
+ There are no comments
Add yours