Will Never Marry You (3)

Kenyataan

Berkat telepon mesra dan perhatian dari Lukas, kesehatan Zein semakin membaik. Kini badannya sudah lebih nyaman. Sakit di kepalanya sudah mendingan. Walaupun tidak 100% sembuh, setidaknya ia bisa kembali beraktivitas dan tidur lebih nyenyak pada malam hari.

Pagi ini Zein bangun lebih awal. Mengenakan baju dan tas dengan warna senada membuat Zein lebih fresh hari ini. Bercermin, menyisir rambut sebahunya, mengaplikasikan lipstik tipis membuat wajahnya begitu cantik.

Ya, Zein sudah siap berangkat ke kampus. Hari ini ada jadwal bertemu dosen pembimbing untuk membicarakan instrumen penelitian.

Langkah kakinya bergegas menuju ruang makan. Di sana ibu dan Abangnya pasti sudah menunggu untuk sarapan.

Read More

Benar saja, Willy duduk berpangku tangan dengan badan bersandar ke punggung kursi. Sementara Milla sang Ibu masih sibuk mengoles roti dengan selai strawberry.

Zein mengambil segelas susu hangat yang sudah ada di meja. Lalu duduk mengosongkan setengah dari gelasnya.

“Bang, susunya belum diminum?” tanyanya.

Willy hanya mengeringkan matanya sebagai reaksi atas pertanyaan adiknya.

“Aku rotinya satu, Bu. Dimakan sambil jalan saja ya!” ucap Zein cengengesan.

“Makan lah dulu, duduk di sini! Apa salahnya sarapan bareng?” ucap Milla.

Zein patuh. Ia kembali duduk. Namun gadis itu tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Berkali-kali memandangi arloji bulat di tangan kanannya.

“Kenapa sih, lihatin jam mulu?” tanya Willy sinis.

“Aku janji, jam 07:00 sudah berdiri di depan rumah, biar kami langsung berangkat. Kalau aku telat kan gak enak?” jawab Zein dengan cemberut.

“Pergi sana! Patuhi lelaki laknat itu! Sepanjang hidup, jangan pernah lagi kamu duduk di sini untuk makan bersama dengan kami! Kamu tidak perlu susah-susah melakukannya!” bentak Willy yang membuat Zein tercengang.

“Will….!” ucap Milla lirih. Disimpannya pisau dan roti yang sedang dia oles. Lalu mendekati anak lelakinya.

Seperti biasa, Milla hanya bisa mengelus pundak sang anak untuk memintanya lebih sabar.

Willy hilang sabar. Ia pergi lebih dulu tanpa sarapan, tanpa mencium punggung tangan ibunya. Zein hanya bisa diam, memandang punggung abangnya dengan perasaan campur aduk.

“Bu, sebenarnya kenapa Abang Will? Kenapa sebenci itu sama aku?”

Milla hanya menggeleng, menahan air mata. Lalu pergi menuju kamarnya.

Jam dinding di ruang makan sudah menunjukkan pukul 07:11 menit. Zein bergegas menuju teras rumah.

Namun baru saja melangkah, sayup-sayup terdengar suara orang yang sedang beradu mulut. Makian dengan bahasa kasar saling berbalas.

Milla berlari keluar dari kamarnya.

“Ada apa di luar?” tanya Milla dengan wajah cemas dibalas geleng kepala Zein.

Di luar, Willy dan Lukas saling hantam. Willy melayangkan pukulan berkali-kali ke wajah Lukas yang mengakibatkan Lukas terkapar.

“Abang! Sudah!” teriak Zein berusaha melerai. Ia memeluk tubuh Lukas yang lemah.

“Zein, jika kamu terus membela bajingan ini, aku bersumpah, tidak ingin mengenalmu lagi!” teriak Willy dengan wajah merah padam.

“Lukas, lekas kamu pergi dari sini. Tinggalkan anak ibu!” ujar Milla dengan suara gemetar.

“Ibu apa-apaan? Lukas terluka karena bang Willy. Kenapa malah mengusirnya? Kita yang bersalah. Harusnya ibu bantu aku mengobati Lukas, Bu!” lirih Zein. Isak tangisnya makin menjadi, melihat kekasihnya yang babak belur dihajar abangnya sendiri.

“Maafin bang Willy ya …! Aku mohon…!” pinta Zein pada Lukas.

Willy yang sejak tadi menghilang, muncul kembali membawa koper dengan langkah bergegas.

“Willy anakku, mau kemana kamu, Nak?”

Milla mengejar langkah anaknya tanpa dipedulikan Willy.

“Willy, jangan tinggalin ibu!” pinta Milla.

Willy menyalakan mobil, lalu berlalu tanpa memberitahu kemana ia akan pergi.

Lukas bangkit tertatih. Merapikan kemejanya yang kusut akibat serangan Willy. Zein membantu kekasihnya bangkit dan memapahnya berjalan ke arah mobil Lukas.

“Zein!”

Suara Milla menghentikan langkah Zein.

“Ibu mohon, kamu pertimbangkan lagi keputusanmu untuk tetap ikut pria itu. Kalau kau bersikeras, maka ibu akan kehilangan salah satu anak setelah ini,” ucap Milla dengan suara gemetar.

Namun Zein tidak menghiraukan perkataan ibunya. Ia lebih iba kepada Lukas dengan beberapa luka lebam di wajahnya.

**

Zein membatalkan jadwal bimbingan dengan Prof. Djiwan. Mengurus kesembuhan Lukas adalah prioritas utama hari ini. Bagaimanapun ia terluka karena ulah kakaknya. Ia harus bertanggung jawab.

Lukas mendapatkan perawatan khusus. Ternyata ada sedikit retak di tulang rusuknya akibat pukulan Willy yang membabi buta.

Dosen muda itu sudah tidak lagi memedulikan rasa kemanusiaan. Amarah dalam jiwanya ingin segera terluapkan.

“Kamu tidak lapar, Zein? Pergilah keluar cari makanan. Aku tidak apa-apa,” seru Lukas yang terbaring lemah di ranjang pasien.

“Aku tidak lapar. Aku hanya mengkhawatirkanmu, Lukas!” jawab Zein serius. Hatinya begitu iba melihat keadaan Lukas. Sebelumnya ia berpikir hanya luka lebam di wajah. Ternyata ada luka lain yang lebih serius di tubuh Lukas.

“Aku tidak apa-apa,” jawab Lukas berusaha senyum padahal pipinya masih terasa sangat sakit.

“Kamu tuh ya…. Bandel!” goda Zein. Sudah istirahat ya! Bobo lagi, biar lekas sembuh!” perintah Zein penuh kasih sayang.

Ketulusan Zein membuat Lukas terenyuh.

Zein, kamu begitu tulus, batinnya.

Sejenak dua insan tersebut saling pandang.

“Ekhem!”

Seseorang muncul tiba-tiba.

“Mama!” ujar Lukas kaget.

“Tante!” Zein menyapa dengan senyum ramah. Ia menjulurkan tangannya hendak bersalaman. Namun perempuan itu tidak menyambutnya. Membuat Zein merasa canggung.

“Sayang, kamu boleh makan dulu ya! Aku ada Mama!” perintah Lukas disambut anggukkan patuh Zein.

“Permisi, Tante!” ujar Zein dengan ramah. Lalu ia berlalu, meninggalkan ruang rawat.

Zein duduk pada kursi tunggu di depan ruangan. Rasa laparnya entah kemana. Ia keluar dari ruangan bukan karena lapar. Namun lebih kepada menghargai privasi antara ibu dan anak, juga menghargai ibunya Lukas.

“Kamu ini apa-apaan sih? Malah babak belur begini!” sayup-sayup terdengar suara tegas penuh tekanan di dalam ruangan Lukas.

“Ma, jaga bicaranya. Nanti Zein dengar!” lirih Lukas memohon pada ibunya yang bernama Yanti itu.

“Heiy! Sejak kapan kamu memedulikan perasaannya? Mama suruh kamu mendekati anak sialan itu hanya untuk balas dendam atas kematian ayahmu!” ujar Yanti dengan suara yang lebih keras. Seolah ia tahu bahwa Zein msih ada di balik pintu.

“Sudah, Ma. Nanti Zein denger!” pinta Lukas.

“Lukas! Jangan bilang kalau kamu mulai jatuh cinta pada adik tirimu itu!”

“Ma…!”

Mendengar itu semua, pikiran Zein menjadi kacau. Begitu sulit mencerna apa yang baru saja ia dapatkan.

Apa maksudnya semua ini? 

 

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment

  1. I may need your help. I tried many ways but couldn’t solve it, but after reading your article, I think you have a way to help me. I’m looking forward for your reply. Thanks.