Beberapa tahun terakhir, kata “Toxic” begitu ramai menjadi pembicaraan di setiap sudut interaksi berbagai kalangan. Walau terkadang orang tidak begitu paham apa sebenarnya Toxic itu, tetapi kata-kata itu selalu saja dia ucapkan manakala ada seseorang di tempat gaulnya yang memberikan pengaruh negatif dalam hidupnya.
Pada mula-nya, istilah toxic atau “toksin” merujuk pada bahan atau zat yang dapat berbahaya atau merugikan bagi tubuh atau lingkungan. Apapun dalam konteks hubungannya dengan perilaku manusia, toksisitas atau “toxic” merujuk pada sifat atau pola perilaku yang merugikan, atau merusak individu, hubungan, atau lingkungan sekitarnya.
Sebenarnya, istilah “toxic” ini telah digunakan secara luas dalam berbagai konteks, termasuk dalam hubungan interpersonal, lingkungan kerja, media sosial, dan budaya populer. Toxic dalam konteks ini menggambarkan perilaku atau sikap yang secara negatif mempengaruhi orang lain, baik secara fisik maupun emosional.
Mengamati penjelasan di atas, jelas bahwa Toxic itu sesuatu yang negatif. Mengapa negatif? Sebab, Toxic adalah perilaku atau sikap yang secara merugikan mempengaruhi orang lain atau lingkungan sekitarnya dengan cara yang negatif. Bentuknya bisa pelecehan verbal atau fisik, manipulasi, intimidasi, penghinaan, sikap meremehkan, atau kekerasan. Toxic negatif menciptakan lingkungan yang beracun, mencemarkan hubungan, dan dapat memiliki dampak negatif yang signifikan pada kesejahteraan dan kesehatan mental orang yang terlibat.
Selain Toxic Negatif di atas, kita juga akan mengenal Toxic Positif. Loch kok bisa ada Toxic Positif? Bukankah semua Toxic adalah sudah jelas negatif? Mari kita baca tulisan selanjutnya, apa itu Toxic Positif.
Toxic Positif ini merujuk pada perilaku atau sikap yang secara berlebihan mendorong individu untuk selalu berada dalam suasana positif, menekan atau menolak emosi negatif, dan mengabaikan kesulitan atau tantangan yang sebenarnya ada.
Apakah Toxic Positif seperti yang dijelaskan di atas itu baik, ataukah malah berbahaya? Nah.. Ternyata, sikap seperti itu malah dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat karena individu dipaksa untuk selalu menampilkan kebahagiaan dan keberhasilan, bahkan ketika mereka sedang menghadapi kesulitan atau ketidakpuasan. Toxic positif bisa menimbulkan stres internal, penekanan emosi, dan ketidakseimbangan dalam hubungan.
Walau kultur kepribadian yang positif pada dasarnya adalah hal yang baik, tetapi ketika dijalankan dengan ekstrem atau berlebihan, maka hal itu dapat memiliki dampak negatif yang tidak terduga.
Toksin Kepositifan yang Berlebihan
Toksin kepribadian positif mengacu pada sikap atau pola pikir yang mendorong individu untuk selalu mengesampingkan atau menolak perasaan negatif dan menghadapinya dengan keceriaan, optimisme, atau kegembiraan yang berlebihan. Hal ini biasanya dilakukan dengan tujuan memelihara citra diri yang selalu bahagia dan sukses. Namun, tekanan untuk selalu positif dapat menimbulkan beberapa efek negatif.
1. Pengabaian Emosi Negatif
Ketika seseorang diperintahkan untuk selalu bahagia dan menghindari perasaan sedih, marah, atau cemas, ia mungkin mengabaikan emosi yang sebenarnya dirasakan. Penekanan ini dapat menyebabkan penumpukan emosi negatif yang tidak diungkapkan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan stres, kecemasan, atau bahkan masalah kesehatan mental.
2. Ketidakrealistisan
Kultur toksik positif juga dapat mendorong individu untuk memiliki harapan yang tidak realistis terhadap kehidupan mereka sendiri dan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan yang berkelanjutan dan perasaan rendah diri saat harapan-harapan tersebut tidak terpenuhi. Orang-orang yang terjebak dalam pola pikir ini mungkin merasa gagal atau tidak mencukupi karena mereka tidak selalu mampu mempertahankan tingkat kebahagiaan yang diharapkan.
3.Persepsi yang Salah Tentang Kebahagiaan
Budaya toksik positif juga dapat menyebabkan orang berpikir bahwa mereka harus selalu bahagia dan bahwa kebahagiaan adalah tujuan utama dalam hidup. Namun, ini mengabaikan kenyataan bahwa kehidupan manusia adalah pengalaman yang kompleks, dan bahwa emosi negatif juga merupakan bagian yang alami dan penting dalam pengalaman manusia. Memaksa diri untuk selalu bahagia dapat mengabaikan kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan mengatasi tantangan yang mungkin muncul.
Bagaimana Mengatasi Toksin Kepositifan?
Mengatasi budaya toksik positif membutuhkan kesadaran akan pengaruhnya yang merugikan dan adopsi pendekatan yang sehat dalam menghadapi emosi dan harapan. Beberapa strategi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
1.Self-acceptance: Mengakui bahwa emosi negatif adalah bagian yang alami dan penting dalam hidup manusia adalah langkah pertama untuk mengatasi budaya toksik positif. Menerima diri sendiri secara keseluruhan, termasuk emosi negatif yang kita rasakan, membantu mengurangi tekanan dan memberikan ruang untuk pertumbuhan pribadi yang sehat.
2. Self-care yang seimbang: Penting untuk merawat diri sendiri dengan seimbang. Hal ini mencakup merawat emosi, fisik, dan mentalitas kita. Memberi diri waktu dan ruang untuk merasakan dan memproses emosi yang negatif, serta berlatih kebiasaan yang sehat seperti olahraga, tidur yang cukup, dan menikmati waktu luang yang bermakna.
3. Komunikasi yang Jujur: Penting untuk menciptakan ruang yang aman untuk berbicara tentang emosi dengan orang-orang terdekat. Berbagi perasaan dan pengalaman yang tidak selalu positif dapat membantu meredakan tekanan dan mendapatkan perspektif yang lebih seimbang.
Pamungkas
Jadi, pada akhirnya Toksin Kepribadian Positif dapat memiliki dampak negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Kebiasaan yang mendorong penekanan emosi negatif dan pemaksaan untuk selalu bahagia dapat menyebabkan penumpukan emosi yang tidak sehat dan persepsi yang tidak realistis tentang kehidupan. Karena hal itu sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap fitrah juga. Maka dengan mengadopsi sikap yang lebih seimbang terhadap emosi dan harapan, serta mengutamakan self-acceptance dan self-care yang seimbang, kita dapat mengatasi dampak negatif dari toksin kepribadian positif dan membangun kesehatan jiwa raga yang lebih baik. Wallahu ‘alam bis shawab!
Referensi:
1. Lomas, T., Ivtzan, I., & Furley, P. (2015). A state of joy: Self‐guiding imagery script for enhancing happiness. Journal of Happiness Studies, 16(6), 1585-1594.
2. Sirois, F. M., & Wood, A. M. (2017). Gratitude uniquely predicts lower depression in chronic illness populations: A longitudinal study of inflammatory bowel disease and arthritis. Health psychology, 36(2), 122.
3. Wood, A. M., Linley, P. A., Maltby, J., Kashdan, T. B., & Hurling, R. (2011). Using personal and psychological strengths leads to increases in well-being over time: A longitudinal study and the development of the strengths use questionnaire. Personality and Individual Differences, 50(1), 15-19.
+ There are no comments
Add yours