Ini belum terlalu malam, baru merangkak menuju pukul 21. Namun jalanan di Bandung atas sudah lengang, sepi. Bagaikan jalanan menuju sebuah pelarian, asing dan sunyi. Cahaya lampu dari rumah penduduk di pinggiran jalan yang dilewati menjelma kerlip kecil seperti kunang-kunang. Ia timbul kemudian hilang kembali karena terpisahkan jarak yang berjauhan antara satu rumah dan rumah lainnya.
Warung-warung jongko yang menjajakan dagangan di pinggir jalan sudah tutup. Pemiliknya pulang ke rumah masing-masing atau memilih bersembunyi di dalam warungnya yang terbuat dari bedeng dan tidur lebih awal untuk buka kembali pagi hari.
Kendaraan lain yang berpapasan bisa dihitung jari. Sesekali ada motor yang ngebut menimbulkan bunyi “ngeoong” seperti sedang balapan di sirkuit. Suaranya memecah sunyi, memekakkan telinga. Mungkin pengemudinya sudah hafal betul dengan rute dan seluk-beluk jalanan. Meskipun pekat, pengemudi bisa mengebut sesukanya. Ia tetap bisa ugal-ugalan – membahayakan.
Memang ini bukan malam Minggu. Orang-orang yang biasa healing malam-malam mencari angin segar di pegunungan tidak tampak di sana. Mungkin mereka masih asyik bekerja atau bisa saja masih terjebak dengan setumpuk pekerjaan yang memaksa harus diselesaikan hingga tidak ada waktu untuk bersantai sekadar makan dan minum di daerah Bandung atas. Nasib mereka hampir sama saja dengan keseharian Manda. Setiap hari harus berkutat dengan setumpuk pekerjaan yang memaksanya diselesaikan. Beruntung, tadi sore pekerjaan itu selesai pada akhirnya. Bersiap besok mendapatkan tugas baru dari pak bos.
Pak Bos?
Bibir Manda tersenyum manis saat ia mengingat sosok atasannya itu. Seseorang yang selalu tegas dan bijaksana ketika memimpin tim. Namun memberikan ruang yang terasa sedikit lebih istimewa untuk dirinya dibandingkan dengan karyawan lain. Berkali-kali Manda menepis perasaan, jangan sampai ia terlalu percaya diri bahwa Hans menyimpan perasaan spesial kepadanya, walaupun sudah sangat lama ia menyimpan nama Hans di dalam lubuk hati yang paling dalam. Manda sendiri sadar, tidak ada baiknya menyimpan dan mengikuti arus perasaan yang ia simpan untuk lelaki beristri itu. Sebisa mungkin, ia harus bersikap profesional. Meskipun siapa yang bisa tahan ketika tiap hari harus bertemu dengannya, memandangi parasnya yang rupawan, tubuh tingginya, dan aroma parfumnya yang khas.
Bertemankan bayangan tentang “pak bos” di ruangan kerjanya, Manda mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tidak lama kemudian, tayangan tentang sosok Hans berganti dengan tayangan tentang apa yang ditemukannya malam ini. Pikirannya dipenuhi dengan tanda tanya yang berjubel – menjadi sangat mengganggu konsentrasi. Tentang alasan Yoan memilih lokasi pertemuan, tentang mengapa perempuan berparas cantik itu rela pulang malam tanpa suaminya.
Apakah ia sudah mengantongi izin dari Hans?
Kepala Manda mulai menyambung-nyambungkan keterangan Hans dan kecurigaan yang dimilikinya dengan gelagat Yoan malam ini. Menggunakan konsep cocokologi juga prasangka-prasangka yang membentuk hipotesisnya sendiri. Meski sejujurnya ia sendiri tidak mau membuat kesimpulan yang bukan-bukan.
Manda bergidik ketika pikirannya membuat kesimpulan tersendiri tentang Yoan. Ia segera membuang jauh-jauh pikiran buruk itu. Sekuat tenaga membantah mentah-mentah bahwa Yoan tidak mungkin melakukan perbuatan diluar batas. Yang ia tahu, Yoan adalah perempuan baik-baik, dari keturunan baik-baik. Meskipun ia tidak begitu mengenal dekat keluarganya, tetapi dari cerita Hans yang begitu menyanjungnya, cukup bisa memberikan jawaban bahwa Yoan memang perempuan istimewa dan berkelas. Itulah mengapa Hans rela melakukan apapun demi untuk bisa menikahi Yoan. Tidak terkecuali melanggar restu ibunya.
Namun cerita tentang seorang perempuan cantik, baik dan berkelas yang ia dengar dari Hans kini terpatahkan sudah.
“Kau sangat beruntung, Yoan. Malam ini kau bebas berkeliaran, bahkan mungkin ratusan malam lain kau melakukan hal yang sama. Namun lihatlah, suamimu tetap setia bertahan denganmu. Aku tidak akan membiarkanmu membodohi suamimu itu. Suatu saat dia harus tahu apa yang sebenarnya kamu lakukan,” gumam Manda.
Berkali-kali ia berpikir bolak-balik. Mencoba memberikan pemakluman dan normalisasi bahwa seorang perempuan yang sudah bertitel “istri” boleh bepergian dengan teman ke tempat jauh tanpa suami malam-malam. Toh tadi Yoan sama teman perempuanya buka bersama lelaki lain.
Ah, Yoan tidak mungkin bodoh. Hans tidak akan menemukan saingannya di mata dan hati Yoan tentunya. Rasanya terlalu sempurna sosok Hans jika sampai Yoan meninggalkannya demi pria lain.
“Tidak, Yoan hanya sedang mencari kesenangan dengan caranya sendiri. Nongkrong dengan temannya. Mungkin itu teman kuliah atau teman SMA-nya kan?”
Manda berbicara sendiri seolah mencari pembenaran untuk hal-hal yang dilakukan Toan, berdasarkan cerita dari Hans dan yang baru saja ia temukan langsung dengan mata kepalanya sendiri.
Tanpa sadar matanya memejam sejenak untuk melupakan sosok Yoan dan bayangan Hans di dalam pikirannya.
Namun malang tidak dapat ditolak, saat Manda membuka mata kembali seekor binatang yang entah apa melintas di depannya membuat dada Manda terhenyak, memanggil kembali kesadaran Manda dari lamunan panjangnya. Nahasnya, kesadaran Manda bahwa ia sedang mengemudi terlambat, sebuah motor menabrak mobilnya dari arah belakang karena Manda menginjak rem sekaligus.
Sumpah serapah pun tidak bisa dihindarkan. Manda turun dari mobilnya, berkali-kali meminta maaf, tetapi si empunya motor bersikeras meminta Manda bertanggung jawab atas kejadian itu.
Dua lelaki yang mengendarai motor secara berboncengan meminta sejumlah uang dengan paksa. Pertengkaran pun tidak dapat dihindari lagi. Manda mengerahkan seluruh keberanian yang tersisa, ia meminta untuk mengecek kerusakan motor yang menabraknya; tidak terlalu parah. Sialnya, malah bemper mobil miliknya yang mengalami kerusakan.
Memang keberuntungan tidak selalu berpihak. Kejadian itu terjadi di tempat yang sepi jauh dari pemukiman. Tidak ada siapapun yang menjadi saksi, pun tidak ada satu pun kendaraan yang mau berhenti sekadar memberikan bantuan.
Sebagai perempuan, Manda memiliki keberanian yang berbatas. Sekuat apapun ia melawan tidak akan menang di hadapan dua orang laki-laki meskipun dirinya sama sekali tidak sengaja ngerem mendadak. Namun siapa peduli, apapun alasannya, dua pria itu tidak mau memberikan pemakluman sedikitpun. Mereka tetap meminta ganti rugi.
Manda menghela napas panjang berkali-kali ketika akhirnya ia bisa kembali duduk di belakang kemudi. Mencoba menenangkan diri setelah dua lelaki itu pergi setelah mendapatkan apa yang diinginkannya. Uang cash di dompet Manda terkuras habis. Meski begitu, Manda merasa sangat beruntung, kedua lelaki itu hanya meminta uangnya. Bukan membahayakan nyawa atau risiko lain yang lebih menakutkan.
Sambil terus berdoa berusaha komat-kamit membaca apapun yang bisa dibaca, ayat-ayat suci digumamkan dan doa-doa ia panjatkan. Manda menyalakan mesin mobilnya kembali untuk melanjutkan perjalanan. Ingin rasanya segera bertemu dengan jalan yang lebih ramai, tetapi apa daya kemalangan rupanya masih ingin bermain-main dengan dirinya. Ban mobil Manda kempes, membuatnya harus memutar otak bagaimana caranya agar ia segera sampai di keramaian.
“Oh, Tuhan…. Apa lagi ini?” gerutu Manda sesaat setelah melihat ban depan yang kempes. Hatinya mulai gelisah. Otaknya terus berpikir keras memikirkan bagaimana caranya menemukan jalan keluar. Ia tidak mungkin mendongkrak dan memasang ban sendirian malam hari. Lagi pula ia tidak membawa ban cadangan.
“Menelefon Hans!” pekiknya. Ia tahu jika Hans selalu memiliki seribu jalan keluar untuk masalah-masalah yang dihadapinya.
“Iya, Manda, ada apa?” sebuah suara berat khas laki-laki menjawab panggilan telepon Manda.
“Hans, kamu di mana?” tanya Manda dengan napas yang tersenggal.
“Di rumah. Kenapa?”
“Bisa aku meminta bantuan?”
**
Menunggu adalah hal yang sangat menjenuhkan. Manda sudah tidak bisa duduk tenang di kursi belakang kemudinya. Nyaris dua jam lamanya, ia menunggu pertolongan. Di telepon tadi Hans telah berjanji akan mengirim bantuan untuk menjemputnya. Ia berharap orang suruhan Hans bisa menemukannya segera.
“Aku ke sana ya, Manda,” ujar Hans di telefon tadi.
Sebagai perempuan yang mencintai Hans, rasanya ingin sekali mengiyakan lelaki itu datang, menyusul dan menolongny alangsung. Namun malan ini ia tidak ingin melibatkan Hans dalam berbagai spekulasi yang sedang berkecamuk di kepalanya. Lagi pula, apa jadinya jika nanti Yoan melihat Hans bersamanya. Yoan masih di tempat pertemuan bersama temannya. Bagaimana jika Yoan meminta Hans menjemput tiba-tiba, lalu tahu jika suaminya sedang bersamanya?
Bersama? Tidak. Manda hanya meminta bantuan.
Beberapa saat kemudian dua orang suruhan Hans datang. Keduanya adalah montir dari bengkel langganan Hans yang bisa dipanggil. Tidak perlu waktu lama, ban mobil Manda sudah kembali berfungsi dengan baik. Mereka mengerjakannya begitu cepat, sangat ahli. Keduanya menolak untuk diberikan upah, dengan alasan Hans sudah menyelesaikan semuanya. Manda tertegun, seharusnya Hans tidak perlu melakukan itu.
Mobil Manda berjalan beriringan dengan mobil montir. Kini ia bisa bernapas lega akhirnya bisa segera menemukan jalan ramai dan lekas pulang ke rumah. Ini sudah larut malam, rasa lelah telah membuatnya merasa remuk redam. Andai saja besok tidak ada pertemuan penting, maka ingin rasanya ia bolos kerja.
Manda menghela napas lega, saat ia sudah sampai di Jalan Setia Budi. Meskipun masih harus menempuh sekitar 30 menitan lagi ke rumahnya, Manda merasa bahwa sudah pulang. Ia tidak bisa membayangkan andai saja tadi tidak mendapatkan pertolongan dari Hans.
“Terima kasih ya, Hans. Sebagai apapun, kamu tetap memiliki kepedulian yang begitu besar kepadaku,” gumam Manda. Tidak henti-hentinya ia bersyukur. Dalam hatinya ia bertekad akan melakukan apapun yang terbaik demi kebahagiaan Hans. Tidak terkecuali soal kehidupannya dengan Yoan.
Bukan. Bukan untuk mencampuri terlalu dalam, Manda hanya ingin mencari tahu apa yang dilakukan istri Hans itu di belakang suaminya. Jika memang ada hal yang di luar batas, Manda hanya ingin mengingatkan. Itu saja.
Manda memarkirkan mobilnya ke sebuah restoran cepat saji yang masih buka. Perutnya terasa lapar, sejak sore belum terisi makanan lagi.
Kalau lapar, tidak akan bisa tidur. Harus beli makanan dulu.
Parkiran sepi, hanya ada dua mobil yang terparkir di sana. Mungkin itu pelanggan yang sama nasibnya dengan dirinya. Sama-sama kelaparan dan harus membungkus satu dua makanan untuk dibawa pulang.
Manda bergegas membuka seat belt berniat membeli makanan sesegera mungkin untuk dibawa pulang. Namun niatnya turun dari mobil urung seketika ketika matanya tidak sengaja menangkap pemandangan yang membuatnya menggelengkan kepala berkali-kali. Dua orang manusia sedang asik masyuk bercumbu di dalam mobil yang terparkir di sebelahnya, tanpa sadar bahwa apa yang dilakukannya terlihat dari luar meskipun tidak terlalu jelas.
Belum juga selesai rasa heran Manda atas kelakuan dua manusia tidak malu tersebut, seketika Manda begitu ingin meneliti siapa sebenarnya orang yang ada di mobil itu. Warna baju dan sosoknya mengingatkan Manda pada seseorang.
Jantungnya berdegup kencang ketika ia diam-diam menyelidiki dari dalam mobil. Manda menahan napas dan berusaha untuk tidak melakukan gerakan yang mungkin akan membuat keduanya sadar bahwa ada orang yang sedang mengawasi aksi mereka.
Rasanya Manda ingin menjerit. Sekuat tenaga ia menggigit bibirnya agar tidak sampai mengeluarkan suara. Perasaan campur aduk menguasai dadanya. Langit seakan runtuh menimpa mobilnya, Manda sesak napas dan kehabisan oksigen. Air matanya mengalir deras. Kepala limbung, ingin sekali ia menghubungi seseorang, tapi siapa? Sanggupkah ia menceritakan apa yang sekarang sedang terjadi di depan mata kepalanya sendiri? Sebuah pertunjukkan menjijikan di dalam sebuah mobil.
Tidak salah lagi, itu memang dia. Perempuan yang sangat dikenalnya.
**
Bersambung ke bagian V. Jangan lupa membaca bagian sebelumnya
Sebuah Pelarian (I) klik (di sini)
Sebuah Pelarian (II) klik (di sini)
Sebuah Pelarian (III) klik (di sini)
+ There are no comments
Add yours