Zein menahan isak tangis sekuat tenaga agar lelaki berbadan kekar itu tidak sampai mendengarnya. Ia harus tetap pura-pura masih tidak sadarkan diri sambil mencari peluang untuk melarikan diri.
“Mana barangnya?”
Terdengar suara lelaki lain dari kejauhan.
“Ada, di dalam. Mau diapakan dulu nih?” jawab lelaki kekar itu.
“Seperti perintah bos kita. Sebelum dihabisi, kita akan bersenang-senang dulu dengannya.” Jawab lelaki yang baru datang dengan bersemangat.
Jantung Zein semakin berdetak kencang membayangkan kengerian yang akan terjadi. Perlahan ia membuka matanya mencari sesuatu yang mungkin bisa jadi peluang untuk melarikan diri.
Ruangan berbentuk persegi dengan dua jendela tertutup tirai itu gelap dan kosong. Hanya sebuah kursi kayu dan meja yang ada di sana. Pintu yang terbuka setengah, membuat Zein harus ekstra hati-hati untuk melakukan aksinya.
Tangannya sejak tadi berusaha untuk dilepaskan dari ikatan tali yang membelenggunya.
Susah sekali, hati Zein menjerit.
Belum juga ikatan itu lepas, dua lelaki masuk menyadari bahwa dirinya sudah sadarkan diri.
___
Sepanjang jalan Milla tidak bisa mengendalikan tangisannya. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan Yanti perempuan kejam itu terhadap anak perempuannya.
Bayangan masa lalu muncul. Dimana tangisan dan amarah Willy pecah. Ketika mendapati tunangannya diperkosa oleh empat lelaki. Lalu kekasih Willy tersebut akhirnya nekat mengakhiri hidupnya sendiri karena trauma berat. Hingga kini polisi masih belum mampu menuntaskan kasus tersebut. Uang telah membuat Yanti masih bisa berkeliaran di alam bebas. Ia akan membayar berapa pun untuk melenyapkan siapapun yang menghalangi rencananya.
Penyelidikan dan pengumpulan barang bukti pun terhambat berkali-kali. Terlebih keluarga kekasih Willy meminta agar jasad anaknya tidak diautopsi dengan alasan kemanusiaan
Taksi melaju kencang atas permintaan Milla. Kasus yang terjadi sebelumnya memberikan pengalaman tersendiri kepadanya. Memaksa perempuan setengah baya itu untuk tidak lagi bertindak bodoh dan mudah dibodohi oleh Yanti.
“Aku tidak akan merasa canggung lagi, Yanti. Tidak peduli amanah yang disampaikan oleh Mas Dannar agar aku bersikap baik kepadamu. Apapun perbuatanmu kali ini, aku pastikan kamu mendapatkan ganjarannya,” bisik Milla.
“Bu, map-nya mengarah ke gang itu. Apakah benar?” tanya sopir taksi.
“Oh, iya, Pak. Masih jauh?”
“Dua menit sampai, Bu,” jawab sopir.
“Sudah, Pak. Berhenti di sini saja. Biar nanti saya jalan kaki.”
Supir taksi patuh, lalu memberhentikan kendaraannya tepat di depan gang sepi itu.
Keadaan di sekitar tampak lengang. Tempat itu sepertinya memang jarang dikunjungi orang.
Bangunan tua berjejer. Sebuah pemukiman yang sepi. Beberapa rumah bahkan seperti tidak berpenghuni.
Setelah membayar taksi, Milla berjalan perlahan, mencari alamat yang diberikan oleh Yanti. Live lokasi yang dikirim kepada seseorang harus tetap aktif. Ia pun harus tetap waspada.
Milla mengerahkan segala keberaniannya. Sisi keperempuanannya sempat meronta menjerit keras. Rasa takut akan ancaman Yanti menguasai. Namun kali ini ia tidak boleh gentar. Yanti saja bisa kejam, maka kenapa dirinya harus terus menjadi perempuan yang lemah lembut dan baik hati selama ini?
Tindakan licik harus dilawan dengan cara yang cerdik, pikirnya.
Milla berjalan perlahan, mencari tempat yang ditunjukkan Yanti. Gang sempit membuatnya cukup kesulitan.
“Tempat apa ini sebenarnya?” gerutu Milla seraya tetap waspada.
Gang sempit itu diapit oleh bangunan-bangunan bertembok tinggi. Dinding gelap mewarnai pemandangan sepanjang perjalanan Milla. Tidak ada seorangpun yang ia temui. Pemukiman itu seolah tidak berpenghuni.
Langkah Milla terhenti ketika dirinya menyadari ada seseorang mengikutinya di belakang.
Milla mempercepat langkah, tetapi lelaki itu bergerak lebih cepat. Membekuk Milla dari belakang, tangan lelaki itu menyumpalkan kain hidung Milla. Sesaat kemudian, Milla tidak sadarkan diri.
___
Willy telah sepakat untuk ikut strategi. Meskipun dalam hatinya berkecamuk dendam dan ego ingin menghabisi siapapun yang membahayakan adik dan mungkin juga ibunya kandungannya.
Willy duduk di sebelah lelaki berbadan kekar dengan perasaan tidak menentu. Kendaraan berhenti di depan gang sempit pemukiman sepi.
Lelaki itu memberi kode kepada tiga orang lainnya yang berpakaian preman untuk berpencar. Willy sendiri dipinta untuk tetap bersama letnan Ruddy.
Dengan langkah bergegas, semuanya menuju lokasi yang didapatkan dari live lokasi Milla yang kemudian berhenti karena kehilangan kontak. Ponsel Milla tidak aktif lagi.
___
Yanti duduk santai di teras rumah dengan dinding berwarna gelap. Dihisapnya rokok yang terselip di antara jari tangannya. Suara tawa dua lelaki penuh kepuasan terdengar dari arah dalam. Menular pada dada Yanti, ia pun menyeringai penuh kemenangan.
“Sebentar lagi semua keluargamu hancur Dannar!” bisiknya.
Dua lelaki bajingan itu telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Zein terkapar lemah dengan tangisan yang tidak lagi bersuara. Bukan hanya tubuhnya yang hancur, hati dan masa depannya pun telah musnah.
Di depan ibu kandungnya ia digagahi dua lelaki bajingan dengan biadab. Dengan tidak berdaya Milla memohon dalam kesadaran yang belum pulih seluruhnya. Pengaruh obat bius masih menguasai.
Tangisannya pecah melihat anak perempuannya diperlukan dengan kejam tanpa ampun.
Hatinya menangis perih. Menyesali keadaan.
“Andai aku tahu dengan menikahimu aku aku mendera begini, aku bersumpah, tidak akan pernah menikah denganmu, Dannar! Lihatlah anak kita harus hancur keduanya karena ulah perempuan di masa lalumu. Aku menyesal telah menjadi istrimu! Aku menyesal, Dannar!”
Tangisan Milla pecah tanpa bisa bersuara. Mulutnya dibungkam dengan kain, sementara tangan dan kakinya dililit tali begitu kuat.
Zein terkulai lemah dengan luka di mana-mana. Tubuhnya yang nyaris telanjang terbungkus kain tergeletak dua meter dari tempat Milla berada.
Dengan sisa tenaga yang ada Milla berusaha untuk mendekati tubuh anaknya yang mengenaskan itu.
Teras rumah dipenuhi tawa kemenangan. Perempuan berhati iblis itu mewawancarai dua lelaki yang baru saja menyelesaikan tugasnya. Lelaki itu menjawab dengan malu tentang kesenangan yang baru saja dilakukannya.
“Bilang saja doyan! Pake malu segala!” Yanti tertawa begitu puas.
“Sering-seringlah memberi tugas seperti begini, Nyonya!” jawab lelaki yang bertubuh tambun.
Percakapan mereka terdengar begitu menjijikan. Membuat luka Milla semakin teriris perih dibuatnya.
Tiba-tiba riuh tawa mereka berhenti berganti dengan suara teriakan seseorang.
“Di mana Zein, Ma?”
“Lukas?” Yanti terbata. Terkejut melihat anaknya tiba-tiba muncul di sana, “Ka-ka mu kenapa ada di sini? Kamu kan masih sakit, Sayang?” Yanti tidak bisa menyembunyikan busuk di hadapan anaknya.
Lukas memaksa masuk ke rumah dicegah oleh dua bodyguard Yanti. Kemudian, “habisi saja anak ini. Percuma dia hidup, jika hanya jadi pembangkang ibunya!”
“Tapi nyonya?” tanya para bodyguard ragu.
“Turuti perintahku atau…?”
Belum tuntas kalimat Yanti, beberapa polisi dengan berpakaian preman datang mengangkat senjata.
Yanti dan dua anak buahnya berusaha melarikan diri. Namun nahas, polisi melepaskan tembakan hingga salah satu anak buah Yanti jatuh tersungkur. Yanti sendiri berhasil dibekuk oleh Willy.
“Perempuan kurang ajar! Di mana adik dan ibuku?” Bentak Willy dijawab dengan senyum sinis penuh penghinaan.
Polisi memasang borgol di tangan ketiga tahanan.
Willy masuk ke dalam, mendapati ibu dan adiknya dalam kondisi mengenaskan.
Lukas memeluk tubuh Zein yang sudah tidak bergerak dengan tangisan yang menjadi-jadi.
Willy yang dikuasai amarah sekonyong-konyong menyeret Lukas menjauh dari tubuh adiknya. Menghajarnya beberapa kali meluapkan amarah.
“Hajar saja aku sampai mati, Bang. Biar aku menanggung semua akibat dari ini semua. Namun kamu harus tahu, Bang. Aku gak pernah menginginkan ini! Andai aku bisa memilih, aku lebih baik tidak terlahir ke dunia ini jika akhirnya aku memiliki seorang ibu yang biadab seperti dia!” teriak Lukas penuh emosi.
Darah segar mengalir dari sudut bibir dan hidungnya.
Willy menghentikan pukulan. Tubuhnya ambruk. Ia bersimpuh di lantai. Perlahan ia meraih Milla ke pelukannya. Tangan mila yang sudah tidak terbelenggu tali lagi meraih wajah anaknya.
“Nak, maafkan ibu!” tangisnya pecah lagi. Dunia menjadi begitu gelap, pandangannya kabur lalu gelap sama sekali. Milla tidak sadarkan diri dalam pelukan anaknya.
Willy mencoba mendekati tubuh adiknya. Polisi yang sejak tadi berdiri menyaksikan keadaan nahas itu membantu Willy. Memeriksa keadaan Zein.
Lalu, “Mas, adiknya sudah pergi!” ucap sang letnan dengan nada penuh penyesalan.
Dunia terasa runtuh berkali-kali menimpa tubuh Willy. Ibunya tidak sadarkan diri, adiknya mati. Bayangan masa lalu pun tergambar lagi. Tunangannya mati bunuh diri karena telah dirudapaksa seseorang dengan modus penculikan.
Willy geram, lalu bangkit berlari mencari keberadaan Yanti.
“Aku tidak akan pernah memaafkan kalian bajingan!”
Nyaris saja pukulannya mendarat di wajah Yanti, tetapi polisi menahannya.
Sementara duka menyelesaikan hati Willy, seulas senyum tersungging di bibir Yanti.
Dalam hatinya penuh kemenangan. Tidak peduli ia harus mendekam berapa lama di dalam penjara. Yang penting apa yang diinginkannya telah selesai; menghancurkan keluarga Milla.
___
Tamat
+ There are no comments
Add yours