Dalam riak-riak perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia, Agustus 1945 menyaksikan gelombang besar yang mengguncang kaum muda dan kaum tua. Dua kekuatan ini (kaum muda seperti Soekarni, Khoerul Saleh, Wikana, dan Sutan Sjahrir), serta kaum tua yang diwakili oleh Soekarno dan Hatta—terlibat dalam perdebatan sengit tentang cara terbaik untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Kaum tua, dengan kebijaksanaan dan kehati-hatian yang mendalam, menghendaki kemerdekaan yang lahir dari proses yang matang, penuh perhitungan, dan legal melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Mereka percaya bahwa PPKI adalah representasi seluruh rakyat Indonesia, jalur yang terukur dan sistematis, sebuah proses yang mirip dengan falsafah “laukna beunang, caina herang” (sebuah hasil yang bersih tanpa menimbulkan kekacauan). Dukungan kaum tua ini semakin diperkuat setelah pada 12 Agustus 1945, Soekarno, Hatta, dan Dr. Radjiman diundang oleh Panglima Tertinggi Jepang di Asia Tenggara ke Dalat, Indochina. Di sana, Jenderal Terauji memberikan otoritas penuh kepada para pemimpin Indonesia untuk menentukan kapan Indonesia akan merdeka.
Setelah kembali dari Dalat, Soekarno dan rekan-rekannya berkonsultasi dengan anggota PPKI lainnya, termasuk Mr. Hasan, Dr. Amir, dan Mr. Abbas. Mereka telah menyadari bahwa kekalahan Jepang hanya tinggal hitungan hari, terutama setelah mendengar kabar bahwa Uni Soviet telah mengumumkan perang terhadap Jepang. Di Lapang Kemayoran pada 14 Agustus, Bung Karno, dengan keyakinan yang kokoh, menyatakan kepada warga, “Kalau dahulu saya berkata, sebelum jagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga.”
Namun, kaum muda yang bersemangat, dengan darah yang menggelegak, mendesak agar proklamasi kemerdekaan dilakukan secepat mungkin tanpa campur tangan Jepang. Mereka tak ingin kemerdekaan Indonesia terkesan sebagai hadiah dari Jepang. Terlebih lagi, situasi Jepang yang semakin terdesak—setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945, serta menyerahnya Jepang pada 14 Agustus kepada Sekutu—membuat kaum muda berpikir inilah momen terbaik untuk memproklamasikan kemerdekaan.
Komunikasi pun dilakukan antara kaum muda seperti Sjahrir, Subianto, dan Subadio dengan kaum tua, tetapi usaha mereka sia-sia. Kaum tua tetap teguh pada pandangan mereka. Mohammad Hatta, dalam Mimbar Indonesia No. 22/33 tanggal 17 Agustus 1951, mengenang ketegangan itu. Pada malam 15 Agustus, saat Hatta tengah menyusun teks proklamasi, Mr. Subardjo mengajaknya pergi ke rumah Bung Karno, di mana Soekarno sedang dikerumuni oleh pemuda-pemuda seperti Wikana dan Chairul Saleh. Mereka mendesak agar Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio malam itu juga. Namun, Soekarno menolak dengan tegas, mengatakan bahwa langkah itu tak dapat dipertanggungjawabkan. Wikana, dengan emosi yang menggelegak, mengancam, “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman itu malam ini juga, besok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah.”
Ancaman itu membuat Soekarno “naik pitam”. Ia mendekati Wikana dengan kemarahan yang membara dan berkata, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, dan sudahilah nyawa saya malam ini juga, jangan menunggu sampai besok hari.” Wikana, yang terperanjat oleh reaksi Soekarno, segera mundur dan menyatakan bahwa maksud mereka bukan untuk membunuh, melainkan untuk memperingatkan bahwa rakyat akan bertindak dengan kekerasan jika kemerdekaan tidak segera diumumkan.
Meski ancaman tersebut tak merubah pendirian Soekarno, kaum muda tak kehabisan akal. Pada dini hari 16 Agustus, mereka menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, dengan tujuan menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang. Pada sore hari, Mr. Subardjo tiba di Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta atas perintah Gunseikanbu, dan mereka kembali ke Jakarta. Di Jakarta, perundingan dengan Sumobutjo dan berbagai unsur masyarakat berlangsung. Dengan dukungan kaum muda, diputuskan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia akan ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Puncaknya, pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno di kediamannya rumah milik Faradj Martak di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, diiringi dengan pengibaran bendera Merah Putih.
Demikianlah, baik kaum tua maupun muda, mereka semua telah berkorban banyak demi tanah air tercinta. Mereka membawa Indonesia keluar dari belenggu penjajah dan menjadikannya negara yang disegani di kancah internasional. Sepatutnya pengorbanan mereka dijadikan rujukan oleh pemerintahan sekarang untuk memajukan negara. Jangan sampai celotehan seperti “beda pemimpin dulu dengan sekarang: zaman dulu dipenjara dulu, kemudian memimpin alias jadi pejabat; sekarang memimpin atau jadi pejabat dulu lalu dipenjara,” benar-benar menjadi budaya dan warisan pemerintahan. _Wallahu ‘alam._
+ There are no comments
Add yours