“Makan sama apa, Bun?” tanyaku. Langkah kakiku santai menuruni tangga sambil melipat lengan kemeja. Aku tidak terlalu suka dengan jenis kemeja lengan panjang. Kalau saja bukan pemberian, lebih baik kusimpan di lemari pakaian atau kusumbangkan kepada sanak saudara yang lebih membutuhkan.
“Sayur lodeh…,” jawab istriku yang masih sibuk menyiapkan makanan di meja makan kami.
“Lho, kok kemejanya dilipat sih, Yah …?”
Istriku mendekat. Meraih lengan kemeja dan merapikan pakaian suaminya.
“Bunda kan tahu, kalau Ayah gak suka model begini. Kalau saja bukan pemberian, tidak mau tuh Ayah pakai,” aku menggerutu.
“Ya kalau sudah diberikan sama kita, ya hak kita dong, mau diapain kemejanya, Yah. Gak dipakai sama sekali atau dihadiahkan lagi sama orang lain kan gak apa-apa….”
Ucapan istriku ada benarnya. Ketika sudah diberikan berarti sudah sepenuhnya menjadi hak kita mau diapakan saja barang pemberian itu.
“Ya sudah, makan dulu saja…,” ujar istriku sambil menyendok nasi ke piring milikku.
“Anak-anak kemana?”
“Sudah pada pergi,” jawabnya.
Ini memang sudah tidak lagi pagi. Anak-anak memiliki jadwalnya sendiri-sendiri. Aku sendiri sengaja berangkat agak terlambat. Agar bisa menikmati sarapan pagi menikmati makanan istri.
Aku lebih sering lupa sarapan. Karena memang banyak sekali kesibukan akhir-akhir ini. Termasuk sibuk soal, ….
“Ayo, dimakan…. Mikirin apa sih?” ucap istriku lemah lembut.
Aku terperangah. Berdehem. Mencoba mengendalikan gugup, menenangkan diri dan bersikap sewajarnya.
“Oh, iya, mari makan,” jawabku seraya menyendok nasi sayur lodeh sebagai suapan pertamaku.
Sedetik kemudian aku memejamkan mata. Sayur lodeh ini rasanya begitu kukenal. Sayur lodeh buatan ….
“Kanapa, Mas?” suara istriku mengagetkan lamunan. Menggunakan panggilan biasa saat anak-anak kami tidak ada. Ia tidak melepaskan pandangannya dari wajahku yang terasa mulai memanas.
“Aku tahu, akhirnya aku berhasil membuatmu merasakan rasa yang sama, Mas. Dua tahun lamanya aku belajar keras, agar mendapatkan titik ini. Sebuah rasa yang sama dengan rasa yang selalu kau rindukan di lidahmu. Silakan lanjutkan makan, Mas. Nikmat bukan? Aku tinggal dulu.”
Ucapannya terdengar sinis. Istriku kemudian meninggalkanku sendirian di meja makan. Menikmati sayur lodeh terlezat yang pernah kurasakan. Resep milik ibuku yang “diupgrade” menjadi lebih lezat sempurna.
Namun kenapa ini harus terhidang di meja makan rumahku bersama Alia? Sedangkan koki aslinya sendiri sudah berada di rumah lain.
Yuni, kekasih sekaligus cinta pertamaku, yang kunikahi tanpa restu ibu. Pernikahan kami memaksaku berpisah degan orang yang telah melahirkanku. Ibu tidak menerima Yuni hanya karena ia bukan orang berada dan tidak bertitel sarjana.
Karena kami saling cinta, Yuni mau diajak nikah, hidup bersama selama bertahun-tahun lamanya walaupun tanpa keadilan dari mertua.
Aku yang sangat menyenangi sayur lodeh, kerap merasa rindu kepada ibu. Namun dengan hebatnya, Yuni berhasil memasak seenak masakan ibu dan mengobati rinduku untuk pulang ke rumah. Karena kalau aku datang, ibu tidak akan pernah berhenti menyuruhku untuk bercerai dengan Yuni.
Pernikahan kami hanya bertahan lima tahun. Yuni tidak diberi kesempatan mengandung selama menikah denganku. Hal itu yang memperburuk hubungan kami dengan ibu. Akhirnya ibu memaksaku untuk berpisah dengan perempuan yang sangat kusayangi itu.
Alia hadir. Di tengah hatiku yang patah. Kami menikah atas dasar perjodohan yang tidak aku terima. Ibu ingin segera menimang cucu. Alia selalu berusaha melakukan yang terbaik dan menjadi istri yang manut kepada suami meskipun aku tidak mencintainya. Usaha kerasnya selama ini cukup kuacungi jempol. Ia berhasil mengikatku dengan memberikan dua orang anak yang lucu-lucu. Bisa dibilang, aku bertahan karena anak-anak. Cintaku tetap tertuju kepada Yuni.
Yuni selalu setia menunggu, kapanpun aku ingin bertemu ia selalu ada. Yuni masih begitu setia kepadaku walaupun ia sendiri sudah dipaksa menikah lagi oleh orangtuanya karena merasa kecewa dengan keputusanku.
Walaupun aku dan Alia sudah menikah, aku masih dapat menikmati sayur lodeh buatan Yuni. Karena ibuku meninggal dunia. Hanya Yuni yang bisa mengobati kerinduanku kepada makanan kesukaanku sedari kecil.
Aku tahu, seharusnya aku bersyukur. Istriku begitu lebih lemah lembut walaupun tahu aku belum bisa mencintainya.
Tapi tunggu. Apakah ini jebakan?
Aku menghentikan kunyahan. Sayur lodeh kutanggalkan. Kakiku bergegas menuju lantai dua.
Alia duduk di sisian ranjang. Bahunya berguncang. Tangisnya pecah. Aku terpaku di antara dua sisi pintu.
“Al ….” Aku memberanikan diri
Alia tidak menggubris. Perlahan aku mendekatinya. Meraih pundaknya yang masih berguncang.
Alia bergeming. “Hari ini aku memang, telah berhasil membuat masakan kesukaanmu dengan rasa yang sama persis. Apakah kamu puas?” Kalimatnya terbata-bata.
“Maafkan aku, Al.”
Hanya kalimat itu yang berhasil keluar dari mulutku. Mulut yang baru saja menikmati kelezatan masakan buatan mantan istriku; sayur lodeh.
+ There are no comments
Add yours