Hasil Pendidikan itu Sikap Bukan Hanya Bajunya

 

Hasil pendidikan itu sikap bukan bajunya

Hasil pendidikan itu sikap bukan hanya bajunya. Tentu saja begitu. Karena tanda seseorang sekolah adalah perubahan karakter dan kedewasaan dalam bersikap dan berpikir.

Kekinian, ramai pro kontra soal kebijakan tentang pakaian adat yang dijadikan salah satu seragam sekolah yang disahkan oleh mendikbud ristek Nadiem Makarim, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nomor 50 tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

Pada pasal 3 Permendikbud Ristek Nomor 50 tahun 2022 disebutkan bahwa ada tiga jenis seragam sekolah yang digunakan siswa SD hingga SMA yakni:

Read More

1. Pakaian seragam nasional

2. Pakaian seragam Pramuka

2. Pakaian adat

Iya, tentu saja kebijakan ini baik. Pasti sudah didasarkan pemikiran yang hebat dan matang. Tujuan kebijakannya pun sangat luar biasa salah satunya untuk lebih menumbuhkan rasa nasionalisme dan kebangsaan. Terima kasih, Pak Nadiem.

Namun tahukah Anda, bahwa benar-benar terjun di dunia pendidikan (bukan hanya menjadi pengamat) itu akan menemukan banyak sekali masalah yang lebih urgen dan penting adanya. Orang yang merasakan langsung, menjalani setiap hari, bertemu dengan anak-anak didik, merasakan keresahan-keresahan yang berasal dari lingkungan, melihat dan mengamati bahwa semakin ambyar saja negara ini karena orang yang berpendidikan tinggi hari ini semakin banyak, tetapi Indonesia minim orang yang terpelajar.

Sungguh, terasa sekali PR-nya banyak dan menjadi semakin banyak saja setiap hari. Ngeri, akan jadi apa anak-anak didik kita kelak jika didikan lingkungan dan media nyatanya jauh lebih berpengaruh dibandingkan dengan pendidikan yang disampaikan di sekolah.

Ingin rasanya mencurahkan kegalauan. Namun ini dari mata dan hati saya saja ya, yang sejak tahun 2007 sudah terjun di dunia pendidikan (mungkin di sini lebih banyak lagi bapak ibu yang sudah jauh lebih lama bergelut di bidang pendidikan), mengajar anak-anak dengan bekal hasil kuliah, teori-teori ideal pendidikan yang coba saya terapkan di dunia nyata. Saat itu saya adalah mahasiswa yang sudah mulai belajar mengajar dan menyadari bahwa tugas orang dewasa (bukan hanya guru) tidak hanya mengajar, tetapi harus mampu mendidik dan memberikan contoh.

Kini ketika saya diamanahi untuk “mengurusi sistem” di lembaga Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar sekaligus, keresahan itu seakan semakin memuncak.

Bahwa tugas lembaga pendidikan itu bukan cuma membuat mereka berdiri tegap dengan seragam wah, apalagi kini gagah dengan baju adat yang bagus.

Bagi kami, fokus pada penanaman karakter kedaerahan yang penuh sopan santun dan kearifan lokal adalah fokus utama yang harus dijalani hari ini. Kurikulum merdeka belajarnya saja baru selesai kami pelajari kok. Mungkin belum semua paham juga bahwa budaya lokal yang harus ada di proses pembelajaran itu tujuannya apa. Hubungannya apa dengan pembentukan profil Pelajar Pancasila.

Sementara itu, belum juga lembaga pendidikan selesai menerapkan sistem pembelajaran yang dianggap lebih baik itu, di luar sana pengaruh gadget, pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar sudah jauh lebih mendominasi peserta didik.

Mengembalikan karakter bangsa yang nampak dari luar (pakaian) itu gampang, sih. Yang susah adalah menanamkan karakter baik dan mental-mental positifnya. Kenapa susah? Karena pendidikan itu sistem yang rumit. Gak bisa diselesaikan di satu lembaga, di sekolah atau di keluarga saja misal.

Sebagai contoh, sekolah sudah menanamkan sistem yang kondusif untuk penanaman karakter, eh pulang ke rumah beda lagi. Ketika mereka keluar rumah pun beda lagi. Nonton TV beda lagi. Contoh buruk itu lebih banyak beredar dan memenuhi kepala peserta didik.

Di sekolah diajarkan jujur, di berita malah banyak kabar soal pejabat korupsi. Di sekolah diajarkan kasih sayang, media sosial malah ramai dengan berita kekerasan. Di sekolah diajarkan soal cita-cita yang hebat, ada anak yang ingin jadi polisi, di TV malah dipenuhi berita polisi tembak polisi. Di sekolah diajarkan karakter lokal, sopan santun, budaya malu, taat agama, media ramai dengan berbagai aplikasi heboh yang menunjukkan aktivitas orang-orang yang sudah putus urat malunya. Goyang erotis, lidah melet-melet, dan aktivitas negatif lainnya. Gak bisa disebutkan satu per satu. Terlalu banyak dan belatak.

Bisa tidak, kalau kebijakan-kebijakan pendidikan itu merambah ke hal lain di luar bidang yang katanya “ranah pendidikan”. Coba ajakin kerja sama lembaga lain deh, biar Indonesia benar-benar berkarakter. Bukan cuma bajunya yang menunjukkan karakter kebangsaan. Namun hati dan nuraninya pun harus tersentuh. Kalau sama-sama berbenah secara serentak dan besar-besaran, bisa kali ya….

Berat nih, tugas bapak dan ibu guru. Beban nya ada di lembaga pendidikan semua. Belum lagi emak bapaknya anak yang punya pola asuh berbeda jauh dengan visi misi pendidikan.

Cobalah, oh cobalah. Sama-sama bisa yuk bisa.

Eh, tapi ya tapi. Ketika sekolah diwajibkan memakai baju adat sebagai baju pilihan di sekolah, ini juga masalah lho. Bagi sekolah yang peserta didiknya berasal dari kalangan berbeda, terdapat orang-orang yang mungkin kurang mampu, ini malah akan membuat kesenjangan sosial yang makin jomplang lho.

Ketika yang lain pakai baju adat, anaknya belum. Sedih kan… Secara, baju adat itu mahal bagi sebagian orang. Ya kecuali dibeliin lah, ada dananya khusus untuk membeli baju anak-anak yang turun ke sekolah secara langsung. 😁

Dah ah, gitu aja. 🤭🙏🏻


"Semua konten menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi RuangPena."

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *