Tidak semua rencana bisa diwujudkan sesuai schedule. Kadang ada yang tertunda karena masih harus lebih keras berusaha, ada yang malah lebih cepat terwujud sampai merasa mendapat hadiah, ada pula yang mungkin benar-benar lama, tertunda, lalu kita pun akhirnya lupa.
Sekeras apapun kita berusaha untuk mengejar dan mewujudkan rencana-rencana yang telah dibuat, ingatlah, selalu ada Tangan Allah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Kuncinya adalah kepasrahan dan keimanan yang tertanam dalam dada agar kita tidak lantas berkeluh kesah ketika batal mewujudkan rencana.
Seperti hari ini. Saya batal pergi menghadiri acara. Sebuah acara yang saya pikir ini begitu penting. Selain karena berhubungan dengan tanggung jawab saya, acra ini pun menghadirkan para orangtua dari mahasiswa yang tergabung dalam sebuah unit kemahasiswaan di perguruan tinggi.
Padahal sudah jauh-jauh hari diagendakan, jauh-jauh hari tanggal di kalender ditandai, bahwa Minggu ini harus bersiap, dan tidak boleh membuat agenda lain.
Qodarullah, rencana tinggalah rencana. Allah selalu Maha Pandai menghadirkan cara dan cerita untuk membuat hamba-Nya belajar sabar dan mengambil hikmah dari setiap kejadian.
Pantas saja, sejak semalam sudah ada perasaan enggan. Perjalanan yang menempuh 1,5 s.d. 2 jam perjalanan jika naik kendaraan umum dan 1 jam jika menggunakan kendaraan pribadi, kadang menghadirkan rasa tersendiri. Pikiran langsung memberi signal, “kamu harus berjuang keras untuk sampai di sana!” Terlebih saya tidak memiliki keberanian mengendarai sepeda motor sejak kejadian yang menimbulkan trauma berat beberapa tahun ke belakang.
“Kenapa ya rasanya kok ragu pergi,” curha saya pada sang penasihat sejati. Belahan jiwa yang dihadirkan Allah selama ini.
“Ikuti kata hati, kalau ragu sebaiknya tidak usah pergi,” sarannya
“Tapi ini tanggung jawabku. Doakan saja. Semoga ini bukan firasat, saya niatkan untuk menjalankan amanah saja.”
“Nah, itu jauh lebih baik,” jawabnya.
Sejak semalam, jagoan semata wayang sudah susah tidur. Lalu saya perlihatkan sebuah video yang menayangkan kegiatan persiapan di acara. Sebuah aula dengan tempat duduk dua lantai yang dikirim oleh seorang teman satu organisasi di media sosialnya.
“Nanti aku duduk di atas saja, lihatin Unda,” katanya penuh semangat.
Pagi-pagi sudah penuh drama. Dari mulai susah bangun, habis salat subuh ke kasur lagi, merem no lagi. Saya pikir memang ngantuk parah anak ini. Namun ketika sarapan pun, ia malas-malasan. Saya bujuk dengan alasan supaya tidak masuk angin nanti mau bepergian jauhkan. Masuk beberapa suap kemudian mengeluh mual dan segera berlari ke wastafel untuk memuntahkan isi perutnya.
“Gimana, kita di rumah saja?” tanyaku meyakinkan.
“Sudah muntah, Unda. Gak apa-apa. Ayo, pergi saja!”
Saya yang merasa ragu, memcoba kembali meyakinkan.
“Apa tidak apa-apa? Unda gak apa-apa lho kalau kita tetap di sini. Paling Unda cari cara agar ada yang gantiin Unda.”
“Gak apa-apa. Unda kan mau nugas,” jawabnya. Sejenak saya menelan ludah. Jawaban anak ini membuat saya terharu.
“Kamu kuat?”
“Izi kuat.”
“Tapi kamu sarapannya keluar lagi tadi. Makan apa dong?”
“Mau beli onigiri aja di minimarket” katanya. Disusul dengan menyebutkan salah satu minimarket sekitaran Majalaya.
Berangkatlah kami. Di perjalanan jagoan jadi pendiam. Biasanya ia sangat menikmati perjalanan. Ia akan dengan senang hati berkomentar soal apapun yang dilihatnya di perjalanan. Soal mobil yang tidak ada plat nomornya, soal kode plat nomor dan asal kotanya, atau soal penumpang yang kurang disiplin saat berada di kendaraan umum. Kali ini, ia diam, sesekali matanya memejam.
“Kuat, Sayang?”
“Lemes, Unda…,” jawabnya sambil menghela napas panjang.
Pikiran saya mulai berkecamuk. Dialog ramai antara hati dan logika. Di kampus saya sudah ditunggu panitia penyelenggara untuk acara pelantikan mahasiswa anggota unit Perskom Pramuka UIN Sunan Gunung Djati yang dihadiri orangtua dan beberapa undangan.
Masa sih, saya sebagai pamong unit yang notabene tuan rumahnya tidak hadir? Sementara di sini, anak semata wayangku lemas tidak berenergi. Pikirku.
Jagoan hanya mengangguk pasrah.
Sampai di pemberhentian angkot, ia turun dengan lunglai. Kami masuk ke minimarket. Jagoan malah jongkok, lalu memanggil lirih, “Unda… Izi gak kuat…”
Subhanallah, anakku lemas, badannya gemetar. Saya bergegas menuju kasir, anakku berlutut di lantai, tidak kuat berdiri.
“Duduk saja, sayang. Tunggu Unda bayar dulu!” perintahku. Sambil bersiap membayar roti yang dia pilih sebagai pengganti sarapan.
Singkat cerita, dengan susah payah kami kembali ke rumah. Gagal pergi. Baju seragam yang sudah kukenakan dipadu padan dengan kerudung, kembali ditanggalkan. Padahal, seragam itu sudah saya siapkan sejak malam hari, disetrika, digantung sedemikian rupa. Karena khawatir menyita waktu pagi hari.
Jagoan badannya menggigil. Suhu tubuhnya lebih panas dari sebelumnya.
“Semoga tidak keterusan ya, Nak. Maafin Unda,” pintaku penuh sesal.
Anak 10 tahun itu mengangguk pelan. Di sudut matanya ada cairan bening siap meluncur di pipinya.
“Izi pusing banget, Unda…”
Hati saya hancur, mengutuk diri. Ibu macam apa saya ini? Harusnya sudah sejak tadi paham kondisi. Namun usaha sang jagoan tetap saya puji. Ia justru sedang berusaha membantu ibunya menyelesaikan tanggung jawabnya.
“Gak perlu menangis, bobo aja ya. Nanti kita ke dokter.”
Ia menggeleng. “Mau bobo aja,” jawabannya.
Sejak jagoan mengeluh sakit, saya terus berusaha untuk menghubungi pihak panitia. Memberikan kabar dan permohonan maaf. Alhamdulillah Allah membukakan jalan untuk menemukan solusi. Mahasiswa akan dilantik oleh seseorang yang juga pernah menjadi pembina unit. Rasa terima kasih pun saya sampaikan kepada beliau dengan penuh takzim dan rasa bersalah karena sudah lancang memohon minta digantikan posisi sebagai pamong unit.
Dari kejadian sederhana tetapi luar biasa ini saya mengambil beberapa pelajaran bahwa:
1. Tidak semua rencana bisa terwujud sesuai schedule yang telah ditetapkan. Ada ketentuan Allah yang Maha hebat.
2. Peran dan tanggung jawab orangtua jauh lebih menuntut pemenuhan dan realisasi, beban dan tugasnya tidak bisa diwakilkan. Sedangkan peran dan tanggung jawab yang di-SK kan manusia. Masih bisa digantikan oleh yang lainnya.
3. Seurgen dan segenting apapun usahakan kepala tetap dingin dan pikiran tetap waras agar bisa berpikir jernih dan menemukan jalan keluar yang bijaksana.
4. Anak adalah amanah. Menjaganya adalah kewajiban setiap orangtua.
5. Bagi orang dewasa, pemenuhan tanggung jawab bukan lagi sebatas eksistensi di hadapan orang lainnya. Melainkan berurusan dengan akhiratnya.
Semoga bermanfaat.
+ There are no comments
Add yours