Sistem zonasi sekolah selalu menimbulkan banyak cerita setiap tahunnya. Kebijakan yang dikenalkan pertama kali pada tahun 2016 dan berlaku efektif mulai 2017 lalu ini memang selalu membuat ramai jagat percakapan para orangtua yang memiliki anak usia sekolah di media sosial maupun di dunia nyata.
Banyak keluhan dari yang tidak berhasil di terima di sekolah favorit ada juga yang merasa beruntung karena tidak perlu masuk melalui tes dari orang-orang yang memang memiliki rumah berdekatan dengan sekolah unggulan.
Kebijakan sistem zonasi ini konon merupakan salah satu usaha pemerintah yang direalisasikan oleh kementrian pendidikan dalam rangka mempercepat pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Maklum, dulu siswa berprestasi bertumpuk kumpul semua di sekola tertentu. Sedangkan di sisi lain ada sekolah-sekolah yang memang sepi peminat dan bahkan ditinggalkan warganya sendiri karena lebih memilih sekolah yang jauh dengan alasan sekolah yang jauh tersebut lebih memiliki kualitas yang lebih baik dan sesuai dengan harapan.
Positifnya, memang setiap daerah memiliki kesempatan untuk memajukan pendidikannya masing-masing. Sekolah-sekolah di daerah dapat memiliki dan membina siswa berprestasi di lokasinya masing-masing. Olimpiade, perlombaan, bisa mengirimkan siswa berprestasi karena anak-anak yang berpotensi di lingkungan sekolah setempat tidak pergi sekolah kemana-mana. Sayangnya tidak semua sekolah dianggap benar-benar mampu mengolah dan memfasilitasi potensi anak-anak tersebut.
Namun kemudian, beberapa temuan mengejutkan, kebijakan ini malah memancing “kreatifitas” para orang tua untuk melakukan akal bulus kecurangan demi agar anak-anaknya bisa sekolah favorit. Misalkan saja, dengan memindahkan nama anak ke Kartu Keluarga kerabat yang rumahnya berdekatan dengan sekolah. Hal ini belakangan sudah menjadi rahasia umum. Bahkan di beberapa daerah ditemukan ratusan siswa terancam gagal masuk SMA negeri karena ketahuan menggunakan alamat palsu demi agar dekat dengan sekolah dan terdaftar dalam siswa zonasi.
Ada lagi yang katanya nitip nama dengan nominal tertentu. Orang tua membayar sejumlah mahar agar anaknya diloloskan di sekolah tersebut. Ini juga sudah menjadi rahasia umum walaupun tidak ada yang berani menyajikan data lengkapnya. Kendati hanya sebatas, “katanya,” tetapi percayalah hal ini ada banyak dilakukan oleh para orangtua yang tentu saja menginginkan segala hal yang terbaik untuk anak-anaknya.
Kelakukan oknum orang tua ini lah yang malah menodai pendidikan itu sendiri. Anak-anak mungkin lolos menjadi sisw di salah satu sekolah ternama, tetapi ditempuh dengan jalur curang. Apakah tidak akan malah berimbas kepada mental dan karakter anak iu sendiri?
Dilema memang. Menyekolahkan anak tentunya ingin memberikan pendidikan terbaik kepada anak. Namun, di beberapa lokasi tertentu saja sistem zonasi seolah menjadi kendala, hambatan dan kurungan tersendiri bagi orang-orang yang ingin sepenuhnya berkembang dan betul-betul ingin memberikan/mendapatkan pendidikan terbaik.
Mengapa saya katakan bahwa sistem zonasi menjadi kendala? Jawabannya adalah ada pada lingkungan masing-masing daerah yang tidak selalu kondusif untuk pendidikan. Banyak daerah yang masih sangat tertinggal. Ada sekolah terdekat, tetapi masih kurang sentuhan, gurunya belum kreatif (metode pembelajaran klasik, kaku dan kurang menyenangkan), minim fasilitas, kegiatan ekstra kurikuler yang tidak beragam, serta lingkungan sekitar sekolah yang tidak refresentatif. Lingkungan seperti itu dianggap tidak akan mampu mengembangkan potensi siswa dengan secara maksimal. Kurang membuka pola pikir, tidak ada ruang kreasi, dan tidak memancing daya saing pada anak.
Sementara, ketika ingin memaksa masuk ke sekolah favorit yang jauh dari tempat tinggal, hanya mengandalkan jalur prestasi. Sedangkan tidak semua orang tua memacu anaknya untuk memiliki nilai yang sempurna. Banyak orangtua yang lebih memotivasi anaknya untuk memiliki karakter yang baik terlebih dahulu dibandingkan dengan mengejar nilai berupa angka 95 ke atas agar dapat mendaftar sekolah favorit dan masuk lewat alur prestasi.
Orangtua yang sayang anak, tidak mau karakter anak dirusak oleh lingkungan masyarakat di sekitar sekolah yang kurang kodusif tentunya. Ada beberapa daerah yang lingkungannya masih subur premanisme, prostitusi, dan hal tidak mendidik lainnya. Sebaik-baiknya pendidikan di rumah, lingkungan masyarakat, pertemanan dan interaksi sosial yang terjadi pada anak di luar sekolah pun ikut memberikan perngaruh yang kuat oada tumbuh kembang karakter anak.
Ingin menanamkan karakter, tetapi tidak masuk zonasi sekolah yang tepat. Adalah jalur tes karakter di sekolah negri unggulan? Apakah satu-satunya pilihan sekolah untuk anak-anak yang difokuskan karakter dan nilainya pas-pasan hanya bisa masuk pesantren yang tidak menggunakan sistem zonasi?
Lantas apa kabar biayanya?
+ There are no comments
Add yours