Dadaku terasa sesak. Napas tercekat. Isak tangis terasa hampir meledak. Sungguh, penerapan sistem zonasi bikin keki.
Namun aku tahan sekuat tenaga. Tiba-tiba sebuah omongan menghampiriku, “masa Raka seorang ketua OSIS yang pintar dan aktif tidak keterima di sekolah favorit?”
Aku Raka, seorang anak yang dianggap paling dewasa di sekolahku. Ketua OSIS yang digandrungi anak-anak seangkatan dan adik-adik kelasku. Temanku banyak, kata mereka aku si paling menyenangkan.
Bagaimana dengan bapak dan ibu guru? Mereka pun sama, sepertinya mereka senang dengan aku. Wali kelasku selalu bilang, bahwa aku anak yang mandiri dan tahan banting. Bagaimana tidak? Sejak pertama masuk SMP aku sudah mampu bersikap lebih dewasa daripada teman-teman sebayaku.
Ya, itu ucapan yang selalu aku dengar dari bapak ibu guru dan para tetangga juga saudara jauh yang sesekali berkunjung ke rumah.
Aku adalah anak yang dibesarkan oleh bunda yang punya pola didik yang tegas. Serta ayah yang menurutku selalu menyenangkan. Namun meskipun begitu, ayahku selalu tidak toleran kalau aku tidak pergi ke masjid untuk solat berjamaah. Apalagi bunda. Bunda akan sangat marah kalau aku terlambat melipat selimut dan membereskan kasurku pagi hari. Kata Ayah dan Bunda aku harus jadi anak yang mandiri, karena mereka tidak akan hidup selamanya.
Bunda pernah bilang, ketika aku besar dan harus bergabung dengan masyarakat banyak aku harus pandai membawa diri, jangan manja dan tidak boleh tergantung pada orang lain. Makanya, sejak aku kecil bunda melatihku untuk melakukan apapun sendirian. Ketika aku sekolah TK, saat yang lain ditunggui oleh ibunya selama satu minggu lamanya, bunda malah hanya mengantarku sampai pintu gerang sejak hari pertama. Akan tetapi aku tidak pernah bersedih kecuali saat tanganku kejepit pintu gara-gara ada teman yang tidak sengaja menutup pintu ketika tanganku ada di sana. Aku menangis sejadinya dalam pelukan ibu guru. Lalu bercerita banyak kepada bunda sepanjang perjalanan ketika bunda menjemputku pulang.
Bunda dan ayah selalu bilang bahwa yang paling penting dari menyekolahkan aku itu bukan untuk mengejar nilai, melainkan agar aku lebih bernilai. Awalnya aku sama sekali tidak mengerti perbedaan dari kedua kalimat itu. Namun bapak ibu guru di sekolah selalu memberikan nasihat yang sama. Bahwa menjadi manusia itu harus bernilai. Hal itulah yang sekarang selalu aku usahakan.
Bunda sama ayah mungkin memang sudah benar dan sejalan dengan sistem pembelajaran yang sekarang dipakai. Bapak kepala sekolah pun bilang dalam pidatonya, “sekarang ini kita menggunakan sistem merdeka belajar. Kalian bebas memilih pelajaran yang kalian sukai untuk ditekuni dan dikembangkan dalam diri. Kalau suka IPA maka tekuni samapai kamu terlahir sebagai seorang ilmuwan. Kalau suka seni, tekuni hingga pada akhirnya kamu menjadi seorang seniman,” katanya.
Iya, karena didikan ayah dan bunda juga nasihat dari kepala sekolah, makanya aku lebih bersemangat di pelajaran yang aku sukai dan tetap berusaha menyimak dan belajar di pelajaran yang lainnya. Akibatnya, nilai rapotku besarannya tidak sama.
Sekarang, gara-gara itu semua aku tidak diterima di sekolah yang menurutku bisa aku jadikan tempat aku menuntut ilmu di jenjang berikutnya. Padahal aku punya prestasi, aku bisa main bola, aku juga bisa taekwondo. Lihat saja, piagam ini aku bawa sebagai bukti bahwa aku sudah pernah ikut kejuaraan dan mengalahkan lawanku sampai tumbang. Namun apa yang terjadi, rapotku tidak cukup untuk membantuku lolos di sekolah ini.
Lalu apa itu merdeka belajar? Kalau mau sekolah saja masih harus pakai nilai semua pelajaran dengan nilai maksimal yang sama tinggi?
**
Aku masih duduk termenung di bawah pohon rindang halaman sekolah saat dua orang temanku lewat di hadapan samabil tertawa senang. Mereka diterima. Yang membuat aku heran, mereka itu nilainya lebih rendah dari nilai rapotku. Aku tahu mereka. Aku pun pernah melihat rapot mereka. Lalu kenapa?
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Tadi pagi, bunda sudah bilang agar aku menyimak pengumuman secara online saja. Namun karena aku penasaran, aku langsung datang ke sekolah kebetulan banyak teman satu sekolah yang sama-sama mengadu nasib untuk melihat pengumuman secara langsung pula. Sekarang apa yang akan aku katakan kepada bunda? Di rumah bunda pasti sudah tahu nasib anaknya.
Halaman SMA favorit di kotaku sudah mulai lengang. Orang-orang sudah mulai meninggalkan sekolah. Hanya beberapa orang yang berlalu lalang. Mungkin meraka adalah para calon guruku atau staf di sekolah itu yang tidak akan pernah aku temui.
Aku melangkahkan kaki dengang sisa tenaga. Sebuah gorobak jus melintas di depan gerbang sekolah. Aku berniat membeli satu gelas untuk menghilangkan dahaga. Namun seketika rasa hausku hilang ketika tidak sengaja aku mendengar percakapan dua orang ibu yang sedang berbincang di depan gerbang sekolah. Mungkin sedang menunggu jemputan atau kendaraan umum yang lewat untuk pulang.
“Untung bapaknya lagi punya uang. Jadinya dikasihkan aja dulu lah ya biar tenang,” kata ibu yang berbadan besar.
“Iya, Bu. Saya juga untung punya simpanan. Jadinya selamat deh tuh si Anwar,” jawab ibu yang badannya lebih tinggi.
Aku tercengang, ketika Anwar temanku mendekati salah satu ibu yang sedang bercakap-cakap tadi. Dalam hati berbisik, ternyata itu ibunya Anwar.
Pikiranku langsung berpikir kemana-mana. Setan pun mulai mengacau. Hatiku bertanya-tanya, apakah mereka memberikan sogokkan untuk masuk ke sekolah ini?
Aku urung membeli minuman. Sebuah angkutan umum melintas dan aku menyetopnya. Sepanjang perjalanan pikiranku kacau. Harus kemana besok aku mendaftar. Masuk SMA swasta pasti mahal biayanya. Bunda dan ayah belum tentu sanggup. Belum tentu juga punya uang seperti kedua ibu tadi.
Akhirnya aku pasrah. Mungkin aku harus mulai menerima untuk sekolah di sekolah terdekat. Sekolah yang terkenal dengan tawuran. Sekolah yang siswanya sering bolos dan balapan.
Ya, sistem zonasi memang begitu. Merdeka belajar juga begitu. Aku menghela napas panjang dan akhirnya sadar, bahwa di manapun sekolahnya, yang penting aku yang harus bisa membawa diri.
Aku berjanji, akan belajar sungguh-sungguh agar bunda dan ayah tidak kecewa. Aku akan menyelesaikan SMA ku dengan baik, lalu kuliah dan selanjutnya aku mau jadi gubernur.
Biar kubenahi sistem pendidikan khususnya di Jawa Barat. Biar aku tindak tegas oknun guru yang menerima sogokan dan uangnya masuk kantong pribadi bukan untuk negara. Biar aku wadahi anak-anak berprestasi. Baik itu yang ahli matematika dan sains, atau mereka yang calon seniman, atau mereka yang calon atlet.
Akan aku tegaskan, bahwa tidak harus punya nilai matematika 100 untuk menjadi perenang andal. Tidak harus punya rata-rata nilai 98 untuk menjadi pelukis. Aku akan dukung anak-anak yang memiliki keahlian untuk membawa nama baik Jawa Barat di kancah Internasional.
Biarlah hari ini aku yang calon gubernur masa depan yang mengalah. Sekolah di sekolah terdekat yang minim fasilitas. Kelak sekolah-sekolah yang seperti itu akan menjadi sekolah yang lebih baik suatu saat. Diberikan bantuan, dan memberikan upah yang sangat layak untuk para guru terutama guru honor. Agar semakin bersemangat mengembangkan lembaganya meskipun ada di daerah. Agar anak-anak lain yang ingin terus berkemmbang maju sepertiku, tidak perlu bersedih lagi karena terabaikan dari sekolah terbaik pilihan mereka.
*Penafian/disclaimer
Tulisan ini hanya khayalan belaka. Sekadar mencoba menginterpretasikan potret pendidikan di Indonesia kini. Muncul dari beberapa kejadian, berita, dan pengalaman yang beredar di masyarakat kekinian. Tidak sedang bermaksud menyudutkan sekolah tertentu atau sekolah yang ada di sekitar tempat tinggal penulis
+ There are no comments
Add yours