Semakin hari tantangan besar pendidik semakin terasa berat. Bagaimana tidak, di era kekinian semakin banyak manusia yang aneh. Dari mulai para remaja putri yang seolah sudah putus urat malunya, mengumbar aib di media sosial, para pejabat yang sudah tidak peduli dengan janji manis saat mengharapkan dukungan suara. Era dimana tauran membawa sajam menjadi sangat biasa, bunuh membunuh seakan bukan lagi hal tabu. Bahkan, banyak anak yang lahir, ibunya bingung bapaknya yang mana? Mengerikan. Akhirnya, siapa yang mau dipersalahkan atas “ketidakwarasan” manusia sekarang?
Menilik kebijakan sekolah daring yang dulu diwajibkan saat tingginya kasus covid-19, mau gak mau harus dilakukan. Tidak sedikit orang yang memiliki pertanyaan yang sama; mengapa pusat perbelanjaan, mall, tempat-tempat wisata boleh tetap dibuka sementara sekolah wajib tutup dan tidak bisa melawan kebijakan tersebut? Berani coba-coba membuka kelas, maka teguran, peringatan, dan bahkan ancaman penutupan izin oprasional mendarat di pesan singkat ponsel kepala sekolah.
Dari sana, saya menjadi paham. Bahwa selain adanya kebijakan lain yang dipercaya merupakan yang terbaik dari para pemangku kebijakan, saya berpikir, memang harus seperti itulah. Sekolah harus menjadi teladan dalam hal kepatuhan kepada pemerintah. Sekolah harus menjadi lembaga paling nomor satu dalam hal mengikuti dan taat kepada kebijakan-kenijakan yang berlaku di negara ini. Artinya, sekolah adalah tempat untuk menjadikan manusia menjadi terdidik yang bisa lebih bersikap kooperatif.
Begutu pula dengan kasus-kasus yang terjadi hari ini. Ketika para pelajar bablas main tiktok dengan gerakan dan aksi erotis, ibu-ibu rumah tangga yang notabene diam di rumah tetapi liar dan berani bergaya di media sosial; dengan lidah menjulur dan kedipan mata mereka yang genit; maka sekolah lah yang harus menjadi garda terdepan yang membentengi sikap para peserta didik agar tidak terlalu banyak lagi manusia-manusia kaum putus urat malu seperti itu.
Tingginya kasus tauran dan aksi saling serang sudah menjadi hal biasa. PErbuatan bulying sudah menjadi budaya yang dianggap sebagai penyelesaian konflik. Lagi-lagi, sekolah lah yang harus meningkatkan perannya untuk mengurangi peserta tauran dan pelaku bulying tersebut.
Mengapa saya mengatakan mengurangi? Karena kasusunya memang sudah terlalu tinggi. Tanpa sistem yang dibangun bersama-sama maka itu semua tidak bisa dihentikan dengan mudah begitu saja. Untuk mendidik manusia terutama generasi muda, bukan hanya satu pihak yang harus bekerja. Melainkan seluruh elemen harus terlibat di dalammya. Orangtua, guru dan sekolah, pemangku kebijakan, dan masyarakat luas harus lah bekerja sama untuk menghentikan ini dan mengembalikan kehidupan menjadi kehidupan yang penuh dengan norma dan kedamaian.
Namun ketika orangtua yang katanya sibuk bekerja, menyerahkan pendidikan anak-anak dan remaja kepada sekolah, apa boleh buat? Sekolah lah yang harus bekerja keras untuk melakukannya.
Orangtua dengan penuh harap menyerahkan pendidikan anak-anak kepada pihak sekolah. Ketika anaknya membangkang di rumah, dengan cekatan orangtua bertanya, “dengan siapa anaknya bergaul di sekolah?” “Anak manakah yang memengaruhi anak saya sehingga menjadi pembangkang sepeti itu?” “Kenapa anak saya jadi berubah, apakah di sekolah tidak diajarkan tata krama?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang kerap hadir dari para orangtua yang merasa tidak puas dengan hasil didikan guru di sekolah.
Ternyata tantangan beratnya belum selesai sampai di situ. Setelah di sekolah dididik sedemikian rupa, anak-anak pulang ke lingkungan masyarakat. Bergaul dan melihat berbagai kejadian, belajar dari sosok tertentu, atau secara tidak sengaja melihat sepintas pun anak-anak langsung meniru. Sikap anak yang sudah baik di sekolah begitu gampang terkontaminasi. Di sekolah telah dibuatkan sistem, di lingkungan masyarakat tentu berbeda lagi.
Sedangkan, ketika anak-anak remaja melakukan hal-hal menyimpang, maka siapa yang kembali dipersalahkan? Lagi-lagi sekolah bukan? Kendati mereka tidak mengenakan seragam, jika aksi mereka menimbulkan korban, maka komentar miring yang paling sering dilontarkan banyak orang adalah, “nuraninya kemana? kayak gak pernah sekolah saja!”
Apabila tawuran menggunakan seragam, yang disorot apakah para orangtuanya? Tentu saja bukan. Melainkan sekolah tempat nama mereka tercatat sebagai siswa. Logo dan atribut yang ada di baju mereka lah yang menjadi sorotan.
Lagi-lagi sekolah yang dipersalahkan. Termasuk ketika ada siswi yang terkena kasus pergaulan bebas, kembali sekolah yang dicap buruk. Hanya karena beberapa oknum siswi yang bertabiat menyimpang. Akhirnya, sekolah menjadi kambing hitam atas penyimpangan yang terjadi.
Dengan sederet beban dan tugas berat pendidikan, sekolah tidak mungkin menyerah dan menutup bangunannya untuk tidak lagi menerima siswa. Sekolah akan tetap buka karena manusia zaman sekarang masih butuh status, butuh ijazah. Namun satu yang tidak boleh hilang sama sekali dari sekolah. Yaitu, esensi pendidikan yang harus selalu mendarah daging di tempat yang dinamakan sekolah.
Maka kini yang harus berjuang keras di era yang serba aneh, gila, otak miring bahkan kayak gak ada otak, yang nuraninya hilang, zaman pada putus urat malu ini adalah para pendidik. Para guru yang mengaku sebagai pendidik dan pengajar di sekolah. Yang bergelar ‘Sarjana pendidikan” atau siapapun yang ikut berperan di dalam sistem persekolahan.
Para pendidik dan pelaku pendidikan tidak boleh berhenti berpikir bagaimana caranya mendidik manusia sesuai dengan tujuan pendidikan, “memanusiakan manusia.” Karena bisa jadi, mereka yang hobi korupsi, hobi mabok, hobi tauran bawa sajam, hobi nyuri, yang gak malu umbar aib dan aurat, yang tidak segan ngebunuh, dll itu di sekolahnya dulu tidak mendapatkan pendidikan yang bermakna dari guru-guru mereka.
Guru-guru hanya mengajar agar para murid bisa mengerti sesuatu. Bukan memahami sesuatu. Guru hanya memberi tahu untuk melakukan sesuatu, bukan membuat mereka mengerti mengapa harus melakukan itu. Imbasnya, murid-murid melakukan hal baik sebagai formalitas. Bukan menjadi rutinitas.
Contoh kecil, ketika azan berkumandang, mahasiswa yang sedang mengadakan pelatihan, menghentikan kegiatannya di seminar. Namun apa yang terjadi, mereka hanya membiarkan kumandang azan selesai begitu saja. Kegiatan memang berhenti sejenak. Namun mereka tidak segan ngobrol bisik-bisik dengan suara yang lebih nyaring, bahkan sampai tertawa dengan teman duduk terdekatnya. Artinya mereka baru bisa melakukan, belum sampai paham mengapa harus melakukan. Miris.
Banyak guru yang hadir di sekolah hanya sebagai pengajar mata pelajaran, tetapi tidak berhasil menjadi teladan. Ia masih kesiangan, terlambat masuk kelas, serta tidak berpakaian rapi atau bahkan kurang sopan. Masih bicara kasar di depan siswa dan membiarkan kasus pelanggaran tanpa berniat untuk menegakkan kebenaran. Bahkan di luar sekolah dia masih asik melakukan tindakan asusila.
Dewasa ini banyak sekali guru yang masih belum cekatan menolong muridnya yang memiliki kesulitan, kurang perhatian. Yang penting saya sudah menyampaikan materi dan mereka mengerti materi, maka selesai sudah. Guru hanya sebatas bisa mengajarkan pengetahuan, belum sampai menjadi alasan mengapa para murid harus terus menggali ilmu pengetahuan.
Mirisnya, malah masih banyak pendidik yang mentalnya tidak mendidik. Sedangkan salah satu kesiapan pendidik yang benar-benar harus dikedepankan adalah; kesiapan untuk mendidik dirinya sendiri.
Pada akhirnya beban dan tantangan pendidik menjadi berlipat ganda. Bukan lagi soal bagaimana menghadapi peserta didik dan menjadikan mereka manusia yang beretika dan mentaati norma. Namun tantangan terbesarnya adalah, dirinya sendiri. Mereka masih cukup kesulitan untuk menata sikap, menjadi pribadi yang dewasa dan mampu menjadi teladan bagi peserta didiknya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 pasal 8, para guru yang berhak mengajar di sekolah harus memiliki 4 kompetensi. Meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang akan didapatkan jika mengikuti pendidikan profesi. Tanpa empat kompetensi tersebut, akan sangat sulit untuk mendapatkan sosok pendidik yang hebat bagi anak-anak.
Semoga para pendidik dan pelaku pendidikan semakin sadar akan tugas berat yang ada di pundak mereka. Dunia ini sudah krisis etika. Sudah krisis karakter. Jika tidak diluruskan oleh pada pendidik, maka siapa lagi yang lebih bertanggung jawab?
Semangat lah para pendidik. Jangan sampai semakin banyak orang yang mengaku sebagai guru yang harusnya mendidik dengan penuh contoh dan suri tauladan malah memiliki karakter yang tidak patut dicontoh oleh siswa-siswinya.
Semoga bermanfaat.
+ There are no comments
Add yours