
Catatan Ramadan #7. Setiap Ramadan, ada satu momen yang selalu mengaduk-aduk emosi: membangunkan anak-anak untuk sahur. Suara alarm yang berdering pukul tiga dini hari, lampu kamar yang perlahan menyala, dan dua sosok kecil yang berguling-guling di kasur dengan mata tertutup rapat. “Ayo, Bangun! Sahur dulu!” ucapku sambil menggoyang pundak mereka. Tapi yang terjadi justru rengekan protes, “Ih, ngantuk, Bu…” Mereka bangun dengan setengah jiwa, duduk di meja makan sambil mengucek mata. Di balik keluh kesah itu, tiba-tiba ingatanku melayang ke masa lalu.
**
Dulu, aku adalah anak yang dibangunkan dengan cara sama: paksa. Ibu tak pernah ragu membentak dari balik pintu, “Cepat bangun! Nanti kesiangan!” Mataku masih melekat, badan serasa ditarik bumi, tapi tangan Ibu sudah menarik lenganku untuk duduk. Kadang, aku marah dalam hati. Tapi kini, semua itu menjelma jadi kenangan manis yang justru kurindu. Sebab, sejak Ibu pergi saat aku masih duduk di bangku SD, tak ada lagi suara bentakan yang penuh kasih itu. Tak ada lagi tangan hangat yang memastikan perutku terisi sebelum imsak.
Kehilangan Ibu di usia belia memaksaku tumbuh cepat. Di usia 10 tahun, aku sudah harus bekerja di losmen milik keluarga. Pukul tiga pagi, sementara anak lain mungkin masih terlelap, aku sudah menyapu lantai, mengepel koridor, dan mengelap 17 kamar yang berjejal. Tangan kecilku pegal, tapi air mata harus ditahan. Tak ada lagi Ibu yang membelai kepala atau menyiapkan sarapan hangat. Hidup terasa pahit, tapi Ramadan tetap datang dengan caranya sendiri: mengajarku arti ketahanan.
**
Kini, sebagai orang tua, aku memahami betapa beratnya peran Ibu dulu. Membangunkan anak sahur bukan sekadar ritual. Ia adalah perjuangan menabung kenangan. Setiap kali melihat anak sulungku yang duduk di SMP kelas 1 mengernyitkan dahi sambil menelan nasi, atau si bungsu yang masih SD kelas 5 hampir tertidur di atas sendok, aku seperti melihat bayangan diri kecilku dulu. Bedanya, kini akulah yang memegang peran “si pembangunkan”. Kadang, aku hampir ingin membentak seperti Ibu, tapi urung. Aku memilih mengelus punggung mereka, “Sebentar lagi, sahurnya habis, kita tidur lagi, ya.”
Mungkin, inilah cara alam semesta mengajarku tentang lingkaran kasih. Dulu, aku adalah anak yang dipaksa bangun. Kini, aku menjadi orang tua yang memaksa dengan hati berdebar: apakah cara ini benar? Apakah mereka akan merindukan suaraku kelak, seperti aku merindukan bentakan Ibu? Atau justru trauma?
**
Ramadan selalu membawa dua sisi: rindu dan syukur. Rindu pada masa kecil yang terenggut, pada sosok ibu yang tak sempat melihatku menjadi ayah. Tapi juga syukur, karena kini aku bisa menciptakan tradisi baru. Sahur tak lagi sekadar makan, tapi juga cerita pendek tentang nenek mereka yang gagah, tentang losmen yang dulu kubersihkan, tentang betapa berharganya waktu untuk bersama.
Di balik mata mengantuk anak-anak, aku berharap: suatu hari, mereka akan paham bahwa sahur bukan sekadar kewajiban. Ia adalah cara kita mewariskan cinta, meski dalam bentuk suara lembut di tengah malam atau sendok nasi yang dingin karena tertunda.
Semoga Ramadan ini tak hanya mengisi perut, tapi juga menyirami benih-benih kenangan yang kelak akan mereka rindu. Seperti aku merindukan Ibu, dan segala sahur kesiangan yang ternyata adalah hadiah waktu yang tak tergantikan.