Siapa yang tidak mengenal wak Tinah. Di kampungku ia sudah begitu terkenal sama terkenalnya dengan kepala Desa. Bahkan jika kamu bertanya di mana rumah pak Lurah Dusun Legok bisa jadi mereka akan lebih tahu jika kamu bertanya di mana rumah bi Tinah (panggilan warga kampung).
Wak Tinah adalah perempuan yang aku bilang ia masih setengah tua. Aku sendiri tidak tahu usianya berapa. Sebab seingatku wajah uwak begitu lambat tuanya. Sejak aku kecil berusia balita dan diasuh olehnya, aku mengenal uwak dengan wajah seperti itu. Tak terlalu tua dan tidak juga muda. Namun yang aku tahu ia adalah sosok perempuan yang tidak pernah memendam masalah. Di wajahnya selalu terpancar ketulusan. Senyum yang senantiasa mengembang menghiasi wajahnya yang teduh.
Kalau bertemu dengannya, kamu boleh bilang apa saja yang kamu inginkan. Ingin diantar pergi ke mana dan ke rumah siapa di seantero kampung, selama itu memungkinkan, wak Tinah pasti selalu bersedia menemanimu. Lutut dan kakinya selalu kuat berjalan sejauh apapun.
Sepanjang sejarah, yang diasuh sedari kecil oleh uwak bukan hanya aku. Bahkan ayahku, pamanku, beberapa sepupuku, adik-adik kandungku, bahkan beberapa anak di kampungku pernah merasakan hangatnya gendongan wak Tinah.
Mendengarkan lantunan solawat dari mulut uwak saat kecil, akan membuatmu begitu nyaman sampai terlelap tidur dalam pangkuannya.
Aku tidak tahu. Ada keajaiban apa dalam diri perempuan itu sehingga ia mampu menaklukkan hati anak-anak itu. Ya, anak-anak seangkatanku sampai anak-anak zaman now yang baru berojol selalu mampu ditaklukan oleh tangannya. Bayi nangis saja jadi anteng digendong uwak.
Wak Tinah pun orang yang bisa membuat damai hati orang-orang dewasa ketika berada dekat dengannya. Nasihatnya yang sederhana selalu mampu meluluhkan hati. Jika kamu ingin bercerita apapun, maka ceritakanlah! Karena uwak adalah tempat curhat paling nyaman. Di hadapannya, kamu tidak akan bisa berbihong tentang apa yang sedang kamu rasakan.
“Kunaon? (Kenapa?”)” tanya uwak.
Dengan satu kata tanya itu pun orang-orang yang kenal baik dengan uwak sudah bisa membombardir Wak Tinah dengan seberendel cerita yang tumpah ruah. Dan lihatkah, wak Tinah akan menyimak dengan baik, dan kamu harus banyak belajar kepadanya bagaimana menjadi seorang pendengar yang baik.
Tapi lihat faktanya, sekarang wak Tinah lebih terlihat rikuh. Wajahnya mulai terlihat tua. Waktu memang telah berjalan begitu cepat. Aku saja yang dulu kecil dan sering tidur dalam pangkuannya sambil dinyanyikan lagu “Ayun Ambing” atau solawat Nabi sekarang sudah memiliki anak kelas 5 SD. Jelas saja wak Tinah pun bertambah tua.
Kini kakinya tak kekokoh dulu, pinggangnya sudah tak mampu lagi kuat menggendong anak berkama-lama. Walaupun pada nyatanya sekarang ia masih mampu mengasuh anak bayi dengan ketulusannya. Kalau dulu memang anak kelas dua SD masih sanggup wak gendong kalau ada yang lagi nangis dan manja.
“Sampai kapan wak Tinah menggendong bayi-bayi? Sampai kapan wak Tinah mengasuh balita-balita? Dan kapan wak Tinah boleh beristirahat dengan tenang tanpa mengerjakan hal lain selain kegiatan pribadinya dan aktivitas ibadah?”
Itu pertanyaan yang selalu muncul di dalam benakku sejak dulu aku melihat wak tinah mengasuh bayiku dengan penuh sukacita. Kadang aku sering berandai-andai. Jika aku mampu membawanya pergi jauh ke tanah suci membahagiakan wak Tinah sebagai balasan dari semua kebaikannya.
Namun apa daya, tanganku belum mampu mewujudkan itu semua. Aku hanya bisa berdo’a dari kejauhan dan memeluk wak Tinah erat-erat saat kami bertemu di momen penting pulang kampung. Semoga keinginan itu bisa terwujud, baik dari tanganku langsung ataupun bukan.
Berapa orang yang telah ia gendong? Berapa orang yang telah ia besarkan dengan kasih sayang? Berapa orang yang telah ia ninabobokan dengan lantunan solawat dari mulutnya yang terbiasa mengucap tasbih?
Wak Tinah yang kini semakin tua, (meskipun aku tahu, ia masih terlihat lebih muda dari orang-orang seusianya). Uwak kini tinggal di dalam rumahnya yang sepi. Tanpa canda tawa dari seorang anak, cucu, dan keluarga yang ramai. Ia hanya hidup sendirian setelah ditinggal mati oleh wak Samin suaminya yang juga sama baiknya.
Dulu, rumahnya ramai di pagi hari hingga magrib menjelang oleh anak-anak tetangga yang sengaja kumpul main di teras termasuk aku yang rumahnya memang bersebelahan. Setelah itu, uwak dan suaminya sibuk menggelar sajadah dan membaca alqur’an. Membunuh sepi dengan rangkaian do’a-do’a dan harapan.
Apa yang mereka do’akan? Apa yang mereka harapakan? Kita tidak pernah tahu permohonan apa hang ia panjatkan. Namun yang sering aku dengar dulu, uwakku dan suaminya hanya meminta kasih sayang Allah sepanjang hayatnya.
Anak tak punya, harta pun demikian. Bisa hidup, dan makan saja rasa syukur uwak tak terbendung. Mungkin itu sebabnya mengapa selalu terpancar kebahagiaan dalam wajahnya. Karena wak Tinah selalu melibatkan Allah dalam hati dan kehidupannya.
Kini, wak Tinah hanya hidup sendirian. Doanya dikayuh seorang diri. Mendoakan apapun, tidak terkecuali mendoakan almarhum suaminya; satu-satunya orang yang selalu menemani malam-malamnya saat anak-anak pulang ke rumah masing-masing. Meramaikan bilik-bilik mereka dan tidur di pelukan ayah ibunya sendiri.
Wak Tinah memang bukan orang kaya. Akan tetapi bagiku ia adalah pemilik hati terkaya dengan hati yang paling lapang dan dermawan.
“Tah, uwak tas nyirun wajit sirsak, cobaan! Keur ka Bandung mah geus ngawadahan (Ini uwak bikin wajit Sirsak. Cobain! Buat dibawa ke Bandung, sudah Uwak siapkan),” katanya kalau aku pulang kampung.
Wak, Allah memang tidak selamanya selalu membalas budi baik kepada seseorang dari orang yang secara langsung dibantunya. Allah selalu punya cara yang terbaik untuk memuliakan hambanya dari arah yang tak disangka-sangka. Semoga wak Tinah pun demikian. Mendapatkan balasan kebaikan dari berjuta cara yang tidak terduga. Maafkan aku belum mampu membalas semua kebaikan uwak.
Panjang umur ya, Wak. Do’aku selalu memelukmu dari jauh, semoga Allah senantiasa menjaga dan melindungimu. Aamiin yaa robbal alamiin.
+ There are no comments
Add yours