Semua anak istimewa. Setiap hari selalu ada saja kejadian yang berkesan akibat ulah anak-anak, yang terjadi di sekolah kami . Termasuk kejadian hari ini, ketika aku masih berkutat dengan pelaporan kinerja.
“Ayo masuk kelas lagi anak solehah, yuk!”
Terdengar kalimat itu diucapkannya berulang-ulang. Bu Mira terlihat menyeka keringat yang membentuk butiran sebesar biji kacang hijau di keningnya dengan ujung kerudungnya yang panjang.
Aku menghampiri dua insan yang sedang sibuk bercakap-cakap.
“Kenapa ini….? Mau kemana anak manis?” tanyaku pada anak bernama Nanda.
Mulutnya ditekuk, tampak kesedihan dan amarah bercampur aduk di raut wajahnya.
“Ayuk, Sayang, ke kelas lagi!” bujuk bu Mira dengan wajah memelas.
Aku memberikan kode, “ibu masuk kelas lagi saja. Kasian anak-anak lain. Biar Nanda sama saya.”
Bu Mira mohon diri setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.
“Nanda mau kemana…?” tanyaku lembut.
“Mau pulang! Cepet telepon Mama!” bentaknya.
Seketika jantungku terhenyak. Baru kali ini mendapati Nanda membentak sekeras itu.
Nanda anak yang manis. Namun jika sudah merasa tersinggung anak itu bisa meluapkan amarahnya dengan sangat keras. Namun selama ini belum pernah terjadi Nanda marah dengan suara yang begitu tinggi. Ya, paling juga Nanda pergi ke luar kelas saat moodnya untuk ikut kegiatan belajar sedang menurun.
Nanda anak yang memiliki kecerdasan kinestetik. Bergerak aktif adalah kesenangannya. Hari ini rupanya ia sedang bosan makanya ingin keluar kelas. Sampai bu Mira mengejarnya sampai ke gerbang sekolah.
“Nanda mau pulang. Mana sepatu Nanda? Cepat cariin!”
Lagi-lagi Nanda membentak. Kali ini ditambah dengan mendorong keras badanku yang nyaris sama besar dengan badan Nanda yang bongsor.
“Ayo, kita cari sama-sama bisa ya. Nanda tidak perlu membentak. Ibu bisa dengar kok,” ucapku.
Nanda nampak kebingungan mencari sepatu miliknya di rak sepatu satu per satu.
“Argh! Mana sepatu Nanda?” teriaknya gusar.
Aku yang juga tidak tahu sepatu miliknya yang mana, pura-pura membantunya mencari. Padahal dalam hati sangat berharap sepatu itu tidak pernah ditemukan sampai akhirnya bel pulang berbunyi pukul 15 nanti.
Dengan pengamatannya yang jeli, akhirnya Nanda menemukan sepatunya yang ditaruh di dekat pintu kaca.
Dengan sigap ia memakainya.
Aku yang resah, khawatir Nanda benar-benar lari, langsung memanggil scurity.
“Pak, tolong bantu saya mengunci pintu!” pintaku pada pak Yogi. Seperti biasa, pak Yogi selalu merespon permintaan tolong dengan kesigapan.
Namun ternyata langkah Nanda lebih cepat. Ku kenakan alas kaki yang ada di sana entah milik siapa, untuk segera berlari mengejar Nanda yang berlari kencang ke luar gerbang sekolah.
“Pak Yogi! Tolong!” teriakku.
Pak Yogi segera berlari kencang menuju gerbang utama di pinggir jalan dengan jarak sekitar 100 meter dari gerbang sekolah. Pak Yogi mengunci gerbang.
Nanda duduk lesu lalu menangis.
“Jangan dikunci, Nanda mau pulang. Nanda sakit….,” keluhnya.
“Kalau sakit, tidak boleh lari-lari. Mending istirahat di sekolah yuk, nanti kita telepon Mama,” bujukku lagi nyaris kehilangan akal.
“Nurut dulu sama bu Guru ya, Nanda. Yuk kita ke sekolah lagi!” Pak Yogi ikut membujuk pelan-pelan.
Sepanjang masa sekolah, pak Yogi adalah orang yang omongannya didengarkan oleh Nanda.
“Nanda nurutnya sama pak Yogi,” ucap salah satu guru disambut dengan jawaban “ya,” oleh semua guru tanda sepakat bahwa tidak dapat dipungkiri pak Yogi mampu membuat Nanda menjadi lebih penurut.
Sengat matahari makin terasa begitu panas di kepala. Aku yang sejak semalam terkena panas dingin mendadak sembuh. Dinginnya hilang, tinggal panasnya di kepala tentunya.
“Pak, bagaimana ini coba?” tanyaku pada pak Yogi. Pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Kami berdua tahu persis karakter anak yang satu ini.
Pak Yogi duduk bersandar di benteng. Aku pun demikian. Kami berdua tetap berusaha membujuk dengan segala bujuk rayu.
Anak kecil memang selalu begitu, “gak apa-apa, ini ujian kesabaran,” kataku dalam hati.
Tidak lama kemudian terdengar suara azan duhur berkumandang di masjid depan sekolah kami. Dari kejauhan tampak anak laki-laki berjalan mendekat ke arah kami menuju masjid untuk solat berjamaah.
Pak Yogi beranjak, hendak membuka pintu gerbang kecil, sebagai jalan alternatif. Karena gerbang utama sudah dikuncinya barusan.
“Nanda, maunya apa sekarang?” tanyaku dengan penuh harap.
Semoga Nanda mau kembali ke sekolah, doaku dalam hati.
“Nanda mau solat di masjid gak?” tanyaku lagi.
Nanda bersorak. Matanya berbinar menyambut pertanyaanku.
“Emang boleh?” tanyanya.
“Boleh dong…,” jawabku lagi. “Asal… Nanda tertib di Masjid, tidak menggangu orang lain solat. Apalagi teriak-teriak seperti tadi. Bisa?” tanyaku pada Nanda.
Anak itu mengangguk. Lalu tangannya menggenggam jari telunjukku, “ayo, Ibu. Kita ke masjid!” ajaknya.
Hatiku terenyuh. Mendampingi Nanda kali ini benar-benar nano-nano. Lelah membujuk dan mengejar lari, terobati langsung dengan kemauan Nanda solat di Masjid.
Kami berjalan. Masuk pintu yang sama dengan anak-anak lelaki tadi. Setelah membuka sepatu, Nanda berlari ke tempat wudhu laki-laki.
“Nanda, salah masuk, Nak!” bujukku.
Nanda kembali muncul di balik pintu dengan senyuman dan binar mata yang polos.
Aku mengajaknya berwudu di tempat wudu perempuan.
“Pegangin!” Nanda kembali berteriak memintaku memegangi kerudung dan roknya yang panjang dengan nada perintah.
Aku tersenyum, “Nanda…, mau ikut ke masjid gak? Kalau teriak kayak barusan, ibu gak akan ajak masuk lho.”
Seketika emosi Nanda berubah kembali, “okay, enggak teriak. Janji,” ucapnya sambil menunjukkan dua jari tangan sebagai simbol ungkapan berjanji.
Nanda duduk di sebelahku. Kukenakan kain mukena. Nanda menurut dan tetap duduk di sana sampai akhirnya iqomah dikumandangkan.
“Nanda solatnya tertib ya!” aku memperingatkan.
Nanda membaca surah Al-fatihah dengan lantang di rakaat pertama. Konsentrasiku mulai buyar.
Rakaat kedua, Nanda menarik-narik mukenaku, “ibu, itu siapa? Temen Nanda bukan? Nanda gak kenal!” tanyanya berkali-kali.
Ya Allah, maafkan hamba. Jika solatku tidak fokus. Semua percakapan Nanda malah tersimak dengan baik di kepala.
Selesai solat, aku bergegas melipat mukena, kulipat pula mukena yang dikenakan Nanda.
“Yuk, kita kembali ke sekolah!” Ajakku pada Nanda.
Nanun Nanda bergeming. Ia kembali memeraktikan gerakan takbiratul ihram.
Dengan sabar aku menunggu kejadian apa yang berikutnya akan kusaksikan.
Nanda solat dua rakaat, dengan tertib tanpa gerakan tambahan.
“Nanda solat apa?” tanyaku sesaat setelah Nanda melakukan gerakan salam.
“Solat sunnah,” jawabnya.
Aku terkagum.
“Semua anak memang istimewa,” gumamku lirih.
Setelah itu, Nanda mau kembali ke sekolah dengan langkah riang gembira, tanpa terlihat lagi keinginannya untuk pulang seperti tadi.
Sesampainya di gerbang sekolah, “sekarang waktunya makan siang ya, Bu Guru?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Nanda berlari ke kelasnya dengan penuh semangat, mau makan siang.
+ There are no comments
Add yours