“Katakan kepadaku kamu itu menganggap aku ini apa? Apa kamu mncintaiku denga tulus?” dengan nada datar Kean bertanya kepada Rena. Perempuan yang sejak tadi lebih banyak diam mengamati isi tulisan di layar laptopnya.
Minggu ini memang minggu yang padat dengan tugas-tugas. Rena harus presentasi beberapa mata pelajaran minggu ini.
Sungguh ia tak mau membahas apapun yang berhubungan dengan perasaan. Ia tak mau membabani fikirannnya dengan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan kesibukkan di akhir masa-masa sekolahnya. Kepalanya penuh sesak dengan sejumlah tugas yang harus ia selesaikan segara dalam waktu yang hampir bersamaan. Sungguh dalam hati kecilnya kali ini yang paling penting adalah bagaimana membuat guru-gurunya yakin dengan kemampuannya, bagaimana membuat teman-temannya percaya bahwa ia juga mampu berdiri dengan percaya diri memaparkan materi yang enjadi tugasnya di hadapan semua teman-temannya yang tak bisa ia pungkiri mereka adalah siswa-siswa pilihan yang luar biasa hebat. Bagaimana tidak, Rena kini belajar di sekolah bertarap internasional yang hanya siswa-siswa pilihanlah yang masuk dan boleh belajar di sana.
“Rena… jawab aku!” suara Kean membuyarkan konsetrasinya.
“Heh… Iya… tadi kamu tanya apa?” Rena balik bertanya. Membuat Kean merasa kesal.
“Kamu itu ya sudah banyak berubah. Lebih mementingkan teman-teman kamu sekarang,” ujar Kean ketus.
Rena tetap asik dengan laptopnya.
“Rena, kamu dengerin aku gak sih?” Kean mulai emosi. “Ya sudah aku pergi dulu!” marah Kean. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan Rena bersama laptop dan makanan serta minuman yang belum dihabiskannya di meja café yang mereka kunjungi siang ini.
Rena tak mau ambil pusing. Ia hanya menatap sampai laki-laki itu tak terlihat lagi punggungnya.
Entah apa yang dinginkan laki-laki itu. Kadang Rena merasa jika Kean itu terlalu pencemburu. Ia kini tidak lagi menjadi orang yang paling pengertian seperti sebelumnya. Sementara tugas sekolahnya pun tak lagi bisa dikompromikan harus serba cepat diselesaikan.
Duduk selama berpuluh menit di cafe dengan free wifi membuat Rena bisa sedikitnya mendownload beberapa bahan untuk makalahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 siang. Ia harus segera pulang dan menyelesaikan tugasnya di rumah.
Teleponnya berdering. Kean menelpon.
“Rena, kamu di mana?” suara dari ujung telepon.
“Masih di tempat tadi mau pulang,” jawab Rena singkat. Tangannya masih sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tasnya.
“Kamu itu memang keterlaluan ya Rena. Aku kesal dan marah saja kamu tak perduli,” keluh Kean. Lagi-lagi suaranya bernada begitu ketus.
“Kamu marah kenapa lagi sih Kean? Mau kamu apa sebenarnya?”
“Kamu masih bertanya hal itu Rena? Ah, kamu itu emang…”
“Egois? Iya aku memang egois. Lalu kamu mau apa?” Suara Rena mulai meninggi. Lalu, “tut tut tut…” Telepon ditutup oleh Kean.
**
Kean termenung sendiri. Terlentang di atas ranjangnya. Memandangi langit-langit kamar. Memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ia marah meninggalkan Rena, lalu tak lama kemudian ia sendiri yang menghubungi Rena dengan sendirinya. Ia mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang ia inginkan dari Rena? Waktunya? Ah, bukan. Rena kalau sedang tidak sibuk selalu mengusahakan waktu untuk bertemu. Perhatiannya? Ah, tidak juga. Ia merasa bisa melakukan apapun tanpa perhatian dari Rena. Lalu apa?
Kean memutar otaknya berusaha mencari jawaban.
Tubuhnya beranjak dari tempat tidur. Ia membuka lemari es mengambil minuman kaleng lalu menikmatinya di teras depan.
Bayangan Rena selalu mondar-mandir di kepalanya tak pernah mau pergi. Entah apa yang telah Rena lakukan dengan pikiraan dan hatinya. Ia merasa jika ia terlalu jatuh cinta kepada perempuan itu. Rena adalah perempuan yang sering membuatnya marah-marah tak jelas. Perempuan yang sering membuatnya cemburu dengan siapapun lelaki yang ada bersamanya.
Cemburu? Ya, Kean memang pencemburu. Dengan siapapun yang dekat dengan Rena termasuk teman-teman sekolah Rena. Tentu saja terutama teman Rena yang bernana, entah siapa namanya.
Ah, sungguh, dirinya tak mau lagi mengingat-ingat laki-laki itu. Apa pedulinya dan siapa pula dia. Tapi Yugo, laki-laki itu begitu baik kepada Rena. Apakah ada cinta di antara mereka? Kali ini hati Kean begitu sakit mendapati kepalanya memiliki pikiran seperti itu. Ia tak mau, jika sampai ada yang mencintai Rena selain dirinya. Ia terlalu takut jika Rena memberikan perasaan yang sama.
Pukul 5 sore, Kean kembali ke kamarnya, mengambil handuk. Mandi sore.
**
Tugas Rena selesai. Ia merasa lega. Tangannya meraih telepon genggam. Menghubungi Kean. Tiga kali panggilan tanpa jawaban. Sore ini ia perlu seseorang yang bisa menemaninya pergi ke toko buku untuk bahan tugas makalah berikutnya. Namun sepertinya Kean masih marah kepadanya.
Rena bergegas. Pergi sendiri menggunakan angkutan kota. Gerimis tipis mulai menyelimuti kota. Rena mulai gelisah, berharap gerimis tidak berubah menjadi hujan deras. Ia tidak membawa payung sore ini.
Rena turun di tempat yang tidak jauh dari toko buku yang dimaksud. Dengan langkah yang terburu-buru Rena menuju tempat teduh secepat mungkin tanpa mempedulikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Tiba-tiba di dekatnya berdiri seorang laki-laki berperawakan tinggi melindunginya dari hujan dengan jaketnya. Wangi parfumnya sudah sangat ia kenal.
“Yugo, kok kamu ada di sini?” Rena begitu yakin jika laki-laki yang melindunginya adalah Yugo.
“Aku butuh buku referensi Rena. Makanya aku datang ke sini. Tadi siang aku mencari ke perpustakaan tidak ketemu juga. Jadinya ke sini saja. Aku ingin tugasku selesai secepatnya,” Yugo menjelaskan.
Rena tersenyum lebar. Ia merasa bahagia Yugo memiliki tujuan yang sama. Setidaknya ia tidak akan sendiri mencari buku referensi tugasnya.
Selama dekat dengan Yugo ia merasa bahagia. Bahakan selalau merasa bersemangat menyelesaikan tugas-tugasnya. Baginya Yugo memeberikan energi tersendiri, mampu membangkitkan semangat belajar yang luar biasa.
**
Hujan semakin deras. Membuat Rena dan Yugo terpaksa harus berlama-lama di dalam toko buku. Adzan magrib berkumandang. Menuntun mereka menuju mushola. Bersamaan dengan itu Kean sampai di toko buku tersebut. Ia mencari Rena ke rumahnya. Dan mendapatkan informasi jika Rena pergi ke toko buku sedangkan ponselnya tertinggal di rumah.
Kean mencari Rena di setiap sudut toko. Ia tahu tempat-tempat yang biasa Rena kunjungi. Jika bukan ke tempat buku-buku pendidikan pasti gadis itu ke tempat novel. Tapi kali ini ia tak menemukannya.
Ia sadar jika ia belum melaksanakan solat magrib. Ia segera menuju tempat solat. Langkahnya bergegas ke lantai berikutnya untuk pergi ke mushola.
Tepat di depan pintu mushola Kean menemukan Yugo dan Rena sedang memakai sepatu. Duduk bersama di bangku yang tidak jauh berada di depan pintu. Kean tak bisa menahan amarah. Ia menghampiri Yugo lalu menghantamkan puklan ke arah laki-laki itu. Namun Rena yang segera sadar akan kedatangan Kean, langsung menghadang dan pukulan itu mendarat di pipinya yang lembut.
Badan Rena tersungkur, dan dengan sigap Yugo menangkapnya. Darah segar mengalir dari ujung bibir Rena. Tanpa merasa menyesal emosi Kean kian menjadi-jadi. Ia masih berusaha berusaha memukul Yugo. Beberapa orang berusaha mengamankan. Dan akhirnya Kean diamankan oleh petugas keamanan toko.
Rena meringis kesakitan. Air matanya mengalir perlahan. Yogo dengan setia menungguinya di klinik kesahatan selama proses pengobatan dengan hati yang tak menentu. Malam kian larut dan ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Rena keluar dari ruang penanganan. Pipinya memar. Hati Yugo teriris melihat keadaan Rena seperti itu.
“Ren, ayo aku antar kamu pulang.” Rena mengangguk perlahan.
**
Gerimis tipis dan kabut yang cukup tebal menemani perjalanan mereka berdua. Yugo menjalankan motornya dengan cukup pelan dan hati-hati, khawatir Rena merasa kedinginan atau mungkin merasa lemas dan pusing. Berkali-kali ia menanyakan keadaan Rena dan selalu dijawabnya bahwa ia baik-baik saja.
Rena merangkulkan kedua tangannya ke tubuh Yugo. Dari belakang, ia merasakan kedamaian yang luar biasa. Ia merasa begitu nyaman. Dengan Yugo ia merasa dilindungi. Sedangkan Kean? Ia hanya laki-laki pengekang dan pemarah. Seandainya Kean bisa membuat Rena merasa seanyaman ini. Maka ia tak akan pernah berpikir untuk mencoba menjauh dan tak lagi memperdulikan Kean. Tapi nyatanya bukan Rena yang mau pergi dari Kean. Tapi justru sikap Kean sendirilah yang mengusir Rena secara perlahan.
Malam semakin dingin. Motor yang dikendarai Yugo sampai di pelataran rumah Rena. Ibu Rena membukakan pintu dan mempersilahkan keduanya masuk. Setelah menjelaskan semua yang terjadi di toko buku, akhirnya ibu Rena mengeti dan sangat berterimakasih kepada Yugo yang telah mengantarkan rena pulang dan menjadi sahabatnya Rena selama ini.
Pukul 9 malam, Yugo pamit. Diantar senyum Rena yang manis. Yugo mengangguk dan menyarankan Rena untuk segera beristirahat. Rena menurut. Lalu melambaikan tangan ke arah Yugo. Yugo berlalu pergi. Pergi membawa ucapan yang tak pernah berani diucapkannya kepada Rena.
Ya. Yugo selama ini menyimpan cinta untuk Rena. Cinta yang ia yakin, lebih tulus dari cintanya Kean kepada Rena.
“Lekas sembuh Rena, sungguh aku menyayangimu” Gumam Yugo dalam hati.
**
Rena, di tempat tidurnya tak bisa memejamkan mata. Ia terus memikirkan kejadian tadi. Ia tak habis fikir mengapa Kean sejahat itu. Tapi ia merasa senang bahwa Yugo tidak sampai terkena hantaman itu. Walau pun kini ia yang harus merasakan sakit dan perih pada pipinya. Namun setidaknya ia tak harus merasa bersedih melihat orang yang selama ini ia sayangi meringis kesakitan seperti yang ia rasakan saat ini.
Mata Rena berusaha terpejam. Berharap bisa tertidur lelap dan melupakan rasa sakit yang ia rasakan.
“Selamat malam Yugo, terimakasaih atas semua pertolonganmu. Aku menyayangimu.”
+ There are no comments
Add yours