“I will never marry you!”
Tubuh Zein hampir ambruk. Kakinya mendadak lemas. Air matanya menggenang siap meluncur. Sekuat tenaga ia menahan agar tangis itu tidak perlu jatuh. Cepat-cepat disapunya air yang ada di sudut matanya itu. Zein mengambil napas panjang berkali-kali mengumpulkan kekuatan.
“Permisi, Mbak!” seru perawat bersuara berat itu mengagetkannya.
Dengan cepat Zein mengeja urutan huruf yang tertera di papan nama pria tinggi di hadapannya.
“Adam,” gumam Zein seraya mengingat sesuatu. Merasa tidak asing dengan nama itu.
“Oh iya, ma maaf,” jawabnya gugup. Zein beringsut segera bergeser dari tempatnya berdiri memberi jalan perawat itu untuk masuk ke ruangan Lukas. Adam menganggukkan kepalanya dengan ramah sebelum mendorong pintu berwarna putih di depannya.
“Siapa itu? Dasar perempuan tidak tahu diri! Bisa-bisanya menguping pembicaraan!” teriak Yanti penuh emosi dari dalam ruangan ketika mendengar percakapan Zein dengan perawat di luar pintu.
Adam masuk tanpa ragu.
“Permisi, Bu. saya periksa dulu pasiennya ya,” ujar Adam dengan tenang.
Yanti megangguk dengan mimik wajah yang ketus. Kekesalannya terhadap Zein membuat ia tidak lagi bersikap ramah kepada orang yang baru datang. Yanti mengambil tas di atas nakas, kemudian bergegas meninggalkan ruangan.
“Ma, mau kemana?” tanya Lukas. Berharap ibunya tidak melakukan apapun kepada Zein. Yanti melangkah keluar tanpa memedulikan anaknya.
Adam selesai mengecek kesehatan Lukas. Semua membaik, lukas hanya harus istirahat satu hari lagi.
**
Langkah Yanti semakin cepat. Napasnya tampak terengah-engah. Sorot matanya yang tajam memberikan sinyal bahwa amarahnya semakin memanas.
“Awas saja kamu Zein!” ucapnya penuh emosi.
Zein tidak terlihat di mana pun. Kursi-kursi sepanjang lorong kosong. Dia kehilangan jejak.
Jemari Yanti sibuk mencari nama kontak Zein di ponselnya, tetapi perempuan setengah baya itu tidak menemukannya. Keningnya mengernyit, mencari akal. Beberapa saat kemudian ia pergi meninggalkan rumah sakit setelah menelpon seseorang.
**
Milla baru saja merapikan pakaian di kamar Willy. Saat pergi, Willy meninggalkan kamarnya dengan berantakan. Amarah yang menguasai Willy membuatnya tergesa dalam memilih baju di lemarinya.
Milla terisak ketika mendapati jaket Willy yang tergeletak di tempat tidur. Wangi parfum khas lelaki masih tercium, sisa Willy sebelum pergi. Terbersit rasa rindu yang begitu dalam. Naluri seorang ibu tidak pernah bisa dibohongi. Baru saja beberapa jam Willy pergi ia sudah merasakan kehilangan yang mendalam.
Perempuan itu duduk di sisian ranjang, memandangi foto keluarga yang diletakan di meja kamar itu. Dipandanginya potret itu. Suaminya masih segar bugar tersenyum manis dengan posisi tangan di pundak kedua anaknya. Sementara Milla duduk dengan anggun di tengah-tengah. Sova warna putih membuat kesan serasi dengan pakaian yang digunakan; putih dan mocca.
Keluarga yang harmonis.
“Andai kamu masih ada, Mas Dannar. Mungkin bimbang ini tidak harus aku pikul sendirian. Sakit ini akan bisa ku bagi denganmu. Lihatlah anak-anak kita, menjadi korban atas ketidakjujuran kita. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Air matanya menetes membasahi potret itu.
Jemarinya berpindah ke wajah anak sulung dan anak perempuannya, “di mana kamu Willy…?”
Milla meraih ponselnya. Ia harus memastikan bahwa Zein baik-baik saja. Sementara Willy, sejak tadi tidak bisa dihubungi.
Belum sampai menekan tombol panggil, sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal masuk. dengan ragu Milla menjawab telepon itu.
“Ha-hallo…” ucap Milla ragu.
“Milla, senang mendengar suaramu lagi,” ucap seseorang di sebrang sana diiringi tawa sinis.
“Siapa ini?” ucap Milla dengan jujur.
“Jangan pura-pura lupa, Milla. Aku pun tidak akan pernah melupakan apa yang sudah kamu lakukan kepadaku!”
“Yanti?”
Milla tersentak. Jantungnya berdebar kencang.
Yanti adalah masa mantan istri Dannar yang berpisah secara paksa karena tidak direstui orangtua mereka karena orangtua Dannar tidak menyukai karakter perempuan itu.
Dendam Yanti semakin menjadi ketika anak dala kandungannya lahir dan tidak diakui sebagai cucu oleh ayah dan ibu Dannar. Hingga kini seolah dendamnya seolah belum habis, Yanti tidak akan pernah berhenti merusak kebahagiaan keluarga Milla.
“Aku senang, kau masih sanggup menyebutkan namaku. Aku berharap ini adalah terakhir kali kau menyebutnya. Karena sebentar lagi kau tidak akan bisa menyebut namaku lagi, Milla. Ha ha ha.”
“Yanti, apa maksudmu?”
“Jangan banyak tanya, Milla. Temui aku sekarang juga jika tidak ingin putrimu mati sebelum kematianmu!” ancam Yanti sebelum memutuskan sambungan telepon.
**
Kondisi Zein sangat mengenaskan. Tubuhnya tersungkur di lantai. Mulutnya disumpal kain, dengan tangan terikat. Pelipisnya mengeluarkan darah segar karena sempat melakukan perlawanan ketika seorang lelaki bertubuh kekar membekap mulutnya dari belakang.
Kesadarannya mulai pulih ketika Zein mendengar suara derap langkah dan percakapan seseorang.
“Beres, bos. Dia saya sekap!” ucap seorang lelaki bersuara serak.
Lelaki itu membuka pintu dengan sambungan telepon masih berlanjut. Zein pura-pura masih pingsan demi menyimak apa yang sedang mereka bicarakan sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
“Dia belum sadar, Bos. Aman, Bos…!” pungkas lelaki berbadan tinggi itu lalu menutup sambungan telepon.
Zein menangis. Membayangkan kengerian apa yang akan menimpanya setelah itu. Batinnya merintih, menyebut-nyebut nama Willy dan ibunya. Berharap mereka bisa segera menolongnya.
**
Willy menepikan mobilnya di pinggir jalan. Beberapa kali ibunya menelepon tidak diangkatnya. Dengan perasaan bersalah ia akhirnya mengangkat panggilan itu namun terlambat. Ibunya sudah menghentikan panggilan.
“Ya Tuhan, lindungi ibuku,” Gumamnya.
Dibacanya beberapa pesan dari Milla. Memintanya segera datang ke suatu tempat.
“Nak, di manapun kamu, pulanglah. Tolong kami. Yanti menyekap Zein, dan ibu menuju ke sana.”
Seketika pikiran Willy semakin kacau. Kebenciannya kepada Zein yang keras kepala melunak. Di benaknya hanyalah sebuah tekad; ibu dan adiknya jangan sampai menjadi korban kelicikan Lukas dan dan Yanti.
Willy memutar kemudi. Mobil melaju kencang ke suatu tempat. Hati lelaki itu tidak menentu, pikirannya kalut. Namun ia harus tetap fokus, demi keselamatan dirinya yang harus menyelamatkan dua nyawa orang yang sangat disayanginya.
“Zein, meskipun kamu keras kepala, Abang tidak ingin kamu celaka seperti Bella!” ucap Willy dengan geram.
Bayangan masa lalu yang mengerikan kembali muncul memancing kemarahan yang semakin menjadi.
___
Bersambung…
+ There are no comments
Add yours