Suka duka seorang kepala sekolah. Seharusnya saya berpikir dari awal bahwa tulisan ini tidak semestinya hadir ke permukaan. Khawatir disangka curhat atau apalah soal pandangan orang lain kepada saya. Terlebih saya belum memiliki kemampuan yang baik di bidang profesi yang saya sebutkan di judul. Saya hanya memiliki sedikit bekal pengalaman selama saya menjalani profesi guru selama 8 tahun, selama itu pula saya bisa menyelami betapa beratnya memikul tugas menjadi pendidik anak-anak bangsa.
Namun, entah kenapa sekarang saya begitu ingin menuliskan apa yang saya pikirkan saat ini di sini, di blog pribadi milik saya saya sendiri.
Semoga ini tidak termasuk perbuatan berkeluh kesah. Hanya sekadar ingin membagi pengalaman dan cerita. Saya tidak tahu, apakah tulisan ini akan disimpan saja di draf atau memang akan “nekat” diposting saja dengan harapan bisa menjadi inspirasi bagi yang lainnya.
Saya bukan mau mengeluh. Hanya sedang terus berusaha menghibur diri bahwa tanggung jawab yang diemban adalah sebuah amanah mulia yang jika saya lakukan dengan sepenuh hati maka pahala yang akan didapati. Saya tidak ingin lelah ini hanya berbuah letih yang tiada henti.
Namun kadang memang rasa lelah hati dan lelah pikiran kadang singgah berkali-kali. Saya pun tidak bisa memungkirinya. Entah saya yang terlalu berlebihan atau mungkin memang keadaan yang bertubi-tubi ingin mengajarkan saya untuk jauh lebih mendewasakan diri. Saya hanya terus mencoba mengimani bahwa alasan yang kedua lah yang kini sedang terjadi. Ya, saya sedang diajarkan Allah untuk terus menuju kedewasaan dan kematangan.
Bagaimanapun saya tetap menikmati amanah ini dengan sepenuh hati. Adapun rasa lelah, saya anggap sebagai sesuatu yang manusiawi apalagi saya belum terlalu lama menjalani amanah ini.
Saya jadi teringat perjuangan ayah di kampung halaman. Dimana ia menjabat sebagai kepala sekolah puluhan tahun lamanya dengan suka duka yang luar biasa. Ditempatkan di daerah terpencil dengan jarak tempuh dan rute perjalanan yang luar biasa. Tanpa aspal, tanpa penerangan. Jika hujan, jalanan licin. Kendaraan bisa tergelincir dan jatuh terjerembab ke semak-semak di ladang penduduk.
Keadaan guru yang kurang memiliki tanggung jawab terhadap tugas; datang siang, membiarkan kelas-kelas kosong. Ayah memilih masuk ke semua kelas untuk memberikan pelajaran secara bergiliran.
Bayangkan, ayah adalah seorang kepala Sekolah Dasar. Enam kelas harus diisi sambil menunggu gurunya datang mengisi kelas sesuai dengan tugas. Belum lagi, masalah guru yang datang sesuka hati, dan pergi tanpa permisi. Namun di balik tantangan-tantangan yang dilewati ayah, banyak sekali pelajaran yang bisa saya ambil dari kisahnya. Prestasinya pun tidka kalah banyaknya.
Beruntung, ayah sekarang sudah pensiun dan berhenti. Kini ayah sudah tidak merasakan lagi rasa lelah itu. Sudah saatnya merasakan istirahat di waktu purna bakti.
Saya sendiri, sekarang sedang terus memotivasi diri. Mendapatkan amanah dua lembaga untuk dipimpin dan dibawa maju. Lembaga dengan jenjang yang berbeda. Andai saja jenjangnya sama, mungkin managerial dan cara perlakuan saya akan mudah saja disama ratakan, tinggal sedikit penyesuaian dengan kondiri keadaan masing-masing lembaga.
Namun ini berbeda. Sekolah Dasar dan Taman kanak-kanak tentunya memiliki banyak perbedaan dalam pengelolaan. Saya yang baru belajar menjadi kepala di tahun kedua masa kerja dengan dua lembaga, masih sering merasa ketar-ketir menghadapinya.
Seolah menjadi lelaki yang sedang poligami memiliki dua istri. Harus terus belajar memahami keinginan keduanya. Berusaha memenuhi kewajiban kepada keduanya tanpa ada yang tertinggal, terabaikan, terbengkalai dan dirugikan. Adil itu begitu sulit dilakukan. Padahal, beban beratnya tanggung jawabnya sama saja, hak dan kewajibannya sama saja. Beruntung, teman-teman guru masih bisa memahami kondisi.
Kadang lelah hati tiada tara, ketika sudah ada acara dengan jadwal yang sama. Otak saya terkuras, mencari akal bagaimana caranya agar dua-duanya bisa terpenuhi tanpa harus mengorbankan satu sama lain. Tidak sedikit, kesehatan pribadi yang menjadi korban. Kadang, janji dengan sang buah hati yang terpaksa harus diingkari karena harus menyelesaikan tanggung jawab yang besar ini.
Belum lagi, ketika sedang tidak enak badan alias terserang sakit. Pagi-pagi sekali merangkai kalimat yang siap dikirim ke grup whatsapp untuk menitipkan ini itu. Berniat mengambil waktu untuk memulihkan kesehatan diri. Karena kalau saya sakit bertambah parah, maka akan lebih berabe juga. Banyak tugas yang akan semakin terbengkalai lagi dan lagi. Namun belum juga pesan itu terkirim, sebuah pesan masuk melalui jalur pribadi.
“Asssalamualaikum, Bu. Mohon maaf saya izin tidak masuk hari ini.”
Seketika badan yang lemah dipaksa berdiri, kepala yang pusing dipaksa melupakan semua keluhan yang ada di sekujur tubuh. “Hari ini saya harus kuat, agar di sekolah tidak ada kelas yang kosong.” Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa kepala sekolah tidak boleh sakit dan harus pandai merawat kesehatan diri. Bahkan kalau sekadar sakit influenza anggap saja tidak ada. Selama masih kuat berjalan, maka lakukan saja.
Kenapa saya sekeras ini kepada diri sendiri? Mengurus sekolah adalah mengurusi umat manusia. Bukan mengurusi mesin mati seperti di ruangan labolatorium atau di pabrik yang penuh dengan mesin-mesin yang hanya akan bergerak jika dihidupkan.
Manusia-manusia itu memiliki jiwa yang harus dididik dengan penuh kesungguhan. Memiliki pikiran yang sedang tumbuh memerlukan bimbingan dan keteladanan. Mempunyai sikap yang harus diarahkan. Satu jam saja kita meningggalkan dan mengabaikannya, maka ada seribu kemungkinan kesalahan, kegagalan, insiden, pertengkaran, baku hantam dan perkelahian. Jatuh tersungkur, bulying dan kejadian-kejadian lain yang tidak diharapkan ketika kelas kosong.
Menjadi pendidik buka hanya menemani anak-anak belajar dari mulai bel masuk sampai bel pulang berbunyi. Namun mendidik adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menjadikan seseorang menjadi tertidik, terjaga, dan terdampingi tumbuh kembangnya. Karena itu sebuah hal yang sangat menyenangkan jika ternyata bisa mendampingin anak-anak belajar. Mellihat senyum-senyum dan binar mata mereka.
Saya sadar, meskipun kepala sekolah tugasnya memegang peran managerial, tetap saja harus memastikan keadaan sekolah dalam keadaan kondusif dan baik-baik saja. Tidak terkecuali menggantikan guru yang tidak hadir hari itu.
Siapa bilang kepala sekolah bisa seenaknya meninggalkan lembaga dan mengerjakan aktivitas lain di luar tugas pokoknya? Kalaupun terpaksa harus meninggalkan tugas, pastikan semua tetap dalam kendali dan tertangani.
Itulah suka duka seorang kepala sekolah yang saya rasakan sampai sat ini. Semoga bermanfaat.
+ There are no comments
Add yours