Cerpen berjudul Senja di Bawah Pohon Flamboyan karangan Diantika IE ini sudah dimuat di buku antologi berjudul “Senja” yang diterbitkan CV. Perahu Litera Grup tahun 2017.
Senja temaram menyelimuti. Cahayanya jingga mendamaikan jiwa. Hari ini hari Sabtu, hari yang begitu baik. Sepanjang hari cuaca cerah. Akhir pekan yang cocok dipakai jalan-jalan.
Muda-mudi berpasangan. Berbonceng dengan rona kebahagiaan di wajah mereka. Terbaca sudah, begitu bahagianya mereka sore ini.
Tampak beberapa pasangan menggunakan pakaian casual dengan warna senada. Mereka semakin terlihat serasi, siap menghabiskan Saturday night mereka.
Adapun mereka yang masih menggunakan seragam putih abu, hanya ingin menghabiskan waktu sampai petang hari. Atau sedikit korupsi waktu sampai azan magrib, sebelum orangtuanya mengintrogasi mereka gara-gara pulang terlambat.
Tepat di bawah pohon Flamboyan yang sedang berbunga mekar warnanya merah menyala, sepasang muda-mudi asik memadu kasih. Berbincang tentang apapun yang menjadi topik kesukaan mereka. Binar mata mereka cukup menjelaskan bahwa betapa kuatnya ikatan cinta di antara keduanya. Mereka memarkir motor di sana. Kelopak bunga yang berguguran menambah efek romantis tempat itu.
Di depan mata, terhampar luas pesawahan berbatasan langsung dengan kokohnya gunung yang berdiri angkuh tepat di ujung sawah. Di balik gunung, matahari berwarna jingga bulat sempurna nyaris seperti permen rasa jeruk perlahan mulai turun ke peristirahatannya. Udara pun mulai sejuk, setelah seharian bumi diterpa teriknya matahari.
Pemuda duduk di atas jok motornya, sementara yang perempuan berdiri menghadap pemandangan senja yang tidak pernah ingin dilewatkannya. Seolah di sanalah ia mendapatkan ketenangan yang luar biasa.
Hampir setiap akhir pekan selepas mengikuti kelas kuliah yang padat dari pagi hingga pukul empat, mereka selalu menyempatkan diri untuk menikmati senja di tempat itu sampai azan magrib memaksa mereka untuk meninggalkan tempat itu. Pemandangan itu selalu terlihat hampir setiap akhir pekan.
**
“Kamu tahu apa yang paling aku suka?” bisik Rana kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya.
“Hm,” Hexa menjawab dengan gumaman. Lantas lelaki itu meraih tangan Rana dan menggenggamnya lalu bertanya, “apa lagi sekarang yang lebih kau sukai selain gerimis, wangi hutan dan bau pohon pinus, Rana?”
Rana tersenyum geli, mendengar pertanyaan itu. Memang Hexa selalu ingat hal-hal yang ia sukai dan tidak disukainya. Termasuk soal gerimis, dan kerinduannya kepada rerumputan dan hutan, serba bau pohon pinus.
Bagi Rana, laki-laki itu bagaikan magnet berbentuk lingkaran selalu berhasil menarik hatinya dari segala arah. Entah sejak kapan Rana mulai getaran-getaran aneh yang hadir di dalam dadanya.
Semula ia selalu berusaha menepis semua yang ia rasakan terhadap Hexa. Karena ia sadar, ia tidak mungkin menyukai laki-laki yang usianya empat tahun lebih muda darinya itu.
“Aku menyukai senja dan Kamu, Hexa,” ucapa Rana seraya menatap laki-laki itu dalam-dalam. Seolah ingin menegaskan bahwa sejak ia menyadari bahwa dirinya jatuh cinta kepada Hexa tidak adal lagi hal yang lebih ia sukai selain duduk di waktu senja setiap akhir pekan bersama Hexa. Untuk sekadar berbagi cerita, bicara soal pekerjaan, atau seputar tugas-tugas kuliah yang kini sedang mereka hadapi bersama.
Bagi Rana, Hexa adalah teman kuliah yang paling penting. Karena keuletan dan kecerdasan yang ia miliki membuat Rana benar-benar ingin berdekatan dengannya. Bukan karena ia ingin mendapatkan contekan tugas, tapi bersama Hexa ia memiliki semangat yang tinggi untuk segera menyelesaikan program magisternya. Bersama Hexa rasa malas yang kerap mengalahkan semangatnya untuk terus berjuang menyelesaikan tugas-tugasnya sedikit terkalahkan.
Tahukan kalian, Hexa itu pantang meyerah. Ia selalu menemukan seribu satu cara untuk memecahkan masalj yang ada. Meskipun Hexa memiliki usia yang jauh lebih muda darinya, Rana tetap merasa jika Hexa patut dijadikan panutan. Bahkan jauh di hatinya yang terdalam, Rana berharap jika Hexa menjadi imamnya selamanya.
Pesona Hexa membuat Rana lupa usia. Sekaligus lupa akan arti pertunangan yang telah ia sepakati tiga tahun lalu bersama Yugo.
Yugo yang selalu mencibtainya dengan sepenuh hati. Lelaki inilah yang selalu berusaha menjamin semua hal tentang Rana. Ia melakukan yang terbaik untuk Rana, mengantar dan menjemput Rana kemanapu ia pergi. Mentrasfer sejumlah uang untuk biaya kuliah, belanja dan keperluan Rana. Menyediakan rumah mewah yang siap mereka tinggali setelah menikah nanti, tentunya setelah Rana lulus dan menjelang gelar magisternya.
Namun kebahagiaan Rana seolah tidak sempurna. Kehidupan yang serba mewah yang dijaminkan oleh Yugo tidak berhasil membuatnya merasa bahagia. Justru semakin berkecukupan, maka semakin ia merasa kosong dan hampalah hatinya. Yugo yang seolah terlalu sibuk mengurusi kehidupan Rana, membuat Rana merasa risih mendapatkan perlakuan seperti itu. Karena Rana tahu, Yugo belum resmi menjadi suami yang. Ia tak mau jika pandangan orang menjadi buruk terhadapnya.
Bagaimana tidak, selama tiga tahun setelah orangtua mereka bersepakat menjodohkan anak-anaknya, Yugo merasa mendapatkan lampu hijau untuk mengatarkan Rana kemanapun gadisnya itu pergi. Memperlakukan Rana bak seorang putri yang tidak boleh kepanasan dan kehujanan. Sementara Rana, ia tidak tidak mau diperlakukan sedemikian rupa. Rana lebih suka hidup bebas. Menyukai kesederhanaan, hujan, gerimis, main ke hutan, bercengkrama dengan rerumputan dan menghirup aroma pohon pinus daripada jalan-jalan ke mall atau makan di tempat-tempat mewah dengan harga yang wah.
Kemudian, setelah bertemu dengan Hexa, ia merasa menemukan segalanya yang selama ini ia cari. Lelaki sederhana, santun, dan jujur. Hexa pun memiliki kegemaran yang sama dengannya. Menikmati alam terbuka untuk lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta. Bersama Hexa, Rana merasa memiliki kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.
**
Tiba-tiba Hexa mendaratkan kecupan di kening Rana. Membuat hati Rana terhenyak seketika. Getaran di dadanya semakin kuat. Degup jantungnya bertambah kencang. Saat itulah Rana berani berkesimpulan bahwa selama ini cintanya tidak bertepuk sebelah kanan. Ya, nyatanya Hexa juga mencintainya.
“Rana…,” ucap Hexa. Tangannya menggenggam tangan Rana dengan erat. Matanya menatap wajah perempuan yang ia sayangi lamat-lamat. Seolah ia ingin merekam setiap reaksi dan mimik wajah kekasih hatinya di setiap detik.
“Ya, Hexa,” jawab Rana lirih.
“Aku mencintaimu. Ketahuilah sejak pertama aku melihatmu di kelas kita, mata dan hatiku langsung tertuju padamu. Namun saat kamu berkenalan dan mengatakan bahwa kamu sudah bertunangan, tahukan hamu apa yang terjadi dengan keping hatiku?” tanya Hexa.
Rana menggeleng, tidak mengerti apa yang Hexa maksud.
“Hatiku retak, Rana. Aku patah semangat. Rasanya aku ingin lari, ke luar ruangan dan meminta dipindah kelas agar tidak perlu sekelas denganmu,” ucap Hexa serius.
Hexa menghela napas panjang. Lalu, “tapi setelah aku melihatmu tersenyum ke arahku saat aku memperkenalkan diri, aku terhipnotis. Senyummu begitu manis, Rana,” katanya.
Mata Hexa tidak bisa beralih memandang Rana. Membuat debaran kencang makin menjadi di dada Rana. Gadis berusia 28 tahun itu kikuk, dan salah tingkah. Pipinya terasa memanas, ia yakin pasti pipinya memerah.
Senja di ufuk barat semakin menjingga. Menyaksikan keduanya yang tidak malu berpegangan tangan dengan eratnya; tidak mau terpisahkan.
Pohon Flamboyan yang rindang menaungi mereka yang masih asyik menikmati senja menghadap ke hamparan sawah yang luas. Senja itu benar-benar menjadi milik mereka berdua.
Ketika senja berganti malam, Rana dan Hexa dengan berat hati meninggalkan tempat itu. Tempat yang sepekan lagi baru akan mereka temui kembali.
Hari lain? Tidak bisa. Mereka harus bergelut dengan kesibukan masing-masing di tempat kerja. Adapun jika rindu, mereka hanya bisa melepasnya via telepon. Itupun hanya sesekali..
Jujur saja, Rana merasa menemukan sesuatu yang akan membuatnya berumur panjang. Membuatnya dapat menikmati hidup dengan cara yang ia inginkan. Bukan kekangan dan perhatian yang berlebihan. Walaupun kini ia harus berdiri di persimpangan, antara cintanya yang tulus kepada Hexa dan hubungannya dengan Yugo.
**
Hari rabu, Yugo menemui Hexa di tempat kerjanya. Membicarakan sesuatu yang penting. Percakapan mereka cukup menegangkan. Bahkan sempat ada adu mulut. Namun tentu saja Hexa kalah, lebih tepatnya ia memilih mengalah. Dua bulan lagi Yugo akan menikahi Rana.
Ada sayatan luka yang teramat perih dalam hati Hexa. Meski sebenarnya ruang untuk rasa sakit itu telah jauh-jauh hari ia siapkan. Ia sudah tahu, pada akhirnya ini akan terjadi. Suatu hari ia akan benar-benar kehilangan Rana. Seberapapun besarnya cinta Hexa kepada Rana ia tidak pernah memiliki keyakinan bahwa ia akan memiliki Rana seutuhnya. Walaupun pada kenyataannya hati Hexa telah menjadi milik Rana seluruhnya.
**
“Temui aku di bawah pohon Flamboyan nanti sore.” Sebuah pesan dari Hexa untuk Rana.
Ini sudah pukul 15:00, Rana harus bergegas.
Sepanjang jalan, hati Rana tidak berhenti nertanya-tanya. Tidak biasanya Hexa meminta bertemu sebelum akhir pekan jika tidak ada hal penting untuk dibicarakan. Rana pun harus memastikan bahwa Yugo tidak mencarinya di tempat kerja.
Sesampainya di sana, Hexa sudah berdiri menghadap ke Barat. Memandang gunung dengan mentari yang masih tampak tinggi.
“Rana, apa kabarnya dengan Yugo?” tanya Hexa datar. Tanpa menoleh ke belakang, sangat yakin jika Rana sudah tiba untuk memnuhi permintaannya datang ke sana.
Pertanyaan Hexa membuat dada Rana terhenyak. Kaget bukan main. Mengapa harus ada pertanyaan itu. Kenapa harus membahas dia saat dirinya sedang di atas awan setelah beberapa hari lalu ia mendengar pengakuan Hexa akan cintanya.
“Aku mencintaimu, tetapi ada yang lebih berhak atasmu, Rana. Aku tidak mungkin bisa merebutmu dari dirinya. Aku bisa apa? Lagi pula apa yang aku punya? Aku hanya punya bibir untuk mengatakan apapun yang aku rasakan kepadamu tanpa aku tutup-tutupi. Dan aku hanya punya hati, untuk terus mencintaimu dengan segenap rasa. Sedangkan Yugo, dia punya segalanya, Rana,” ucap Hexa dengan suara sendu.
Rana tertunduk. Ia tidak mampu berkata apapun. Hatinya kesal, rasanya ingin membatalkan pertunangan yang direncakan kedua orangtuanya itu. Namun kedua pihak orangtua mereka, bukan hal mudah untuk dilawan. Tidak akan semudah membalik telapak tangan untuk menyelesaikan semuanya.
“Rana kenapa diam? Jawab aku, Rana!” suara Hexa terdengar parau. Tampak jelas, ada kesedihan yang teramat dalam.
“Aku, aku juga mencintaimu, Hexa.” Hexa berbalik, membenamkan Rana dalam pelukannya.
“Aku tahu, Rana. Aku merasakannya. Namun Yugo, ayah ibunya, orangtuamu, keluarga kalian. Ah, maafkan aku yang telah mencoba hadir di antara kalian,” ucap Hexa.
“Aku yang minta maaf, Hexa. Aku tidak mampu memberimu kepastian selain tentang perasaanku kepadamu. Aku benar-benar mencintaimu. Tapi aku sendidi tidak memiliki kuasa untuk lari begitu saja. Walaupun aku sudah mencobanya berkali-kali,” ucap Rana. Air matanya mengalir membasahi pipinya yang pucat. Belakangan, ia kurang tidur, memikirkan semuanya.
“Tidak apa, Rana,” ucap Hexa seraya melepaskan pelukannya. “Kemarin Yugo datang menemuiku. memintaku menjauh. Aku sendiri melihat cinta yang teramat dalam kepadamu di matanya. Kamu bisa mencoba sekali lagi, untuk membuka hatimu untuknya. Maafkan saja semua perlakuannya kepadamu selama ini. Atau mungkin kau bisa mencoba mengutarakan apa yang sebenarnya kamu inginkan dalam sebuah hubungan. Aku yakin, secara perlahan kamu bisa mencintainya. Sementara itu, izinkan aku menjauh, agar kamu bisa fokus memperbaiki huhunganmu dengan Yugo,” ucap Hexa.
Kali ini cara bicaranya lebih tenang. Sosok Hexa yang empat tahun lebih muda dari Rana itu terlihat lebih dewasa dan tenang.
“Hexa, aku sudah berkali-kali menjelaskan. Aku pun tidak sengaja untuk jatuh hati terlau dalam kepadamu. Tapi keadaan dan kekangan yang aku dapat dari Yugo, membuat aku lelah, Hexa,” ucap Rana lirih.
“Sudahlah, Rana. Kamu hanya harus terus mencoba.” Hexa mencoba tersenyum ketika mengucapkannya.
Angin sore berembus. Menyibak rambut Rana yang dibiarkannya terurai. Beberapa bunga Flamboyan berguguran, jatuh di hadapan mereka. Keduanya diam. Bisu seribu bahasa.
Setelah beberapa lama, Hexa memeluk Rana dan mengecup kening perempuan itu penuh dengan perasaan. Kemudian berlalu meninggalkan Rana yang diam terpaku dalam bayang-bayang senja.
**
Dua tahun kemudian.
Ketika perut Rana sudah membuncit mengandung buah pernikahannya dengan Yugo yang kini berusia lima bulan. Ia begitu merindukan senja di bawah pohon Flamboyan. Bukan hanya kali itu, bahkan setiap hari ia selalu merindukannya.
Selama dua tahun pernikahan, Yugo tidak pernah berubah. Bahkan setelah resmi menikah ia semakin berani bersikap keras terhadap Rana. Setiap kali ia mendapatkan perlakuan seperti itu, ia selalu datang ke bawah pohon Flamboyan. Menatap senja dan mengadukan semuanya. Kepada pohon, angin, rumput, sawah dan semua yang ada di sana. Terutama kepada senja, yang selalu mengingatkannya kepada Hexa. Setelah terakhir kali bertemu di sana, mereka tidak pernah bertemu lagi. Kecuali ketika prosesi wisuda tiga tahun lalu.
Rana meratapi keadaan. Bahunya berguncang menangis sejadinya. Yugo bukan hanya keras kepala. Hatinya juga begitu keras. Bahkan ia tidak segan menyakiti fisik Rana jika Rana melakukan kesalahan atau berbuat tidak sejalan dengan apa yang diinginkan suaminya itu.
Senja di bawah pohon Flamboyan, kini tidak seindah dulu. Tidak lagi ada senyum dan canda tawa yang bisa menenangkan hatinya. Tidak ada lagi pelukan hangat yang menjadi tempat persembunyiannya dari pahitnya kenyataan. Tidak ada lagi yang menjadi sayap pelindungnya ketika ia disakiti oleh Yugo.
Dan, …
“Rana, apa kabarmu? Senang melihatmu di sini.”
Suara itu. Suara itu tidak pernah berubah. Ya, itu adalah suara sayap pelindungnya Rana.
Hexa berdiri tegap, tepat di hadapannya. Ingin rasanya Rana berhambur ke pelukan Hexa. Namun sekuat tenaga ia menahan keinginan itu. Ia tahu diri. Kini ia berstatus istri Yugo.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Rana dengan mata berkaca-kaca. Dua buah sungai kecil megalir di kedua belah pipinya.
“Aku selalu datang ke sini. Memandangmu dari kejauhan. Aku bukan hanya merindukan senja dan pohon Flamboyan ini. Namun aku juga tidak pernah berhenti merindukanmu, Rana. Kali ini, ketika aku melihat bahumu berguncang, aku tidak bisa menahan diri. Aku tahu seberapa dalam sakit yang kamu rasakan. Rasaku masih tetap sama, Rana. Seperti tidak tahun yang lalu kepadamu,” ucap Hexa jujur.
Rana akhirnya tidak kuasa menahan diri. Seketika ia berhambur ke pelukan lelaki yang sangat dicintainya itu.
Hexa memeluknya dengan erat. Seakan tidak ingin melepaskan pelukan itu sampai kapanpun. Di sanalah ketenangan tinggal. Di sama pula, kedamaian itu berada.
Senja temaran semakin jingga. Hari akan segera berganti malam. Ada bahagia dalam hati keduanya. Meskipun tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah hari itu berlalu.
Biarlah hanya Hexa dan Rana yang tahu. Biar mereka berdua yang menyelesaikan keduanya.
+ There are no comments
Add yours