Arya dan Nala duduk bersama di tepi danau. Tanpa sepatah kata yang mungkin bisa sekadar menghangatkan suasana dan perbincangan mereka sore itu. Keduanya hanya diam bergelut dengan pikirannya masing-masing. Padahal, pertemuan itu sudah mereka atur sejak jauh-jauh hari. Berjanji bertemu di tempat pertama kali mereka saling mengakui bahwa keduanya saling jatuh cinta untuk pertama kali. Namun kini, bisu menyelimuti keduanya.
Dengan pikiran yang ramai di kepala masing-masing, mereka duduk berdua dengan dipisahkan 50 cm jarak di antara mereka.
Embusan angin sore itu menyibak anak rambut Nala yang menari-nari. Sesekali Nala merapikan rambutnya. Sementara Arya menahan diri untuk tidak ikut campur soal rambut Nala. Padahal ingin seklai ia yang merapikan bahkan mengelus rambut indah Nala.
“Ah, aku tidak boleh melakukannya,” gerutu Arya mengutuk dirinya sendiri.
“Nala,” ucap Arya pelan, “aku sering berpikir tentang kata-kata itu, ‘Setiap orang ada masanya. Setiap masa ada orangnya.’ Menurutmu gimana, benarkah begitu?” Arya memberanikan diri memulai percakapan.
Beku mulai memudar, akhirnya ada topik pembicaraan juga bisik hati mereka.
Nala tersenyum, “ya, aku juga sering mendengarnya. Namun memang, terkadang kita tidak bisa meramalkan siapa yang akan tetap berada dalam hidup kita, dan siapa yang akan pergi menjauhi kita,” jawab Nala datar. Matanya masih asik tertuju ke arah danau. Kerlipan pantulan cahaya matahari yang kian memudar berwarna jingga begitu cantiknya.
Arya mengangguk, “betul Nala. Terkadang, orang yang begitu akrab dengan kita suatu saat bisa saja kabarnya sudah tidak terdengar lagi. Bahkan bisa lebih tragis. Orang itu pergi jauh meninggalkan kita. Ada juga orang yang dulu asing, bahkan gak tahu asal usulnya, tiba-tiba menjadi salah satu tempat mencurahkan segala suka dan duka terbaik kita.”
Nala menatap Arya. Sejenak retina mereka bertemu, “seperti kita. Dulu kita tidak saling mengenal. Kini menjadi bagian penting dalam hidup masing-masing. Lantas, mungkin suatu hari kita akan kembali asing,” ujar Nala seraya menelan saliva dan menghela napas panjang.
Arya tersenyum, “betul sekali.” tukas Arya sambil tersenyum simpul.
“Dalam hidup, kita tidak bisa menghalangi siapa pun untuk tetap tinggal,” sambung Arya lagi. “Kita pun tidak bisa memaksa siapa pun untuk tetap tinggal dalam kehidupan kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan yang terbaik pada setiap masa. Kau tahu kenapa?” tanya Arya.
“Hm, iya kenapa?” Nala balik bertanya. Dahinya mengernyit menunggu jawaban Arya.
“Agar kelak, ketika masa seseorang di dalam hidup kita berakhir, tidak akan ada penyesalan yang tertinggal.”
Nala menarik napas dalam-dalam, “itu benar, Ar. Kadang hidup memberikan kejutan-kejutan yang tidak terduga. Namun yang pasti, kita harus menjalani setiap momen dengan sebaik-baiknya. Menghadirkan sikap dan perilaku yang jadi legasi untuk orang setelah kita.”
Arya tersenyum lembut, “kau selalu memberikan kebijaksanaan, Nala. Aku merasa obrolan ringan bersama orang terdidik sepertimu bisa menumbuhkan rasa dan pikiran baru dalam hidupku. Terima kasih ya, telah menjadi bagian dari masa-masa terindah ini.”
Nala menyentuh tangan Arya. Jemarinya terasa dingin. Angin sore itu telah menciptakan gigil tersendiri di tubuh dan hati Nala.
“Sama-sama, Ar. Semoga kita bisa terus memberikan yang terbaik satu sama lain, tak peduli apa pun yang terjadi di masa depan. Aku akan selalu mendoakan mu. Mendoakan seluruh yang terbaik untukmu seperti yang selalu aku lakukan dulu,” ucap Nala dengan mata berkaca-kaca.
“Hai, jangan sampai air matamu jatuh lagi, Nala. Cukup kesedihan itu dikemas rapi saja. Hari ini dan seterusnya kita harus terus tersenyum bahagia. Meskipun takdir Tuhan tidak sejalan dengan apa yang kita dambakan. Namun ada satu hal yang selalu ingin ini tertanam dalam hati dan pikiranmu,” ujar Arya. Kalimatnya terputus. Matanya menatap tajam perempuan yang sangat dikasihinya.
“Apa itu, Ar?” tanya Nala dengan tatapan sendu.
“Aku ingin kamu selalu yakin bahwa, satu, Tuhan selalu tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi, yakinlah bahwa apapun yang terjadi dengan kita, dulu, hari ini dan seterusnya adalah ketetapan Tuhan yang sudah digariskan-Nya. Kedua, aku ingin kau percaya bahwa sampai kapanpun di hati ini akan selalu ada namamu. Bersinggasana dalam tempat terbaik,” ucap Arya serius.
Nala kembali menghela napas panjang. Lalu mengangguk pelan tanda sepakat.
Sejak dulu, Nala selalu percaya dengan apa yang diucapkan oleh Arya. Lelaki cerdas dan pandai bersikap itu selalu berhasil menundukkan hati dan perasaan Nala tanpa perlawanan. Bagi Nala, Arya adalah sosok terbaik dalam hidupnya. Hanya saja benar yang dikatakan Arya, bahwa setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Mungkin inilah takdir terbaik, bahwa waktu mereka untuk saling menjaga telah sampai pada titik akhir. Mereka harus berpisah karena ada orang lain yang sudah datang dan harus menjadi pengisi masa-masa hidup mereka selanjutnya.
Senja semakin redup. Gelap hampir turun saat Arya dan Nala memutuskan untuk beranjak dari sana. Tepi danau tempat mereka mengikat janji dan mengakhiri semuanya dengan perasaan damai dan hati yang tenang.
Pelita kini telah mengganti gulita dalam hati mereka. Keyakinan pada takdir Tuhan telah bersemi jauh lebih baik. Terutama di hati Nala yang lebih sering terombang-ambing karena tidak bisa mengendalikan perasaan.
“Ar, aku pamit ya,” ucap Nala.
“Ya, aku juga,” jawab Arya dengan senyuman yang lebih tulus. Hatinya terasa jauh lebih ringan.
Gelap kian pekat. Saat Nala dan Arya kembali pulang. Pulang ke rumah yang banar, untuk menjadi penjaga hati seseorang yang telah bersumpah sakral untuk menemani mereka dalam ikatan halal yang lebih nyata.
+ There are no comments
Add yours