Seperginya Willy dan Ibunya, Zein kembali berbaring di kasur. Sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela menyinari wajahnya yang pucat.
Pikirannya kian ramai. Dipenuhi dengan segala kebingungan yang menguasai kepalanya.
Rasa cintanya kepada Lukas. Tetapi bagaimana bisa ketika abang satu-satunya sama sekali tidak menyetujui hubungan itu.
Padahal Lukas begitu perhatian. Rasanya sepanjang hidup baru kali ini ia dibuat terbang tinggi merasakan cinta yang begitu membuat hari-harinya begitu indah dan bersemangat. Sakit di kepalanya yang sering kambuh, seolah bisa secepatnya reda ketika bertemu Lukas bahkan hanya ketika mendengar suaranya.
Ajaib memang, lelaki itu begitu pandai memenangkan hatinya.
Namun kembali tidak habis pikir. Kenapa Willy tidak pernah bisa menerima kekasihnya.
Ah persetan. Hari ini tidak ada agenda. Tidak ada janji, tidak ada jadwal bimbingan. Zein kembali menikmati hangat selimutnya sambil berselancar di media sosial.
Tidak lupa berbalas pesan degan Lukas.
“Romantis,” ucapnya lirih sambil tersenyum bahagia.
**
“Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Lukas! Sampai kapanpun tidak akan!” bentak Willi pada seseorang di sebrang sana.
Dilemparnya benda pipih yang baru saja menyambungkan percakapannya dengan Lukas. Lelaki yang akan dia benci sampai kapanpun.
Diam-diam Milla mengintip di balik pintu. Lantas pura-pura tidak tahu dan mencoba membujuk anak sulungnya makan malam.
“Nak, mari makan dulu. Kamu pasti lelah,” katanya.
“Aku tidak lapar, Bu!” jawab Willy sambil menghempaskan tubuhnya ke sova. Ia menghela napas panjang seolah ingin menghapus kekesalan yang mendalam. Mukanya masih memerah menahan amarah. Hanya karena ia sedang bersama ibunya ia selalu mampu merendahkan suaranya.
Kejadian tadi siang. Secara tidak sengaja ia mendapati Lukas sedang bersama seorang perempuan. Mereka begitu dekat seperti sepasang kekasih, bahkan lebih.
Menjijikkan memang kamu Lukas.
Batin Willy berkecamuk. Tangannya mengepalkan tinju. Rasanya ingin mendaratkan pukulan ke muka Lukas hingga babak belur.
Namun bukan Willy namanya jika ia harus melakukan hal konyol di tempat umum.
Willy bergegas meninggalkan lokasi dimana Lukas dan perempuan itu berada. Memasuki mobil dan menjauh sejauh mungkin. Meski begitu, pikirannya tentang Lukas malah makin memenuhi kepalanya.
Kini, saat malam tiba dan Willy baru saja sampai di rumahnya selepas kerja, Lukas menelepon.
“Hallo kakak ipar…. Apa kabar?” ujar Lukas di sebrang sana. Perkataan yang sangat menjengkelkan di telinga Willy.
“Mau apa kau?” tanya Willy geram.
“Jangan emosi begitu, Abang…. Nanti darah tinggi lalu mati seperti papa,” ejek Lukas. Nada bicaranya semakin kurang ajar.
“Jangan bahas papa di sini, dasar bajingan!” bentak Willy.
“Ha ha ha. Ya sudah, Bang… Salam buat cintaku Zein ya!” ucap Lukas sambil terkekeh.
Emosi Willy nyaris tidak tertahankan. Mendengar kalimat itu rasanya ingin muntah jika ingat apa yang dilakukan Lukas selama ini.
Menutup telepon adalah cara agar tidak perlu mendengarkan ocehan lelaki itu lebih lama.
“Sudah lah, Nak. Tidak perlu terlalu dipikirkan. Sebaiknya kamu makan dulu. Ibu akan memanggil Zein untuk makan bersama,” ucap Milla sambil beranjak.
“Ibu, masih memintaku untuk memaafkan Lukas? Aku tidak akan pernah benar-benar memikirkan hal ini jika tidak berhubungan langsung dengan adikku sendiri. Biarlah dendamku aku kubur dalam-dalam. Namun kalau sampai ia menyakiti Zein, aku tidak akan pernah memaafkan dia.”
Milla mengelus lengan anaknya mencoba menenangkan. Meskipun di hatinya berkecamuk segala rasa. Hampir saja lisannya mengatakan sesuatu untuk mengungkapkan sebuah fakta. Namun ia menahannya kuat-kuat.
Mungkin belum waktunya aku ceritakan kepadamu, Nak.
____
Bersambung
+ There are no comments
Add yours