
Ilustrasi mengingatkematian. (Foto: Jana Klouckova/Unsplash)
Tetangga meninggal dunia, apakah esok giliran saya? Selalu pertanyaan itu menyeruak di dalam dada. Menimbulkan rasa takut yang luar biasa karena menyadari bahwa diri ini masih berlumur dosa dan belum memiliki banyak bekal guna mempersiapkannya. Mengingat kematian adalah terapi terbaik untuk memperkuat keimanan kita.
Hari ini, lagi, seorang tetangga meninggal dunia. Menurut cerita, beliau (alm) menjalani cuci darah selama delapan tahun lamanya. Seluruh tetangga yang datang untuk takziyah terharu bercampur pilu mendengar cerita tentang perjuangan beliau yang berjuang bertahan selama menjalani proses pengobatan. Usianya masih muda. Meninggalkan istri dan anak yang masih balita.
Sebelumnya, tetangga yang merupakan kakek tua meninggal pula karena sakit lama. Konon sakitnya karena sudah dimakan usia. Meninggalkan istri dan anak cucu yang sudah besar dan mandiri, tidak ada yang patut dikhawatirkan seperti lelaki muda tadi.
Lantas, beberapa waktu lalu pula, baru saja kami merasa bahagia karena mendapati bukti bahwa ada titipan amanah di rahim saya. Ditandai dengan garis dua pada alat tes kehamilan. Namun qodarullah, Allah belum takdirkan kami memilikinya. Janin itu luruh, membuat saya harus merasakan nyeri yang luar biasa. Bukan hanya perut bagian bawah dan sekujur tubuh yang terasa sakit, hati pun ikut teriris ketika tahu harus merasakan kehilangan sebelum benar-benar memilikinya.
“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya pasti akan menemuimu. Kamu kemudian akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (Al Jumuah ayat 8)
Namun apa yang bisa dilakukan oleh kita sebatas makhluk semata? Kepergian dua tetangga dan janin yang bahkan belum ditiupkan ruh ke dalamnya, menunjukkan bahwa takdir tak pernah bisa dipungkiri. Walaupun kita diwajibkan percaya pada Qada dan Qadar-Nya, tidak dapat dielakan bahwa kesedihan itu akan tetap ada. Seperti halnya tetangga yang ditinggalkan pergi untuk selamanya oleh orang yang sangat dicintai, kami pun berduka karena kehilangan calon bayi kami.
Namun ini bukan hanya soal kesedihan karena kehilangan dan kematian seseorang. Ada hal lain yang sejatinya harus membuat semua orang yang mengaku muslim bersedih. Tidak terkecuali saya. Kesedihan itu adalah soal bekal kematian itu sendiri. Sudah siapkah saya meninggal dunia?
Nyatanya, kematian tidak selalu datang di usia tua seperti pak tua, tetangga yang meninggal ketika renta. Pun tak selalu datang karena penyakit seperti tetangga yang meninggal karena cuci darah bertahun-tahun. Bahkan yang masih dalam kandungan pun bisa dengan sekejap diambil, hilang dan lenyap seketika.
Sementara itu, di luar sana banyak yang meninggal dengan jalannya yang beragam. Ada yang tenggelam, tambrakan, ditembak, tersesat di hutan saat pendakian, terbakar di rumah sendiri karena musibah kebakaran, terjerembab ke sumur karena lengah saat berjalan, tertimbun longsoran batu ketika sedang berjuang mencari nafkah di penambangan, bahkan ada yang mengenaskan terbunuh oleh pelaku kejahatan. Tentu banyak sekali cara Allah mengambil manusia dari muka bumi tanpa dapat kita sebutkan lagi bagaimana caranya. Allah Maha Berkehendak, Dia selalu punya skenario terbaik yang tidak pernah bisa kita duga sebelumnya.
“Orang mukmin yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling bagus persiapannya untuk menghadapi kematian” (HR. At-Tirmidzi).
Maka apa yang bisa menjadikan kita merasa tenang berdiri, menjalani hidup dengan bersantai ria hari ini? Menikmati hari tanpa merasa bahwa kematian akan datang menjemput kapan dan di mana saja. Jika mau ditelaah, maka di seluruh dunia ada jutaan nyawa yang melayang di setiap detik waktu yang kita lalui sekarang. Mungkin giliran kitalah selanjutnya.
Entah keluarga, tetangga, rekan dan karib kerabat juga mungkin saya setelah menulis tulisan ini tidak lagi mampu menyapa Anda karena ajal lebih dulu menyapa; menjemput saya.
Bersyukurlah jika hari ini kita masih bisa bernapas lega dan menghirup udara tanpa ada kendala. Bersyukurlah ketika masih bisa menikmati makanan dan minuman yang dapat mengisi perut kita. Namun selayaknya jangan pernah lupa bahwa setiap hela napas yang kita rasakan adalah pinjaman dari Allah yang Maha Kuasa. Jadikanlah setiap detiknya berharga. Jangan sampai digunakan dengan hal yang berguna. Tetaplah ingat, bahwa makanan dan minuman yang masuk ke tubuh kita pun sesuatu yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang sudah sepatutnya kita syukuri semuanya. Jangan sampai kita menjadi manusia yang kufur nikmat.
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607).
Apa yang saya tuliskan di atas hanya sebagai pengingat diri dan mungkin Anda yang membacanya sampai paragraf akhir tulisan ini. Saya bukan sedang menggurui, hanya sedang berbagi rasa takut; takut kematian menjemput saat diri ini lupa akan tugas sebenarnya hidup di muka bumi.
Jika harus dijemput kematian, maka matilah kita pada saat yang seharusnya dalam keadaan terbaik. Siapapun tentu menginginkan akhir hidup yang husnul khatimah bukan? Mari kita saling mendoakan dan memaafkan atas semua kesalahan. Semoga kita memiliki akhir yang baik. Walaupun di belakang penuh dosa dan hina dina. Akan tetapi, alih-alih meratapi betapa banyaknya dosa kita, mulai berfokus untuk mengumpulkan amal soleh adalah hal yang lebih berguna.
Wallahu a’lam bishawab.